Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Terjepit Bank Bali, Terantuk Suku Bunga

Rupiah keok. Kurs sempat ditekuk sampai Rp 8.250 per dolar, rekor terendah dua setengah bulan terakhir. Sampai kapan harga dolar akan melambung?

8 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Inilah kado paling menyakitkan bagi rupiah. Empat hari menjelang ulang tahun kemerdekaannya dari kurungan pita intervensi, rupiah dibantai habis-habisan. Maraknya permintaan dolar yang menggerayangi seluruh dunia, Selasa pekan lalu, telah menekuk rupiah sehingga kurs merosot sampai Rp 8.250 per dolar. Ini rekor kurs paling rendah bagi rupiah selama dua setengah bulan terakhir. Untunglah, serangan tak berlanjut. Esoknya, begitu melihat dolar tetap berkibar-kibar di atas Rp 8.000, beberapa investor mulai memetik untung. Mereka yang menjala dolar ketika harganya masih Rp 6.550 dua bulan lalu mulai mengobral mata uang hijau Amerika Serikat ini. Lumayan: untung 22 persen dalam tempo dua bulan! Jurus obral ini tentu saja meredam gejolak pemburuan dolar. Langkah Bank Indonesia menjual dolar US$ 5 sampai 10 juta sehari ikut menyokong rupiah. Melalui beberapa bank BUMN, bank sentral melepas dolar seharga kurang dari Rp 8.000. Menurut beberapa pemain pasar uang, pernyataan Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin bahwa kurs ideal berada di antara Rp 6.000 dan Rp 7.000 per dolar ikut pula menolong. Singkat kata, pelbagai dukungan ini mendongkrak rupiah. Pelan-pelan, nilai tukar mulai terkerek naik. Jumat akhir pekan lalu, pasar ditutup dengan penawaran dolar pada Rp 7.955. Lumayan, memang, masih di bawah Rp 8.000. Tapi, pertanyaannya: apakah posisi itu akan bertahan? Ataukah justru makin merosot? Apakah kejatuhan rupiah pada pertengahan Agustus ini, persis seperti ketika krisis meletup dua tahun lalu, akan menjadi awal dari krisis kedua? Untuk sampai kepada kesimpulan seram seperti itu, bukti-bukti yang ada agaknya kurang meyakinkan. Tapi, seperti terjadi pada awal krisis, kali ini dolar tak cuma menggertak rupiah tapi juga mengancam mata uang lain di Asia. Seperti deretan kartu domino yang berjatuhan, Selasa lalu, semua mata uang Asia Timur dan Tenggara serentak lumpuh terhadap dolar. Di Jakarta, dolar mencapai harga termahal dalam dua setengah bulan terakhir. Adapun di Manila, dolar juga mencetak rekor paling mahal dalam setengah tahun terakhir. Bangkok? Sama saja. Hari itu, baht Thailand tenggelam di titik terendah selama sepuluh bulan terakhir. Keseragaman itu agaknya mengingatkan orang pada efek domino pada awal krisis. Sampai-sampai, seorang analis dari Standard Chartered di Singapura menengarai adanya gejala "minicontagion". Maksudnya, ambruknya nilai mata uang di satu negara menyeret serta rontoknya nilai mata uang negara lain. Benar atau tidak, analisis seperti itu harus menunggu waktu. Tapi keseragaman ini setidaknya memberikan petunjuk: Asia sedang menghadapi musuh yang sama. Menurut Direktur Jardine Fleming, Rizal Bambang Prasetijo, sedikitnya ada lima ancaman perekonomian Asia: kenaikan suku bunga dolar, ketegangan hubungan Cina dengan Taiwan, ketakutan devalusai yuan, keraguan atas nyata-tidaknya kepulihan perekonomian Asia (kasus rontoknya konglomerasi Korea), dan terakhir murahnya harga aset di Eropa ketimbang di negara-negara Asia (di luar Jepang). Saat ini, beberapa dari ancaman itu memang sudah diantisipasi pasar. Maksudnya, sudah tercermin dalam harga mata uang di pasar. Soal devaluasi yuan, misalnya, pasar tampaknya telah memperhitungkan devaluasi yuan 8-10 persen akhir tahun atau awal tahun depan. Jadi, ancaman yuan mestinya tak perlu direken lagi kecuali jika tingkat devaluasinya melenceng dari perkiraan. Ancaman suku bunga dolar juga setali tiga uang. Persoalannya sekarang tinggal berapa persen suku bunga dolar akan naik dan apakah kenaikannya akan bertahap. Jika cuma 0,25 persen lalu stop, itu sudah diperhitungkan. "Jadi, tidak akan ada pengaruhnya untuk nilai tukar," kata Direktur Riset Nomura Indonesia, Goei Siauw Hong. Celakanya, beberapa ancaman "internasional" itu bobotnya membesar ketika sampai di Indonesia. Dalam hal suku bunga dolar, misalnya, persoalannya bukan sekadar berapa bunga dolar akan naik, tapi selisih bersihnya terhadap suku bunga rupiah. Soalnya, suku bunga rupiah cenderung terus merosot. Rabu lalu, hasil lelang menunjukkan bahwa suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) saat ini cuma 13,09 persen, merosot dari 15,66 persen bulan lalu. Seiring dengan itu, batas bunga maksimum deposito yang bisa dijamin pemerintah juga diturunkan hingga menjadi 15 persen. Padahal, suku bunga simpanan dolar cenderung terus menanjak. Akibatnya, selisih suku bunga rupiah dengan dolar makin tipis: keuntungan menyimpan rupiah kian menguap. Repotnya lagi, dari sisi politik tekanan kian bertubi-tubi. Tingkat kekerasan dan bentrokan di beberapa daerah, misalnya, makin panas. Selain itu, analis luar negeri juga meletakkan faktor kosongnya kepemimpinan politik sebagai masalah serius. Dan, tentu saja skandal Bank Bali. Semua ini akan menggerus kepercayaan investor terhadap Indonesia. Pelaku bisnis pada umumnya ketakutan. "Apa yang bisa terjadi pada Bank Bali," kata seorang bankir, "bisa terjadi pada siapa pun." Kasus Bank Bali agaknya tak bisa dianggap enteng. Dana Moneter Internasional (IMF), lembaga keuangan yang punya komitmen meminjamkan paket utang US$ 43 miliar kepada Indonesia, ikut murka dengan kasus ini. "Ketidaklaziman transaksi ini sangat memprihatinkan," kata juru bicara IMF. Lembaga keuangan internasional ini cuma punya satu resep untuk mengembalikan kepercayaan investor: skandal ini harus dituntaskan. Caranya, pemerintah harus melakukan investigasi menyeluruh, yang dibeking auditor indipenden dan hasilnya diumumkan secara terbuka. Di luar pelbagai ancaman itu, beberapa analis menunjuk satu benteng pelindung rupiah yang kini telah luluh, yaitu menguapnya euforia pascapemilu. Beberapa pekan lalu, perasaan sebagai bangsa masih bisa dibombong oleh jalannya pemilu yang mulus. Tapi kini, setelah sejumlah gontok-gontokan di Komite Pemilihan Umum dan perhitungan suara, rasa bangga itu juga ikut menguap. Nick Douch, ahli mata uang negara berkembang dari Barclays Capital di London, menggangap soal ini sebagai ancaman yang tak kurang serius. Selama ini, katanya, "Rupiah cuma disokong mitos." Karena itu, sekarang saatnya rakyat menyadari, kata Douch seperti dikutip Reuters, "bahwa mereka hidup di negeri yang mengerikan." Dengan pelbagai kalkulasi itu, bagaimana kira-kira nasib rupiah pekan ini? David Simmonds, ahli valuta asing dari Citibank Singapura, menaksir nilai tukar mata uang Asia Tenggara cenderung tetap merosot. Secara khusus, ia menunjuk rupiah dan peso Filipina. Keduanya akan kembali menyentuh titik terendah. Itu artinya, jika kaca kristal Simmonds bisa dipercaya, harga dolar akan melonjak sedikitnya sampai Rp 8.250 pekan ini. Adapun batas bawahnya cuma sampai Rp 7.800 per dolar. Begitu batas itu tersentuh, menurut Simmonds, harga dolar akan kembali membal ke atas. Pendapat senada juga dilontarkan seorang analis mata uang dari sebuah bank besar di London. Berdasarkan kencangnya permintaan dolar (untuk ditukar rupiah), baik di luar maupun di dalam negeri, analis ini yakin harga dolar bisa terkerek terus sampai Rp 8.600 atau bahkan Rp 9.000. Kendati tak bisa memastikan pergerakan harga dolar pekan depan, Rizal Bambang Prasetijo yakin, harga rupiah kini masih terlalu mahal. Ia menghitung, harga dolar yang wajar ada pada Rp 8.500 sampai Rp 9.000. Tapi ia mengaku tak pernah tahu, kapan harga wajar itu akan tercapai. Pedagang pasar uang di Jakarta maupun Singapura pada umumnya sepakat dengan Simmonds. Dalam waktu dekat rupiah akan kembali mengetes batas terbawah selama dua setengah bulan terakhir: Rp 8.250. Tapi benarkah? Mari kita buktikan. Dwi Setyo, Lea Tanjung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus