Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Terbanglah Boeing dari Cangkrang

Tanpa pendidikan formal tinggi, Harto al-Karim sukses berbisnis miniatur pesawat. Belum ada bank yang berminat.

21 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKU, kata orang bijak, bisa menjadi jendela dunia. Harto al-Karim percaya ini. Dengan modal buku, yang kebanyakan bekas pakai, ia menimba ilmu tentang pembuatan miniatur burung besi. Setelah sepuluh tahun merambah bisnis replika pesawat, Harto terhitung pemasok produktif dengan omzet sekitar Rp 100 juta per bulan.

Bisnis ini ia temukan secara tak sengaja. "Awalnya hanya diminta teman," katanya polos. Pada suatu hari tahun 1984, sang teman membawa miniatur pesawat Airbus A-300. Harto ditantang membuat model yang sama. Jika ia sanggup, sang teman berani menampung. Harto, yang sejak kecil memang kepincut model pesawat, merasa tergugah.

Dari berbagai buku yang dibelinya di lapak-lapak di sekitar Pasar Senen, Jakarta, dia mulai mempelajari seluk-beluk pembuatan model pesawat. Singkat kata, sang sohib memenuhi janji. Harto kebagian tugas membuat pesawat, sementara rekannya mencari pembeli.

Selain mendapat pengetahuan dari buku—dan kini Internet—Harto sama sekali tak memiliki latar belakang pendidikan formal berbau teknik. Lelaki yang lahir dari keluarga petani di Makassar, Sulawesi Selatan, 44 tahun lalu ini malah hanya "makan sekolah" jenjang dasar. Itu pun tamatnya perlu waktu sembilan tahun.

Pada usia 21 tahun, Harto merantau ke Jakarta. Pekerjaan pertamanya menjaga toko peralatan militer di bilangan Senen. Setahun kemudian, ia pindah ke tempat pembuatan sablon dan spanduk. Di sini ia belajar tentang grafis dan teknik menyablon, yang kelak ternyata bermanfaat dalam pembuatan miniatur pesawat.

Sejak medio 1980-an, barulah Harto menekuni bisnis replika pesawat. Tak tanggung-tanggung, ia pakai "brand" Ozi Aircraft—diambil dari nama anak keduanya, Fauzi. Model yang ditiru tak hanya pesawat yang populer seperti Airbus atau Boeing, tapi juga jet tempur dan helikopter. Ukurannya rupa-rupa, dari skala 1 : 200 hingga 1 : 30.

Produk ini dijajakannya juga ke sejumlah gerai cendera mata di hotel dan bandar udara, termasuk Soekarno-Hatta, Cengkareng. Setelah meraih pasar eceran, "pesawat-pesawat" Ozi Aircraft kemudian dilirik sejumlah maskapai penerbangan nasional, termasuk Garuda Indonesia. Pemesan pertama adalah Mandala Airlines. Seingat Harto, pada 1990 Mandala memborong sekitar 200 pesawat Ozi.

Ketika krisis moneter meroket, 1997-1999, bisnis Harto sempat "grounded". Biaya-biaya yang melesat mendorong perusahaan, ataupun perorangan, memotong belanja barang sampingan seperti miniatur pesawat. Harto terpaksa menjual sebagian aset perusahaan. Mesin kompresor, misalnya, dari lima unit hanya tersisa sebiji. "Saat nyaris jatuh, yang tersisa hanya spray-gun dan satu kompresor," katanya.

Agar bisa bertahan melalui "kemarau", ia memindahkan bengkel dari kawasan Karang Anyar, Jakarta Pusat, ke Desa Cangkrang di pelosok Kabupaten Bogor, kampung halaman istrinya. Kebetulan di sana Harto telah punya rumah di atas tanah yang cukup luas. Ternyata ia mampu bertahan.

Rupanya banyak pelanggan yang menganggap pesawat Ozi berkualitas dan terjangkau harganya. Ambil contoh harga pesawat berskala 1 : 100 dengan bahan fiber. Dengan mengantongi margin sekitar 20 persen, Harto bisa menjualnya dalam kisaran Rp 250 ribu- Rp 500 ribu. Ini jauh lebih murah dibandingkan dengan banderol produsen Amerika Serikat, yang mematok harga minimal Rp 1 juta. "Harga dan kualitas buatan lokal memang cukup bersaing," tutur Pudjobroto, juru bicara Garuda.

Sekarang, setelah mampu mempekerjakan 80 karyawan—beberapa di antaranya sarjana—Harto masih belum puas. Ia bercita-cita menyediakan lapangan kerja bagi para penganggur di Desa Cangkrang. Keinginan itu masih harus dipendam karena, untuk meluaskan bengkel yang ditempatinya saat ini, sekitar 400 meter persegi, ia membutuhkan modal besar. Selain itu, Harto ingin menggandakan peralatan produksi. "Belum ada bank yang mau memberikan pinjaman," katanya.

Thomas Hadiwinata, Deffan Purnama (Bogor), Y. Tomi Aryanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus