ISU konglomerat kembali mencuat, dan seperti biasa bukan karena kinerjanya, melainkan lantaran hal-hal lain di luar itu. Dalam Kongres ISEI ke-12, yang berlangsung di Surabaya pekan lalu, terungkap bahwa hal-hal lain itu adalah efisiensi dan produktivitas ekonomi Indonesia. Empat pakar dari Kampus Bulaksumur (Universitas Gadjah Mada), Dr. Budiono Srihandoko, Dr. Nopirin, Dr. Anggito Abimanyu, dan Dr. A.R. Karseno, menyajikan makalah ''Inefisiensi di Balik Struktur Industri Indonesia''. Dari Jakarta tampil antara lain Dr. Rizal Ramly, pakar ekonomi dari Universitas Indonesia, yang membawakan makalah ''Kemerdekaan dan Tinggal Landas''. Hasil penelitian kedua tim itu sampai pada kesimpulan bahwa inefisiensi ekonomi Indonesia erat kaitannya dengan bisnis konglomerat di negeri ini. Menurut Rizal, ekonomi Indonesia berambisi tumbuh di atas 10%, tapi tumbuh 7% saja sudah langsung memanas (overheated). Maka, terpaksalah didinginkan dengan kebijaksanaan uang ketat. Mengapa ekonomi kita begitu rentan? ''Penyebab utamanya adalah struktur ekonomi Indonesia yang belum seimbang,'' jawab Rizal. Maksudnya, kaitan ekonomis industri skala besar- menengah-kecil sangat minim. Padahal, di Jepang dan Taiwan, kaitan itu ada dan cukup berperan. Sejak dulu, industri mobil Toyota atau Mistubishi, misalnya, memakai komponen yang dipasok perusahaan-perusahaan menengah dan kecil. Bila dua konglomerat itu berekspansi, otomatis bisnis skala menengah dan kecil ikut terangkat. Dengan demikian, tak terjadi kesenjangan. Di Indonesia sebaliknya. Industri besar memakai barang modal dan komponen impor sehingga multiplier effect dari ekspansi usaha besar tidak menelurkan kesempatan kerja dan nilai tambah yang besar. Salim Group milik taipan Liem Sioe Liong, misalnya, mengekspor tak sampai 5% dari produk mereka. Ekspor Grup Astra juga tak sampai 4% dari omzet mereka. ''Sedangkan konglomerasi di Korea atau Jepang mengekspor sampai 90% dari seluruh penjualan mereka,'' kata Rizal pula. Direktur Pelaksana ECONIT Advisory Group ini menyebutkan bahwa industri milik para konglomerat itu tidak dirangsang untuk beroperasi secara efisien karena strukturnya yang kuasi monopolistik dan oligopolistik. Lalu, seperti yang pernah dilakukan oleh para periset, Rizal memvisualkan dunia usaha di Indonesia bak piramida dengan puncak yang runcing dan alas yang lebar. Kalangan pengusaha menengah-kecil berada di bagian bawah piramida dan mereka harus bersaing ketat di situ. Ironisnya, para konglomerat yang bercokol di puncak piramida mendapat perlindungan tarif dan bukan tarif, lisensi-lisensi, serta berbagai kemudahan untuk kredit bank pemerintah. Dari kondisi yang tercipta oleh kebijaksanaan itu perlindungan tarif, misalnya timbullah kesenjangan. ''Kebijakan Pemerintah secara umum selama masa Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama (PJPT I) pro terhadap kepentingan skala besar,'' Rizal menyimpulkan. Diperkirakannya, 70% alokasi kredit bank pemerintah tersalur ke konglomerat. Kebijaksanaan semacam itu, dengan sendirinya, membawa dampak negatif. Daya tahan ekonomi nasional tidak kuat, sementara usaha konglomerat cenderung tidak efisien. Ketidakefisienan mengakibatkan ICOR (incremental capital output ratio) jadi sangat tinggi dan daya serap tenaga kerjanya kecil. Pakar ini sampai pada kesimpulan bahwa para konglomeratlah yang paling bertanggung jawab terhadap inefisiensi perekonomian kita. Menurut Rizal, para konglomerat itu merupakan beban (liabilities), bukan aset bagi ekonomi bangsa. Untuk mengubah konglomerat menjadi aset, disarankannya agar segala kemudahan dan proteksi bagi mereka dihapuskan. ''Lebih adil,'' ujarnya. Hasil penelitian tim Gadjah Mada ternyata sejalan dengan pendapat Rizal. Intinya adalah, kehadiran konglomerat semata tidak langsung mengakibatkan ekonomi jadi tak efisien atau tak merata. Namun, tak adanya iklim persaingan yang sehat menimbulkan inefisiensi, konsentrasi, dan mis-alokasi sumber- sumber ekonomi. Inefisensi ekonomi terjadi, antara lain, karena proteksi (bagi konglomerat), preferensi dalam fasilitas finansial, dan kolusi dengan pengambil kebijaksanaan. Menilai kinerja konglomerat, kajian empiris tim Gadjah Mada menyimpulkan, aktivitas ekspor mereka lebih rendah dari seluruh perusahaan manufaktur di Indonesia. Contohnya, aktivitas ekspor seluruh perusahaan manufaktur meningkat dari 8% (1985) jadi 16% (1990), sedangkan ekspor dari 50 konglomerat hanya 12%. Kajian tim Gadjah Mada juga merinci bahwa industri Indonesia rendah dalam riset (R & D) dan juga rendah dalam upaya pengembangan sumber daya manusia. Dalam kata lain, bisnis konglomerat di sini sampai tahun 1990 tidak berperan banyak untuk meningkatkan hasil ekspor, juga tidak berbuat banyak untuk peningkatan teknologi, konon pula sumber daya manusia. Hanya satu hal yang menonjol dan ini menjadi berita besar di media cetak bahwa menurut tim Gadjah Mada, sepuluh konglomerat terbesar yang kinerjanya tidak efisien itu justru menguasai 30 persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Dalam era globalisasi yang menggelinding semakin cepat, penegasan seperti itu tentu perlu karena mungkin bisa mengilhami kita untuk mencari terobosan baru.Max Wangkar, Biro Jakarta, dan Biro Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini