Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIKET Garuda Indonesia menuju Denpasar dan Lombok selama libur Natal dan tahun baru ludes tidak tersisa. Penerbangan dengan pesawat Boeing 737-400 berkapasitas 150 tempat duduk itu habis dipesan penumpang. "Fully booked," kata General Manager Garuda Nusa Tenggara Barat Sudarmadi kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Liburan tahunan ini menjadi musim panen bagi perusahaan penerbangan. Penumpang Sriwijaya Air, misalnya, menurut juru bicara perusahaan Agus Soedjono, meningkat 10-12,5 persen. Hingga akhir 2013, telah terangkut 10,5 juta penumpang, naik dari tahun sebelumnya 9,2 juta. "Target kami sebesar 10,2 juta penumpang terlampaui," katanya. Indonesia AirAsia mengangkut 5,7 juta penumpang hingga triwulan ketiga tahun lalu. Perusahaan ini menargetkan 8,5 juta penumpang selama 2013, naik dari tahun sebelumnya yang 6 juta.
Namun membeludaknya jumlah penumpang rupanya tak membuat maskapai panen raya. Kinerja keuangan pada hampir semua maskapai terjungkal. Penyebabnya cuma satu: nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terus melemah. Sepanjang 2013, nilai tukar rupiah terhadap dolar jatuh hampir 27 persen. Kenaikan pendapatan yang sejatinya cukup signifikan itu sekejap dihanguskan oleh pelemahan rupiah.
Tersebab itu, Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia atau Indonesia National Air Carrier Association (INACA) mengusulkan pengenaan surcharge alias biaya tambahan pada Oktober lalu sebesar Rp 70-80 ribu per satu jam pertama. Ongkos ekstra ini dibebankan kepada penumpang karena adanya kenaikan beban operasional.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Herry Bakti Gumay telah mengajukan surcharge Rp 50 ribu kepada Menteri Perhubungan E.E. Mangindaan. Bila tak ada aral, akan terbit aturan yang mengatur surcharge angkutan udara pekan ini. "Awal Januari diputuskan," kata Mangindaan. Dengan adanya biaya tambahan tersebut, berarti harga tiket naik pesawat naik.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 26 Tahun 2010 tentang mekanisme formulasi perhitungan dan penetapan tarif penerbangan, Dirjen Perhubungan Udara yang berwenang mengevaluasi besaran tarif yang telah ditetapkan setiap tahun atau bila terjadi perubahan signifikan yang mempengaruhi kelangsungan kegiatan badan usaha angkutan udara.
Perubahan signifikan yang dimaksud adalah pergerakan harga avtur bila telah melampaui Rp 10 ribu per liter selama tiga bulan berturut-turut. Selain itu, perubahan nilai tukar rupiah dan harga komponen biaya lain yang menyebabkan total biaya operasional pesawat membengkak hingga minimal 10 persen selama tiga bulan berturut-turut. Bila terjadi perubahan, pemerintah mengevaluasi besaran tarif atau menerapkan surcharge/tuslah yang ditetapkan melalui peraturan Menteri Perhubungan.
TANDA-tanda keterpurukan kinerja keuangan maskapai penerbangan terlihat sejak triwulan ketiga 2013. PT Garuda Indonesia Tbk melaporkan rugi bersih US$ 22,04 juta atau sekitar Rp 267,8 miliar selama sembilan bulan pertama tahun lalu. Padahal, pada periode yang sama tahun sebelumnya, perusahaan mengumpulkan laba bersih US$ 56,77 juta atau sekitar Rp 686,2 miliar.
Menurut juru bicara Garuda Indonesia, Pujobroto, faktor nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika menjadi penyebab jebloknya kinerja keuangan maskapai pelat merah ini. Sebab, sebagian besar biaya operasional menggunakan dolar Amerika. Dalam keterbukaannya kepada Bursa Efek Indonesia, Garuda menyebutkan efek perubahan kurs mata uang asing hingga September tahun lalu mencapai US$ 35,68 juta (sekitar Rp 433,5 miliar), melonjak ketimbang tahun sebelumnya yang hanya US$ 4,45 juta (sekitar Rp 54,07 miliar).
Pelemahan kurs adalah kondisi yang paling dikhawatirkan maskapai. Sebab, lebih dari separuh biaya operasional menggunakan mata uang asing. Agus Soedjono menyebutkan komponen produksi yang sangat rentan terhadap fluktuasi kurs antara lain pembelian, sewa, perawatan, dan suku cadang pesawat, juga biaya bahan bakar. Sebaliknya, penerimaan perusahaan sebagian besar berupa rupiah. "Semua maskapai prihatin. Kalau rupiah tidak terkendali, berat bagi kami," katanya.
Menurut Jusman Syafii Djamal, mantan Menteri Perhubungan, pelemahan kurs sangat terasa bagi maskapai yang memesan pesawat baru dalam jumlah banyak. Misalnya Lion Air, yang pada Maret 2013 meneken kontrak pembelian 234 pesawat jet penumpang produksi Airbus, Prancis, senilai US$ 23,8 miliar (sekitar Rp 288,1 triliun).
Garuda, yang mengelola empat tipe pesawat, yakni Boeing, Airbus, Bombardier, dan ATR 72, dinilai lebih repot. "Perlu empat sumber suku cadang dengan pola pembiayaan berbeda," kata Jusman. Perusahaan berkode saham GIAA ini berencana mendatangkan 50 unit Boeing 737-800, 10 unit Boeing 777-300ER, 36 unit Bombardier CRJ100, dan beberapa Airbus. Jadwal pengiriman 10 unit Boeing 777-300ER mulai Mei 2013 sampai Januari 2016.
Tapi tak semuanya dibeli. Sebagian akan disewa. Akhir tahun lalu, dua unit Bombardier CRJ100 berkapasitas 96 penumpang tiba. Saat ini Garuda memiliki 94 unit pesawat berbagai merek dan jenis. Separuhnya milik sendiri, sisanya sewa.
Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono yakin setiap maskapai punya jurus untuk menanggulangi persoalan ini. Biasanya perusahaan berusaha mengerek pendapatan dengan menggenjot jumlah penumpang. Sebaliknya pengeluaran yang tidak perlu dipangkas. Tapi pemerintah mengingatkan pemangkasan biaya tidak boleh mengabaikan keselamatan. "Kalau kualitas makanan, misalnya porsi nasi dikurangi, silakan."
Strategi mendongkrak jumlah penumpang, menurut Bambang, bisa dilakukan dengan membuka rute baru yang prospektif, terutama rute luar negeri, untuk menambah pasokan dolar. Langkah ini dilakukan Garuda. Pada November lalu, Garuda membuka rute penerbangan langsung Jakarta-Osaka menggunakan pesawat terbaru Airbus A330-200 berkapasitas 222 penumpang. Bambang menambahkan, untuk menekan pengeluaran dolar, perusahaan maskapai bisa menunda atau mengurangi kedatangan pesawat baru. "Misalnya, semula dijadwalkan datang empat unit tahun ini, bisa dikurangi menjadi tiga unit saja."
Kerugian karena pelemahan kurs tak cuma dikeluhkan Garuda. Direktur Angkutan Udara Kementerian Perhubungan Djoko Murjatmodjo mengatakan maskapai lain bernasib serupa sejak dolar menguat menjadi Rp 12 ribu sekitar November lalu. Padahal asumsi kurs yang digunakan pada awal tahun lalu adalah Rp 10 ribu per dolar. Begitu pula asumsi harga avtur, yang pada awal 2013 ditetapkan Rp 10 ribu per liter, terus bergerak naik.
Djoko memastikan pemerintah akan segera menerbitkan aturan tentang surcharge. "Sedang diproses. Mudah-mudahan bisa diteken Menteri secepatnya sehingga bisa segera diberlakukan," kata Djoko. Formula biaya tambahan ini menggunakan patokan kurs Rp 12 ribu per dolar, dengan harga avtur Rp 11 ribu. Tapi aturan ini akan ditinjau ulang tiga bulan nanti. "Bila kondisi membaik, rupiah menguat, harga avtur turun, akan kami cabut."
Sebaliknya, bila kondisi pada tiga bulan mendatang semakin buruk, menurut Djoko, Kementerian Perhubungan akan menetapkan tarif baru. "Kami sudah siap-siap. Saat ini sedang dihitung tarif yang baru." Ongkos terbang tak lagi murah.
Retno Sulistyowati, Amandra Mustika Megarani (Jakarta), Supriyantho Khafid (Lombok)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo