Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menambal lobang pertamina

Pinjaman indonesia yang dibicarakan selama sidang iggi di amsterdam sebanyak $as 1 milyar tak terpenuhi. selesai sidang pejabat ekuin terbang ke berbagai negara mencari pinjaman proyek pertamina.

3 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERNIE Bell, kini Wakil Presiden Bank Dunia, ada bicara tentang proyek-proyek Pertamina dan eks Pertamina selama sidang IGGI di Amsterdam yang baru lalu. Biasa dipanggil Pak Bell di kalangan tehnokrat muda di Jakarta, tangan kanan McNamara itu beranggapan untuk melanjutkan proyek-proyek itu Indonesia paling tidak butuh kredit $AS 1 milyar. Adapun perinciannya: untuk Krakatau Steel $ 480 juta, untuk proyek LG di Arun dan Badak $ 462 juta, kilang minyak Cilacap $ 50 juta dan pabrik. Tentang yang terakhir itu, Prof. Widjojo di Amsterdam menjelaskan dana sebanyak itu ($ 200 juta) dibutuhkan karena pabrik pupuk yang tak jadi diapungkan di tengah laut seperti rencana Pertamina semula, konstruksinya harus dirubah secara drastis. Dan mengapa sampai tak jadi diapungkan, konon team penyehatan Pertamina beranggapan cara begitu terlalu besar risikonya. Selain merupakan eksperimen yang baru -- juga bagi para insinyur asing yang membuatnya kapal pupuk terapung itu "merupakan eksperimen yang amat mahal yang baru dikenal Indonesia". Begitu kata seorang anggota team Penyehatan Pada TEMPO. Maka agar tak berabe di kemudian hari, diputuskan agar pabrik pupuk terapung itu didaratkan saja. Beterbangan Maka selepas sidang IGGI para pejabat Ekuin beterbangan lagi ke berbagai negara guna meneruskan negosiasi pinjaman buat merampungkan proyek-proyek Pertamina/eks Pertamina itu. Menteri Perdagangan Radius Prawiro terbang lagi ke Tokyo, mencari tambahan pinjaman sebanyak 200 juta dollar buat proyek LNG Arun dan Bontang. Sedang gubernur Bank Sentral Rachmat Saleh terbang ke Bonn buat merundingkan permintaan pinjaman $ 480 juta untuk pabrik baja Krakatau Steel (TEMPO, 29 Mei). Yang pergi ke Jepang, pulang dengan gembira: Jepang bersedia memberikan pinjaman $ 110 juta lagi, hingga total jenderal dari kekurangan yang 460 juta itu Jepang akan menombok $ 280 juta. Dari Indonesia harus mencari sendiri yang 180 juta. Pinjaman Jepang itu merupakan campuran antara kredit ekspor dan kredit komersiil. Bank Eksim Jepang dan 16 bank dagang di sana akan meminjamkan yang $ 231 juta. Sedang sebuah konsortium bank internasional yang dipimpin oleh Industrial Bank of Japan dan Bank of Tokyo akan meminjamkan yang $ S0 juta lagi. Selanjutnya ke 5 perusahaan listrik Jepang yang bakal mengkonsumir gas alam cair Arun dan Badak bersedia memberikan pinjaman sebanyak $ 90 juta yang masih dibutuhkan oleh Pertamina. Pokoknya Jepang Bayar Mengapa proyek LNG Arun dan Badak lebih mudah memancing dana luar negeri? Mungkin, karena manfaatnya sudah jelas. Kalau akhir 1977 pabrik pencairan gas alam di Bontang Selatan itu sudah mulai mengalirkan LNG-nya ke Jepang, berarti uang mulai masuk ke Indonesia. Dan kalau pabrik yang di Arun juga sudah berproduksi, diperkirakan bahwa lebih dari $ 400 juta bisa masuk ke kas negara tiap tahun. Seperti diungkapkan dubes RI di Tokyo, Letjen A.J.Witono pada TEMPO di sela-sela sidang IGGI, dalam kontrak penjualan 7,5 juta ton LNG ke Jepang tiap tahun berlaku prinsip "take or pay " Artinya Jepang diharuskan tetap membayar jatah penjualan gas alam Indonesia ke Jepang, walaupun satu waktu keadaan tertentu membuat Jepang tidak dapat mengimpor seluruh jatahnya dari Arun dan Badak. Ketentuan ini merupakan pengaman yang jitu mengingat saingan yang bakal muncul dari Brunai dan Malaysia Timur. Atau Siberia. Makanya sepulang dari Tokyo, Menteri Perdagangan Radius Prawiro optimis dalam 12 tahun hutang Indonesia pada Jepang untuk proyek LNG itu bisa terlunasi. Malah sebelum lunas pun Indonesia sudah dapat memetik keuntungan dari hasil penjualan gas alamnya itu. Sementara itu, minggu lalu Menteri Ekuin mengumumkan bahwa misi Rachmat Saleh ke Bonn telah berhasil pula. Bank-bank di Jerman Barat di bawah pimpinan Deutsche Bank telah menyetujui permintaan tambahan dana 1,2 milyar DM (sekitar $ 480 juta) bagi Krakatau Steel. Belum diketahui dengan pasti apakah pinjaman dan konsortium Deutsche Bank yang dipimpin oleh Dr Hermann Abs itu berupa kredit komersiil biasa, atau kredit ekspor yang lebih disenangi Indonesia. Maklumlah, kredit ekspor bunganya bisa sedikit lebih rendah dari pada kredit komersiil biasa, tak sampai 9. Dan masa pengembaliannya juga lebih lama (8-10 tahun). Kabarnya perundingan untuk mendapatkan pinjaman tambahan dari Jerman itu lebih lama, karena Jerman pada mulanya minta kompensasi berupa suplai minyak. Tapi ditolak oleh Indonesia. Alhasil, Juli mendatang kontrak pinjaman dari konsortium bank Jerman itu akan ditandatangani, tanpa dikaitkan dengan ekspor minyak ke sana: Adapun soal kilang minyak Cilacap yang bisa menyaingi peranan kilang Sipco di pulau Bukom, Singapura kekurangannya yang $ 50 juta sudah lama ditombok oleh B.I. Dengan demikian diharapkan akan rampung bulan September mendatang. Jadi tinggal menanti penyelesaian nasib pabrik pupuk Kal-Tim, yang tak jadi terapung itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus