Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Serangkaian kabar baik sempat membuai pasar keuangan kita sepekan lalu. Terjadi deflasi 0,08 persen selama Oktober 2015. Laju inflasi tahunan hanya 6,25 persen, turun cukup tajam dari posisi sebulan sebelumnya yang 6,83 persen. Lalu keluar data pertumbuhan ekonomi yang cukup melegakan. Memang pertumbuhan ekonomi selama kuartal ketiga 2015 itu jauh dari meroket sebagaimana cita-cita Presiden Joko Widodo. Tapi pertumbuhan 4,73 persen ini setidaknya menunjukkan perlambatan ekonomi kita tidak terlalu parah.
Di sisi neraca pembayaran, Bank Indonesia memperkirakan ada surplus selama kuartal ketiga 2015. BI menghitung rasio defisit transaksi berjalanterhadap produk domestik bruto akan menurunmenjadi 2,1 persen, lebih kecil daripada 3,1 persen PDB tahun lalu. BI memantau arus investasi melalui pasar keuangan juga masih kencang. Hingga pekan ketiga Oktober 2015, secara neto ada danaRp 67 triliunyang masuk melaluisurat berharga negara, Rp 60 triliun di antaranya bahkan berasal dari investor yang berorientasi jangka panjang.
Serangkaian kabar baik ini sayangnya tidak mampu mendorong penguatan rupiah lebih jauh. Setelah sempat menguat dari Rp 13.682 per dolar Amerika Serikat pada Senin pekan lalu menjadi Rp 13.461 pada Rabu, nilai rupiah yang tecermin pada kurs tengah BI ini seperti kehabisan tenaga, merosot lagi menjadi Rp 13.603 pada Kamis menjelang akhir pekan.
Ternyata investor mulai gemetar lagi melihat kemungkinan naiknya suku bunga The Federal Reserve (The Fed). Setelah kemungkinan ini sempat redup sejak devaluasi yuan pada 11 Agustus 2015, kemungkinan naiknya bunga The Fed menyala lagi dalam sidang pimpinan bank sentral Amerika,28 Oktober 2015. The Fed membuka opsi menaikkan suku bunga dalam sidang mereka pada Desember mendatang. Serangkaian data, terutama data tingkat pengangguran di Amerika yang terbit pekan lalu, akan menjadi dasar keputusan itu.
Perkembangan mutakhir yang berada di luar kendali Indonesia ini agaknya akan menghapus peluang penurunan suku bunga rujukan BI atau BI Ratedalam sidang Dewan Gubernur BI pada 17 November mendatang. Seharusnya inflasi rendah ataupun neraca investasi yang positif tersebut dapat menjadi amunisi bagi BI untuk memotong BI Rate.
Banyak orang berharap, bahkan Presiden Jokowi pun pernah memintanya, penurunan suku bunga akan semakin menggairahkan ekonomi kita. Bunga yang lebih rendah akan mendorong pengusaha lebih giat karena ongkos modal yang lebih murah. Kemampuan daya beli konsumen tentu juga melompat karena ongkos bunga kredit lebih hemat.
Kini, dengan kembalinya kemungkinan kenaikan suku bunga The Fed yang menghantui pasar di seluruh dunia, BI harus lebih cermat menghitung opsi penurunan BI Rate. Kemungkinan itu tetap ada. Risikonya, BI harus bersiap menghadapi tekanan berat pada nilai rupiah.
Rekam jejak menunjukkan, dalam menghadapi pilihan kebijakan, apakah menjaga stabilitas kurs atau mendorong pertumbuhan ekonomi, bank sentral kita pasti memilih yang pertama. Itulah mandat yang memang menjadi tugas utama BI yang juga seharusnya independen dari segala macam tekanan politik.
Maka kita tak bisa terlalu berharap akan ada penurunan BI Rate sebagai vitamin tambahan pertumbuhan ekonomi pada akhir tahun ini. Sebaliknya, ada baiknyakita semua menanti sinyal The Fed dengan mengambil posisi siaga.
Yopie Hidayat Kontributor Tempo
KURS Rp per US$
Pekan sebelumnya 13.619
13.550 Sesi pertama, 6 November 2015
IHSG
Pekan sebelumnya 4.472
4.584 Sesi pertama, 6 November 2015
INFLASI
Bulan sebelumnya 6,83%
6,25% Okt 2015 YoY
BI RATE
Bulan sebelumnya 7.5%
7,5%
CADANGAN DEVISA
31 Agustus 2015 US$105,4 bn
US$ billion 101,7 30 Sept, 2015
PERTUMBUHAN PDB
2014 5,0%
5,1% Target pemerintah 2015
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo