SEJAK bulan lalu buruh-buruh tambang batu granit di Pasir
Panjang Karimun sering kelihatan keluar masuk kantor Resort
Tenaga Kerja Tanjung Pinang. Juga di kantor DPRD dan
instansi-instansi lain yang berwewenang menangani perkara
perburuhan di Kepulauan Riau. Ini agak aneh. Sebab sejak
didirikannya tambang PT Karimun Granit (PTKG) itu di tahun 1971,
yang berproduksi mulai tahun berikutnya, jarang terdengar ada
perkara perburuhan di perusahaan kongsi Indonesia-Malaysia itu.
Ada apa gerangan?
Ternyata tahun-tahun belakangan ini para buruh tambang itu
"merasa kurang tenteram dalam bekerja", tutur Mahidin Ibrahim,
ketua I SBMP (Serikat Buruh Minyak, Gas Bumi & Partambangan
Umum) basis PTKC kepada Rida K. Li amsi dari TEMPO . Mengapa?
"Sebab pimpinan PTKG sudah tidak mau lagi mengindahkan PP No.
12/1964 dalam pemutusan hubungan kerja", sahut Muhidin yang
sudah bekerja di tambang itu sejak awal. Setiap saat bisa
terjadi pemberhentian buruh tanpa tahu sebab musababnya secara
jelas. Padahal menurut ketentuan, kalaupun ada, kesalahan mesti
diberi peringatan dulu sampai 3 kali dan masing-masing selang 3
bulan. Kalaupun kemudian diskors, toh masih berhak menerima 50%
dari upah mereka.
Hal-hal semacam inilah yang merisaukan 300 buruh tetap di sana.
Juga buruh-buruh harian, yang bukan anggota SBMP. Tapi apakah
pemberhentian yang semena-mena itu sudah pernah terjadi? "Sudah
lebih dari 10 orang" sahut Mahidin. "Pokoknya sejak Karimun
Granit dipimpin oleh orang dari Selandia Baru, banyak juga
karyawan diberhentikan tanpa musyawarah", tutur pemimpin buruh
kelahiran Begkalis itu. Menurut yang empunya cerita, ini berbeda
ketika perusahaan masih dipegang oleh orang asing yang lain,
David Kinghone.
Suka Keliru
Setiap ada pemutusan huungan kerja Mahidin atau anak buahnya
terpaksa sibuk mendatangi pimpinan Karimun Granit. Mereka
biasanya menemui jalan buntu. Terpaksa 'naik banding' ke kantor
Resort Tenaga Kerja di Tanjung Pinang. Maka datanglah teguran
dari kantor itu ke alamat pimpinan Karimun Granit. Tapi esok
lusanya, mulai lagi sang majikan melakukan pemberhentian tanpa
musyawarah. Risau dengan cara bolak-balik itu, pimpinan SBMP
langsung mengajukan pengaduan secara terbuka. Baik kepada
Depnaker, mau pun ke DPRD dan Pemerintah Daerah. "Kami minta
agar UU Perburuhan No. 12/64 itu diterapkan dan dipatuhi oleh
pimpinan Karimun Granit", ujar Mahidin. Tapi walaupun perhatian
dari kantor resort Tenaga Kerja dan FBSI setempat mulai
meningkat, pemberhentian buruh jalan terus. Orang pun
bertanya-tanya: mengapa justru sekarang cerita tentang
pemberhentian beruntun itu mulai rancak?
Satu sumber yang berhasil dihubungi TEMPO menyebutkan bahwa
akhir-akhir ini produksi perusahaan itu semakin melorot.
Meskipun ketika kontrak pendirian kongsi itu diteken, tambang
itu dikabarkan mampu menghasilkan 100-150 ribu ton per bulan.
Tapi nyatanya selama 4 tahun lebih ini kapasitas paling tinggi
hanya 40-45 ribu ton per tahun. Malah menurut sumber itu, tahun
lalu Karimun Granit mengalami kerugian hampir Rp 170 juta. Nah,
boleh jadi karena perusahaan mulai merasa terjepit,pemberhentian
buruh secara perlahan-lahan tak dapat dielakkan. Hal itu sudah
didahului dengan pembatalan kenaikan upah umum yang dijanjikan
mulai September 1975.
Namun tidak semua orang percaya bahwa kerugian PT Karimun Granit
itu akibat produksi yang melorot. Menurut sebuah sumber, ada hal
lain yang ikut membuat gundah kas tambang batu granit itu. Yakni
ulah sementara perusahaan pensuplai onderdil dan alat-alat
produksi tambang itu. Kerap terjadi, pesanan sudah dilengkapi
data komplit namun barang yang dikirim keliru. Padahal alat-alat
itu ada yang dibeli jauh sampai ke London. Tentu saja tak
mungkin untuk dikembalikan. Maka mau tak mau tetap dibayar dan
dipesan lagi alat yang cocok. Akibatnya biaya eksploitasi
meningkat, sementara produksi masin di bawah perkiraan semula.
Nah. kalau itu biang keladinya mengapa kepentingan karyawan yang
dikorbankan'? Dan bukan seksi logistiknya diperbaiki cara
kerjanya. untuk mencegah pemborosan yang tak perlu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini