Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SULIT membayangkan merekalah pelaku serangkaian pembunuhan berencana itu—mutilasi siswa SMA, penembakan pendeta Susanti, dan penebar bom di Pasar Tentena, Poso, Sulawesi Tengah. Empat orang berperawakan kecil duduk di sisi meja. Yang lain, Mohammad Basri alias Bagong, 30 tahun, duduk di depannya. Ketika fotografer Tempo berniat mengambil gambar Basri, yang empat meledek, ”Bagai Armand Maulana, vokalis band Gigi.” Tak mau kalah, Basri melempar guyon, ”Kalian bintang film Flora Fauna.”
Belum berbilang tahun kelimanya melumuri tangan mereka dengan darah. Basri adalah tersangka pelaku 17 kejahatan di Poso dan Wiwin eksekutor yang menebas tiga kepala siswi SMA Palu menjelang Lebaran 2005. Amril Ngiode alias Aat, 27 tahun, adalah orang yang meletakkan bom di Pasar Tentena pada tahun yang sama. Tugiran, seusia Aat, adalah pelaku perampokan Rp 500 juta uang pemerintah Poso.
Awalnya adalah konflik antaragama di Poso yang memuncak pada 2000–2001. Mereka adalah anak-anak muda kelompok muslim yang berperang melawan kelompok Kristen Poso. Ketika perundingan Malino meredakan kemarahan itu pada Desember 2001, mereka tak lantas menggantung bedil. Dibakar dendam dan doktrin agama yang keliru, kelompok tetap angkat senjata. Sampai akhirnya pemerintah menetapkan lima orang itu sebagai bagian dari 29 orang buron Poso.
Sebagian dari mereka mati dan menyerah, yang lainnya, termasuk Basri, dicokok polisi. Sebentar ditahan di Palu, ibu kota Sulawesi Tengah, mereka dilarikan ke Jakarta di bawah pengawalan Detasemen 88 Antiteror yang memang ditugasi khusus menangkap mereka.
Kamis lalu, di sebuah tempat yang dirahasiakan, polisi mempertemukan wartawan Tempo, Arif Zulkifli, Budi Setyarso, dan Agung Rulianto, dengan kelimanya. Tak sedikit pun muncul kesan stres di wajah mereka. Di akhir wawancara, kepada seorang polisi, Basri bahkan minta diantar cukur rambut. Aparat memang berharap banyak kepada mereka. Dari mulut anak-anak muda itu diharapkan terungkap jaringan Poso yang lainnya.
Hampir dua jam Tempo mewawancarai Basri, tokoh sentral dalam kelompok itu. Pria bertato itu sebelum kerusuhan adalah gitaris Seledri Rock Band, kelompok musik yang selalu jadi juara lomba band di Poso. ”Vokalisnya Gerry, orang Nasrani. Woi, suaranya mantap,” kata Basri mengenang. Sambil sesekali menggaruk-garuk bekas luka tembak di pinggang kirinya, bapak dua anak itu menjawab semua pertanyaan dengan rileks. Sesekali dia menggoda, ”Ayo mau tanya apa lagi? Saya buka-bukaan sekarang.”
Bisa diceritakan proses penangkapan Anda?
Saya mulai dari penggerebekan 11 Januari 2007. Hari itu kami kumpul pukul 10.00 di tempat Kardi (salah seorang dari mereka—Red.) Kami baca koran Radar Poso yang menulis ”DPO (buron) Akan Ditangkap Paksa”. Kami lalu bicarakan solusinya, nggak ketemu. Kami lalu tidur. Subuhnya kami salat bersama, sebagian sudah ada yang pulang. Saat itu saya sudah berpikir akan ada yang ”bermain bola” (menggerebek—Red.)
Saya lalu pulang ke rumah mertua karena lapar. Sekira pukul 06.30, terdengar bunyi tar-tar-tar. Wah, sudah ada kontak senjata. Tapi saya terus makan. Istri saya bilang: ”Sudah makannya. Itu sudah ada kontak senjata.” Teh yang masih setengah saya habiskan. Lalu saya keluar pakai celana buntung, jaket hitam, dan topi. Di luar sudah ada polisi, tapi saya terus jalan. Saya berniat tokik (memukul tiang listrik dengan batu—Red.) Seorang polisi bilang: ”Kamu bunyikan, saya tembak!” Saya pikir, saya ketahuan. Eh, ternyata polisi pergi. Dia rupanya tak tahu saya ini Basri.
Lalu?
Saya lari ke Gunung Jati, di belakang kampung, sampai sore. Setelah kontak mereda, saya turun. Saya lihat mayat Ustad Rian (seorang yang dituding polisi bagian dari Jaringan Jemaah Islamiyah di Poso—Red.) Wah, pasti ditembak dia.
Kelompok Anda lalu membuat brigade di Tanah Runtuh?
Nah, setelah kontak 11 Januari, kami berkumpul. Datang Ustad Mahmud (tokoh lain yang dituding polisi sebagai anggota Jemaah Islamiyah juga—Red.) berteriak: ”Demi Allah, laa ilaaha illallah, teman kita satu sudah dibunuh. Kita harus jaga kampung kita.” Ia meminta dibuat karung-karung dan palang pintu. Saya buat barikade di depan rumah Ustad Mahmud. Anak-anak Laskar Bebek (nama laskar anak remaja muslim Poso—Red.) sudah membuatnya. Kami lalu maju. Ustad Mahmud meminta semua jalan dibarikade. Saya bertugas di Pulau Seram, yang lain di Jalan Madura. Waktu itu kami belum diberi senjata. Isu akan ada penggerebekan semakin santer.
Anda lalu bersiap?
Malam 22 Januari 2007, Pak Iban (dituding anggota JI lainnya—Red.) membagikan senjata. Semua pegang senjata rakitan, kecuali saya pegang Uzi yang lumayan bagus. Sekitar pukul tujuh pagi, seseorang mengendarai sepeda motor datang ke Tanah Runtuh. Dia berhenti dan bilang: ”Jaga, siap-siap. Mereka (polisi) akan segera masuk.” Kami panik dan bertanya kepada Ustad Mahmud, bagaimana ini? Dia hanya bilang: ”Sudah, semua siap.” Semua dipanggil, senjata kembali dibagikan.
Kemudian?
Lalu dung-dung-dung, peluru berdesingan. Seperti perang Irak. Jelas, ka-lahlah kami. Tentara kan dilatih, kami ini latihannya hanya guling-guling.
Anda tertembak?
Saya tertembak di pinggang. Panas, panas sekali. Keluar asap di sini (Basri menunjuk pinggangnya). Saya pilin kaus yang saya pakai, lalu saya masukkan ke luka agar darahnya tidak keluar. Datang Aat (tersangka, menyerah pada 2 Februari), dan Tugiran (tersangka lain). Mereka kira saya sudah mati. Saya dilarikan ke rumah bidan yang ketakutan ketika kami datang. Di situ saya sampai malam. Pada sorenya, polisi datang. Mereka minta pintu dibuka, tapi di luar ada yang bilang, nggak ada orang di rumah bidan. Polisi pergi. Saya dirawat, diperban.
Anda tetap berusaha kabur?
Subuh esok harinya, saya keluar dari rumah bidan. Saya pakai topi. Di luar penuh aparat, tapi saya dibiarkan jalan. Mereka kira saya orang biasa. Dengan ojek saya pergi ke Lawangan. Lama sekali saya di situ. Pada 1 Februari, saya pindah ke rumah Haikal (tersangka lainnya) di Kayamanya. Tak lama kemudian polisi datang. Dengan kehendak Allah, saya santai keluar rumah. Tiba-tiba, polisi mulai menembak, saya langsung masuk rumah paling dekat. Saya ngumpet di tempat tidur. Waktu polisi datang menggeledah, saya bilang: ”Saya menyerah, Pak.” Polisi itu malah tertawa dan menjawab: ”Siapa kamu?” Rupanya dia juga belum tahu saya ini Basri.
Anda takut?
Namanya manusia, jelas takut. Kalau tidak, namanya Superman. Saya lalu diborgol dan dibawa ke Markas Polres.
Polisi menetapkan Anda sebagai buron sejak Mei 2006. Ke mana saja Anda selama itu?
Di rumah saja, nggak ke mana-mana. Bolak-balik rumah mertua. Saya pernah diajak ke luar pulau, tapi saya kan punya anak-istri. Bagaimana menghidupi mereka kalau saya lari?
Bagaimana Anda menghidupi keluarga?
Mereka ikut ibu mertua saya.
Rumah mertua Anda kan juga diintai polisi? Bagaimana Anda menemui anak-istri?
Biasanya saya survei dulu, lihat kiri-kanan. Setelah aman baru masuk rumah. Itu pun segera keluar lagi. Namanya sistem ”per”. Biasanya penggerebekan dilakukan aparat segera setelah buron masuk rumah. Makanya, saya masuk, langsung keluar dan sembunyi di dekat sumur. Setelah pasti aman, baru pulang.
Mengapa tidak menyerah sejak awal?
Karena Ustad Mahmud. Kami pernah dikumpulkan Pak Haji Adnan Arsal (tokoh-tokoh masyarakat Islam Poso), tokoh lainnya, dan sejumlah pengacara. Tadinya kami mau menyerah. Keluar dari ruang pertemuan, ustad-ustad dari Jawa itu memanggil kami ke masjid. Ada Ustad Rifki, Ustad Rian, Pak Iban, Ustad Yahya. Mereka memanggil saya, Icang, Bojel, Agus, Upik (Ustad Rian tewas pada penggerebekan 11 Januari 2007; ustad lainnya lari pada saat penggerebekan 22 Januari 2007—Red.)
Lalu?
Mereka bertanya, apa yang dibicarakan dalam pertemuan? Kami jawab, demi masa depan Poso, kami diminta menyerahkan diri. Para ustad itu bilang, dalam Islam menyerahkan diri itu haram. Kami ini kan seperti kerbau waktu diberi dalil-dalil itu. Akhirnya, kami balik lagi, ikut ustad.
Uang hasil merampok uang Pemda dipakai apa?
Saya dapat bagian Rp 5 juta, Saya pakai buat beli handphone. Sisanya dibawa Ipong (menyerah November 2006—Red.)
Soal kekerasan di Poso, Anda menganggapnya perang agama?
Iya (suaranya meninggi). Keluarga saya banyak dibantai, ada 26 orang, pada peristiwa Kilo 9. Mayat semuanya saya angkat sendiri. Sejak itu saya dendam. Lalu datang doktrin-doktrin agama. Saya seperti Popeye yang diberi bayam.
Apa pekerjaan Anda saat itu?
Saya jualan minyak tanah dan ayam.
Anda salat?
Nggak. Kerjaan saya minum, mabuk-mabukan sampai pagi.
Lalu kenapa Anda bilang ini perang agama?
Karena yang dibantai semua orang Islam.
Berapa orang yang sudah Anda bunuh?
Waktu perang, banyaklah.
Apa pendapat Anda tentang Tibo cs?
Tibo? Woo... naga dia! (suaranya sangat keras).
Anda belajar menembak dari siapa?
Dari Pak Mahmud, Haris. Kami belajar tiarap, rolling, dan memakai senjata selama tiga hari di Gunung Jati, Poso.
Dari mana Anda mendapat senjata?
Dari Icang. Saya beli Rp 12 juta, duitnya gabungan: Rp 4 juta hasil penjualan tanah saya yang laku Rp 10 juta dan sisanya dari Icang. Tapi saya nggak tahu Icang dapat dari mana. Kami memakai sistem rantai terputus (Icang tewas dalam penyergapan 22 Januari 2007—Red.)
Pelurunya dari mana?
Semua dari Icang. Kalau habis kami tinggal minta. Dia ahli merakit bom dan senjata.
Anda bisa menembak tepat?
Tidak bisa. Saya ini ngawur nembaknya. Pernah latihan nembak di laut, sasarannya balon. Habis banyak peluru, cuma kena satu.
Di mana senjata-senjata disimpan?
Saya tidak tahu, karena semua sudah ada bagiannya. Mereka bilang ini ja-ringan terputus.
Anda juga memenggal kepala tiga siswi SMA pada 2005?
Ya, rencana itu atas perintah Ustad Sanusi. Hasanuddin menyetujui. Waktu itu bulan puasa, saya hanya disuruh datang. Mereka bertanya, ”Apa ya hadiah Lebaran?” Saya bilang, okelah nanti saya cari target. Beberapa hari kemudian, Iwan (salah seorang tersangka—Red.) dapat target. Koordinator lapangan: ditunjuklah Haris dengan wakil Iwan. Mereka survei tiga hari. Saya, Agus, dan Wiwin hanya eksekutor. Haris menyiapkan tujuh parang, plastik, juga dua motor.
Plastik? Untuk apa?
Untuk menempatkan kepala target.
Kemudian?
Kami kumpul di maktab (markas) saat subuh. Kami jalan menuju Poso, setelah itu balik lagi. Haris dan Iwan terus memantau lokasi untuk mengetahui apakah aparat sudah mengetahui gerakan kami. Dua hari kemudian, setelah salat tarawih, kami dipanggil lagi. Kami lalu tidur di rumah Iwan. Habis salat subuh, kami ganti pakaian. Parang dan plastik dibagikan, lalu kami meluncur. Kami tunggu mereka sampai ada yang bilang ”Sip!” Rupanya target sudah mulai lewat.
Apa yang dilakukan tiga siswa itu sebelum Anda bunuh?
Empat orang siswi berjalan sambil nyanyi-nyanyi dan membawa bunga. Saya bilang, mati mereka, mati mereka. Saya terbayang keluarga saya, mbah saya yang dicincang, digantung. Dendam saya (suara Basri mengeras). Mereka langsung saya tebas satu-satu. Ada yang lari saya kejar. Satu orang yang kena di pipi saya kira mati, ternyata tidak. Waktu saya selesai dengan yang lain, dia lari. Saya bilang, kejar! Nggak dapat. Kepala tiga orang lainnya kami bawa ke maktab. Itu ”hadiah Lebaran”.
Anda pernah dibaiat oleh kelompok Hasanudin?
Saya dibaiat pada 2002–2003 sama Pak Yahya. Jabat tangan, saya disuruh syahadat. ”Apa pun yang terjadi, jemaah harus istiqomah. Antum siap?” Kami jawab, ”Siap!” Setelah itu kami ikut majelis taklim.
Siapa yang mengajar perang?
Pak Toha pernah ngajar, juga Pak Rifki. Kami disuruh lari-lari. Mustofa (tersangka anggota Jemaah Islamiyah—Red.) juga pernah memberi latihan.
Anda tahu orang-orang itu anggota Jemaah Islamiyah?
Saya baru tahu setelah di sini (ditahan polisi di Jakarta). Dulu saya nggak tahu. Dulu di Poso mereka hanya bilang, ayo perang sama-sama.
Kapan Anda mulai merasa Anda dibohongi?
Setelah pada penyergapan tanggal 22 Januari, mereka kabur semua. Dulu, mereka bilang, siap mati bersama, tapi belakangan malah kabur.
Anda masih dendam pada kelompok Kristen?
Saya menyesal. Saya tidak dendam selama mereka tidak menyerang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo