SELALU vokal dan tak pernah ragu-ragu mengemukakan pendapat, itulah gaya khas Kwik Kian Gie, 58 tahun. Dalam menilai konglomerat, misalnya, sejak dulu Kwik sudah bicara panjang lebar dan apa adanya. Ketika pekan lalu isu konglomerat terangkat lagi dalam Kongres ISEI di Surabaya, wartawan TEMPO Ivan Haris segera mencari Kwik untuk wawancara. Petikan di bawah ini diramu dari wawancara yang sebagian dijawab tertulis, dan sebagian lagi disampaikan secara lisan lewat telepon. Seandainya tak ada konglomerat, apakah ekonomi Indonesia akan lebih baik? Bukankah Pemerintah telah mendorong konglomerat demi pemerataan untuk membantu pengusaha menengah dan kecil, dengan program bapak angkat, penjualan saham ke koperasi, serta kredit 20 persen untuk pengusaha kecil? Kalau tidak ada konglomerat, pembangunan ekonomi akan dilakukan oleh berpuluh-puluh juta perusahaan skala kecil dan menengah. Ditinjau dari sudut pertumbuhan ekonomi maupun sudut keadilan sosial ekonomi, sebuah ekonomi tanpa konglomerat, saya yakin, bisa lebih baik daripada sekarang. Acuan kongkret adalah Taiwan, yang ekonominya dikembangkan secara merata oleh perusahaan yang berskala kecil dan menengah. Ditinjau dari sehatnya manajemen, juga lebih baik kalau ekonomi dibangun oleh unit-unit ekonomi yang terspesialisasi dalam satu bidang saja. Kalau satu orang atau satu keluarga mengurus puluhan sampai ratusan perusahaan, pemimpin puncaknya akan mentok rentang kendalinya (span of control), sehingga manajemen tidak tertangani sebagaimana mestinya. Lalu keropos di dalam. Tentang upaya pemerataan, Pemerintah hanya bisa mendorong atau mengimbau. Kenapa? Karena pengusaha pada hakikatnya tidak mempunyai waktu dan perhatian untuk menolong orang lain, apalagi kalau yang ditolong itu sama-sama dalam proses produksi dan distribusi, atau sama-sama dalam proses pembuatan laba. Maka, penjualan saham ke koperasi praktis tidak berjalan. Demikian pula dengan kemitraan. Bila konglomerat melepas saham ke koperasi, tak lain itu karena sungkan atau takut terhadap Pemerintah, sehingga yang dilakukannya hanya kosmetik belaka. Anda tahu, dunia usaha adalah dunia persaingan yang keras, sehingga pengusaha kecil dan menengah bagaimanapun harus muncul dengan kekuatan sendiri. Di banyak negara maju, mereka bisa meningkatkan daya saing karena cara-cara bersaing yang kotor, tidak jujur, dan tidak adil bisa dicegah oleh undang-undang, seperti undang-undang mengenai persaingan ekonomi (di Eropa) atau undang-undang antimonopoli (di Jepang), atau undang-undang anti-trust (di AS). Jadi, tidak dengan menyisihkan 20 persen dari kekayaan yang besar dan sebagainya. Keterlibatan Pemerintah dalam bentuk proteksi, misalnya jelas menunjang usaha konglomerat. Tapi, bukankah risiko investasi ditanggung oleh konglomerat itu sendiri? Benar. Tapi antara menanggung risiko secara formal dan menanggung risiko secara de facto sangat berlainan. Secara formal, konglomerat memang bertanggung jawab atas kredit macet yang luar biasa besarnya. Mereka membangun konglomeratnya dengan modal yang diperoleh dari utang 100 persen atau lebih dari 100 persen supaya sisanya bisa dikantongi secara tunai. Lalu kredit itu macet. Apa isi tanggung jawabnya? Hanya sebatas aset yang biasanya jauh lebih kecil dari jumlah utangnya itu. Ini terbukti dengan kejadian Bank Duta, Bank Summa, Mantrust, Bentoel, dan banyak lagi yang belum meledak. Kalau konglomerat tak efisien, bukankah karena misalnya harus menyediakan dana ekstra bagi pejabat pemerintah atau kepentingan pemerintah yang lain? Komentar Anda? Banyak faktor yang menjadikan konglomerat tak efisien. Pertama-tama, konglomerat hanya dijadikan mantel untuk praktek persekongkolan antara penguasa dan pengusaha. Konglomerat juga hanya dijadikan sarana untuk menggaet kredit dan dana masyarakat yang sebesar-besarnya melalui bursa efek. Apakah bisa membayar utang, atau memberikan imbalan bagi para investor, tidak masuk hitungan mereka. Perihal tak efisiennya konglomerat (karena perlu mengeluarkan dana untuk pos-pos yang tak ada kaitannya dengan bisnis), apakah bukan karena nasib mereka juga, yang memang diciptakan untuk menjadi sapi perah? Semua itu memang sangkut-menyangkut. Karena itu, semua adalah bagian dari sistem yang serba korup ini. Konglomerat bisa timbul karena Pemerintah memberikan proteksi. Dan konglomerat menjadi besar hingga bisa menjadi sapi perah. Soal ''uang semir'', ya, dihadapi siapa saja, termasuk pengusaha kecil dan menengah. Bedanya dengan konglomerat, begitu mereka jadi sapi perah, mereka juga akan ''rusak-rusakan''. Konglomerat kan tidak bodoh. Mereka tahu menjadi sapi perah, dan dengan begitu mereka pun akan bertindak semau-maunya. Untuk mengejar pertumbuhan yang cepat, jelas kita tak mungkin mengandalkan pengusaha lemah dan menengah. Korea Selatan dan Jepang, misalnya, bisa bangkit dari ekonomi pasca-Perang Dunia II kan dengan mengandalkan konglomerat? Memang ada dua aliran pemikiran. Kalau ekonom Universitas Indonesia biasanya condong mengejar pertumbuhan dulu untuk itu, memakai konglomerat pun tak jadi soal. Tapi ekonom Universitas Gadjah Mada tidak begitu. Yang dikejar adalah pemerataan dulu. Dua aliran ini boleh-boleh saja. Tapi belakangan terbukti bahwa di negara seperti Denmark, yang mengandalkan pengusaha menengah dan kecil, ternyata tingkat pertumbuhannya tak kalah dengan negara-negara yang berpola konglomerat. Jepang dan Korea Selatan, memang mereka mengandalkan konglomerat. Tapi harus diingat, perilaku bisnis Mitsubishi bukan perilaku konglomerat. Desentralisasinya sangat besar. Dalam perusahaan-perusahaan yang bernaung di bawah Misubishi, masing- masing bisa memutuskan sendiri. Lain halnya dengan konglomerat di sini. Semua diatur oleh si pemilik dan keluarganya. Akibatnya, inefisiensi makin menjadi-jadi. Dan semuanya hanya akan menghasilkan ekonomi biaya tinggi. Tindakan apa yang saat ini tepat dilakukan terhadap para konglomerat? Law enforcement (penegakan hukum). Semua kredit macet harus diperiksa, apakah ada unsur kriminal atau manipulasi lainnya. Kalau ada, perusahaannya disita, orangnya dimasukkan ke penjara. Lalu harus ada peraturan mengenai persaingan ekonomi, monopoli, kartel, trust, dan sebagainya. Tapi, bukankah dengan liberalisasi ekonomi yang jurusnya deregulasi, konglomerat semakin sempit ruang geraknya? Adanya deregulasi menunjukkan bahwa Pemerintah mulai menyadari perlunya membatasi konglomerasi. Kalau terus konsisten dengan deregulasi ini, konglomerat memang tidak dikekang, tetapi nantinya pengusaha kecil dan menengah akan mampu bersaing dengan konglomerat. Ini penting. Karena di bidang tertentu yang tidak diproteksi Pemerintah, pengusaha kecil dan menengah ternyata tak bisa disaingi oleh konglomerat. Di bidang farmasi, ada 256260 perusahaan kecil dan menengah yang memproduksi obat-obat bebas resep yang bisa menghadapi perusahaan multinasional. Ini yang harus dijaga. Jangan seperti di sektor minyak goreng dan mi, konglomerat diberi kesempatan masuk. Bahkan kemudian mematikan dan mencaplok perusahaan-perusahaan kecil itu. Saya dengar, bulan April depan Pemerintah akan mengesahkan RUU perlindungan bisnis kecil. Berlainan dengan undang-undang anti-trust AS yang bersemangat ''anti besar'', RUU ini mirip dengan yang berlaku di Eropa. Tujuannya adalah menjamin peluang bagi new entry (pendatang baru). RUU ini sebenarnya sudah lama saya pikirkan. Bahkan dalam litbang PDI, kami sudah membuat simulasi perlindungan bisnis kecil ini. Tapi, seperti biasa, apa-apa yang datangnya dari PDI kan pasti diremehkan. Memang, saya dengar juga, ada bagian-bagian dalam RUU itu yang mengandung konsep yang sudah kami rumuskan dalam simulasi di litbang PDI, ha-ha-ha.... Bagaimanapun juga, RUU ini harus diwujudkan, karena akan membuka peluang bagi pendatang baru. Jangan cuma dia-dia saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini