Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Agar Tak Kehilangan Momen

Pemerintah segera mengenakan lagi bea masuk baja. Daya saing lemah.

21 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELAKANGAN ini, rona wajah Dirjen Industri Logam, Mesin, Elektronika, dan Aneka, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Soebagyo, sering terkesan cemas. Mungkin karena urusan harmonisasi tarif baja yang tak kunjung putus dari tim tarif Departemen Keuangan. Dijanjikan rampung pertengahan Juni, eh, hingga mendekati akhir bulan belum tersirat perkembangan berarti.

Menurut ketua tim, Yusuf, pihaknya cukup sulit mengeluarkan kebijakan harmonisasi tarif baja pada bulan ini. Tim masih memerlukan pandangan stakeholder lain dan menyimak pengaruhnya bagi konsumen. "Yang pasti, kami masih mengevaluasi kebijakan pemerintah membebaskan bea masuk baja sejak 1 April lalu," kata Yusuf kepada TEMPO.

Sejak 1 April itu, industri hilir baja seperti memasuki "bulan madu". Tata niaga baja pun dua bulan sebelumnya dihapuskan. Tapi kelihatannya masa "bulan madu" itu lebih cepat dari rencana sebelumnya, yakni berlaku setahun. Departemen Perindustrian dan Perdagangan buru-buru mengusulkan pengenaan bea masuk baja, dengan judul "harmonisasi tarif baja".

Menurut Soebagyo, sejak 2 Juni pihaknya mengajukan pengenaan tarif secara seimbang dan merata. Pertimbangannya, kondisi pasar baja dunia mulai pulih sehingga harga baja pun mulai turun (lihat Balik ke Jalur Normal). Departemen Perindustrian mengusulkan bea masuk produk hulu seperti slab, bilet, dan ingot tetap nol persen. Untuk produk antara, yakni baja canai panas, baja canai dingin, dan pelat baja: 5-10 persen. Produk hilir, yaitu pipa, baja lapis seng, dan alat-alat mesin pertanian: 15-10 persen.

Bea masuk itu diusulkan mulai tahun ini hingga 2010. Instrumen bea masuk juga dimaksudkan agar industri dalam negeri tumbuh sehat. Apalagi ketergantungan atas produk impor terbilang besar. Untuk produk baja canai panas, Indonesia harus mengimpor hampir 900 ribu ton dari kebutuhan 2,2 juta ton. Untuk baja canai dingin, kebutuhan impornya 500 ribu ton, dari kebutuhan total 1,15 juta ton.

Harmonisasi, kata dia, juga bukan untuk melindungi PT Krakatau Steel, yang sangat terganggu pasarnya sejak pembebasan bea masuk. Harmonisasi lebih dikarenakan masih adanya bea masuk produk hulu dan hilir baja yang tidak harmonis. Ia mencontohkan, alat-alat dan mesin pertanian dibebaskan dari bea masuk, sedangkan bahan bakunya dikenai bea masuk. Akibatnya, industri alat-alat tersebut di Tanah Air selalu loyo.

Konsep harmonisasi tarif dihitung berdasarkan tingkat tarif proteksi efektif atau effective rate of protection (ERP), di tengah-tengah: 50 persen. Artinya, industri baja nasional dipandang mampu bersaing dengan produk impor, sekaligus mampu mengembangkan usahanya. ERP ditentukan lewat indeks spesialisasi perdagangan dengan ukuran perbandingan nilai ekspor dan impor baja.

Hasilnya, nilai indeks industri baja minus 0,98. Artinya, industri baja nasional masih berorientasi ke pasar dalam negeri. Ukuran berikutnya, keunggulan komparatif dengan dunia atau revealed comparative advantage (RCA). Nilainya 0,5, yang berarti daya saing baja Indonesia lemah. "Prinsipnya, jika satu produk bisa diproduksi di sini dalam jumlah besar, tarifnya tidak boleh rendah," kata Soebagyo.

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia sehaluan dengan pemerintah. Dalam usulnya kepada Menteri Keuangan pada 4 Mei lalu, Kadin menyarankan bea masuk slab baja tetap 0 persen, baja canai panas 5 persen, canai dingin 10 persen, pelat baja 10 persen. Produk hilir baja, seperti pipa, diusulkan tarifnya 15 persen. Menurut Ketua Umum Kadin Indonesia, Mohammad S. Hidayat, pembebasan bea masuk terlalu lama menyebabkan pasar terganggu.

Kadin Indonesia mencatat, pemain baja hulu ada empat perusahaan. Total volume produksi mereka 3,35 juta ton, sementara volume konsumsi: 3,62 juta ton. Pemain terbesar PT Krakatau Steel, dengan 2,5 juta ton. Investasi di hulu ini mencapai US$ 1 miliar (Rp 9 triliun dengan kurs saat ini). Pemain di industri hilir lebih banyak, seperti industri pipa, baja lapis seng, perkapalan, otomotif, dan elektronika. Total nilai investasi industri tadi US$ 7,15 miliar (Rp 64,35 triliun).

Jika dikenai tarif, mampukah industri hilir baja seperti sentra industri pengecoran logam di Ceper dan Klaten bersaing? Menurut Soebagyo, problem Ceper bukan tarif, melainkan kelangkaan bahan baku. Problem kedua, sumber energi mereka, yakni kokas, masih diimpor dari Cina. Pemerintah akan memfasilitasi bahan baku dengan cara menyalurkan sisa produksi industri hulu baja ke Ceper. "Untuk kokas, kami mengupayakan produksi sendiri dengan menggiatkan lagi unit pengolahan kokas," kata Soebagyo.

Menurut Ketua Umum Federasi Pengerjaan Logam dan Mesin, Ahmad Safiun, tarif yang diusulkan kurang tepat. Ia mencontohkan bea masuk slab, bahan baku baja canai panas, yang diusulkan tetap nol persen. Padahal slab bisa diproduksi di Krakatau Steel. "Jika slabnya bebas, lantas produksi slab Krakatau dianggap tidak ada," kata Safiun. "Atau Krakatau dianggap tidak efisien memproduksi slab."

Begitu juga dengan bea masuk 15-20 persen pada produk hilir. Ini bisa memanjakan industri hilir dalam negeri. Saran Safiun, bea masuk produk hilir cukup 10-15 persen. Dengan begitu, industri hilir lokal didorong lebih efisien supaya kompetitif di pasar. Namun, bagi Krakatau, berapa pun rencana tarifnya, tetap lebih baik daripada tidak sama sekali.

Menurut Manajer Pemasaran Krakatau, Suprapto, pembebasan bea masuk merepotkan badan usaha milik negara yang dikenal sebagai satu-satunya produsen baja terpadu dan terbesar di Asia Tenggara itu. Catatannya, sejak April lalu produk baja impor mencapai 100 ribu ton. Padahal biasanya jauh di bawah itu. "Faktanya, pekan lalu Thailand kembali mengenakan bea masuk baja 10 persen, dari tadinya nol persen," kata Suprapto. "Kalau Indonesia masih nol persen, sementara negara-negara di luar ASEAN 20 persen, dipastikan produk impor segera membanjiri pasar domestik."

M. Syakur Usman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus