Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tergilas Raksasa Broiler

Puluhan ribu peternak kecil gulung tikar akibat anjloknya harga ayam broiler. Perusahaan besar yang menguasai 70 persen pasar ditengarai bakal memonopoli.

8 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KANDANG ayam milik Jenny Soelistiani di Kota Metro, Lampung, itu kosong melompong. Dalam kondisi normal, delapan deret kandang beralas bambu beratap rumbia itu masing-masing berisi 2.000-3.000 ekor ayam pedaging atau broiler. Bisnis peternakan Sumber Sari Farm milik Jenny berhenti beroperasi setelah bertubi-tubi merugi.

Penyebabnya, harga ayam hidup dibanderol Rp 14 ribu per kilogram, padahal harga pokok penjualannya Rp 17 ribu. Tingginya ongkos produksi berasal dari harga pakan ternak yang melangit. Peternak berusia 49 tahun itu tidak mampu bertahan menanggung kerugian yang berlangsung sepanjang 2014. Akhirnya usaha yang dirintisnya sejak 1993 itu kandas pada Desember tahun lalu. "Kami tergencet dan merugi," katanya Kamis dua pekan lalu.

Anjloknya harga ayam hidup akibat membanjirnya daging broiler di pasar tradisional yang berasal dari peternakan milik PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk. Tahun lalu peternakan Charoen di Lampung memproduksi lima juta ekor broiler. Ayam broiler mereka ini masuk ke pasar tradisional bercampur dengan broiler peternak mandiri seperti Jenny. Karena volume pasokan melebihi permintaan, harga ayam hidup terjun bebas, meski harga dagingnya relatif stabil.

Kondisi di Lampung mewakili gambaran serupa secara nasional. Direktur Pembibitan Kementerian Pertanian Abu Bakar mengatakan produksi broiler mencapai 49 juta ekor per minggu, melebihi kebutuhan nasional yang 42 juta ekor per pekan pada 2014. "Tahun ini kelebihan suplai bakal terulang," ujarnya.

Joko Susilo, peternak asal Sentul, Bogor, Jawa Barat, yang juga anggota Tim Advokasi Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional, mengatakan mereka mengantongi laba hanya dua bulan sepanjang 2014. "Kerugian berlanjut tahun ini."

Gonjang-ganjing harga ayam hidup terendus Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil. Peternak bermodal cekak terancam musnah karena daya tahan modalnya tidak sekuat perusahaan besar, meski sama-sama menanggung kerugian dalam budi daya. "Peternak kecil untung dua kali, ruginya tiga kali. Ini tidak sehat," katanya Kamis pekan lalu.

Yang dimaksud perusahaan besar adalah PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk dan PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk. Direktur Pembibitan Abu Bakar mengatakan Charoen menguasai pangsa pasar 44 persen. Tapi asosiasi peternak menyebut Charoen mendominasi sampai 49 persen. Adapun Japfa sekitar 22 persen.

Charoen dan Japfa sebenarnya juga ikut tekor lantaran harga ayam hidup yang jatuh. Namun, menurut Abu Bakar, keduanya masih mampu menutupi kerugian dari penjualan day old chick (DOC) atau bibit broiler dan pakan ternak. "Kalau peternak kecil sudah kolaps."

Direktur Pemasaran Charoen Pokphand, Jemmy Wijaya, menampik jika anjloknya harga ayam hidup akibat produksi perseroannya yang membanjir. Menurut dia, volume produksi DOC Charoen masih wajar dan tak mengganggu pasar, karena pangsa Charoen mencapai 39 persen. Ia menilai klaim oversuplai dan rendahnya permintaan merupakan jurus distributor broiler untuk mendapatkan harga murah dari peternak. "Itu cara mereka tawar-menawar," katanya.

Budiarto Soebijanto, Wakil Direktur Utama PT Multibreeder Adirama Indonesia Tbk, perusahaan pembibitan milik PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk, menyatakan ekspansi perusahaannya masih terhitung normal. "Peningkatan volume DOC broiler kami masih 1,5 kali lipat," ucapnya.

****

KEMENTERIAN Pertanian tahu betul badai kerugian yang menimpa peternak kecil akibat melimpahnya DOC milik perusahaan pembibitan. Tapi Direktur Pembibitan Abu Bakar mengakui pemerintah enggan memaksa produsen memangkas produksi. "Nanti saya dituding mengintervensi pasar," katanya.

Jalan keluarnya, Abu Bakar memfasilitasi terbentuknya tim ad hoc yang beranggotakan perusahaan pembibitan dan asosiasi peternak pada Desember 2014. Chandra Gunawan, General Manager Charoen Pokphand, ditunjuk sebagai ketua.

Tim ad hoc menghitung produksi broiler 2015 mencapai 64 juta ekor per minggu atau 3,3 miliar ekor per tahun. Volume ini melebihi kebutuhan broiler yang mencapai 47 juta ekor per pekan. Dengan sendirinya harga jatuh.

Solusinya, DOC broiler harus dipangkas dengan cara mengaborsi. Pemangkasan diharapkan menyundul harga DOC, yang imbasnya menaikkan harga ayam hidup. Rupanya, perhitungan itu meleset. Harga DOC memang naik, tapi harga ayam hidup tetap rendah.

Para peternak mencurigai Charoen dan Japfa tak serius mengurangi produksi, lalu muncul pernyataan mosi tak percaya kepada Chandra Gunawan sebagai ketua tim. "Memangkas DOC bukan perkara mudah. Harus ada kesepakatan bersama," kata Chandra.

Sigit Prabowo, Ketua Umum Perhimpunan Peternak Unggas Nasional sekaligus anggota tim ad hoc, mengatakan, karena aborsi DOC gagal, jumlah induk broiler atau parent stock (PS) harus dikurangi. Tim menggelar rapat di kantor Abu Bakar di Ragunan, Jakarta Selatan, Jumat, 8 Mei lalu. Mereka sepakat 8 juta ekor PS yang harus dimusnahkan. Masalahnya, PS milik siapa yang akan dihabisi?

Chandra menyodorkan kesediaan Charoen memangkas 4 juta ekor PS. Tapi usul itu dianggap terlalu kecil oleh perwakilan Japfa, Agus Tono. Hitungan Japfa, Charoen harus memotong 6 juta ekor PS. Wakil Direktur Utama MBAI Budiarto Soebijanto, bos Agus Tono, mengatakan usul Japfa mengacu pada besaran ekspansi impor kakek-nenek broiler atau grandparent stock (GPS) setiap perseroan. "Charoen harus memangkas lebih besar karena lonjakan volume GPS-nya 10 kali lipat," kata Budiarjo.

Jemmy Wijaya menolak usul Japfa. Ia menilai 4 juta ekor PS sudah mencapai 50 persen. "Padahal volume GPS kami kurang dari 50 persen," katanya.

Karena situasi tegang, Abu Bakar menghentikan rapat yang sudah berlangsung tiga jam itu. Rapat dilanjutkan pada Senin, 11 Mei, di tempat yang sama. Abu Bakar meminta perwakilan Japfa yang datang setara dengan direktur. Tiga hari kemudian rapat digelar. Namun perwakilan Japfa yang hadir lagi-lagi Agus Tono. Abu Bakar kecewa, lalu mengusir Agus. "Saya suruh keluar karena dia tidak diundang," katanya.

Budiarto menilai pengusiran Agus Tono bukan karena tak diundang, melainkan data yang disajikan Japfa lebih valid dan menohok Charoen. "Kalau tak terima, seharusnya koreksi data kami," ucap Budiarto. Rapat bubar tanpa menghasilkan kesepakatan apa pun hingga sekarang. "Tim ad hoc vakum," Abu Bakar menambahkan.

Imbasnya, overproduksi masih berlangsung dan mengancam peternak kecil. Joko Susilo dari Tim Advokasi Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional menilai pemerintah lamban melindungi peternak kecil dari gelagat monopoli atau oligopoli perusahaan raksasa. "Kalau hal ini dibiarkan, tahun depan peternak kecil punah."

Akbar Tri Kurniawan, Nurrochman Arrazie (lampung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus