BERNIE Bell, kini Wakil Presiden Bank Dunia, ada bicara tentang
proyek-proyek Pertamina dan eks Pertamina selama sidang IGGI di
Amsterdam yang baru lalu. Biasa dipanggil Pak Bell di kalangan
tehnokrat muda di Jakarta, tangan kanan McNamara itu beranggapan
untuk melanjutkan proyek-proyek itu Indonesia paling tidak butuh
kredit $AS 1 milyar. Adapun perinciannya: untuk Krakatau Steel $
480 juta, untuk proyek LG di Arun dan Badak $ 462 juta, kilang
minyak Cilacap $ 50 juta dan pabrik.
Tentang yang terakhir itu, Prof. Widjojo di Amsterdam
menjelaskan dana sebanyak itu ($ 200 juta) dibutuhkan karena
pabrik pupuk yang tak jadi diapungkan di tengah laut seperti
rencana Pertamina semula, konstruksinya harus dirubah secara
drastis. Dan mengapa sampai tak jadi diapungkan, konon team
penyehatan Pertamina beranggapan cara begitu terlalu besar
risikonya. Selain merupakan eksperimen yang baru -- juga bagi
para insinyur asing yang membuatnya kapal pupuk terapung itu
"merupakan eksperimen yang amat mahal yang baru dikenal
Indonesia". Begitu kata seorang anggota team Penyehatan Pada
TEMPO. Maka agar tak berabe di kemudian hari, diputuskan agar
pabrik pupuk terapung itu didaratkan saja.
Beterbangan
Maka selepas sidang IGGI para pejabat Ekuin beterbangan lagi ke
berbagai negara guna meneruskan negosiasi pinjaman buat
merampungkan proyek-proyek Pertamina/eks Pertamina itu. Menteri
Perdagangan Radius Prawiro terbang lagi ke Tokyo, mencari
tambahan pinjaman sebanyak 200 juta dollar buat proyek LNG Arun
dan Bontang. Sedang gubernur Bank Sentral Rachmat Saleh terbang
ke Bonn buat merundingkan permintaan pinjaman $ 480 juta untuk
pabrik baja Krakatau Steel (TEMPO, 29 Mei).
Yang pergi ke Jepang, pulang dengan gembira: Jepang bersedia
memberikan pinjaman $ 110 juta lagi, hingga total jenderal dari
kekurangan yang 460 juta itu Jepang akan menombok $ 280 juta.
Dari Indonesia harus mencari sendiri yang 180 juta. Pinjaman
Jepang itu merupakan campuran antara kredit ekspor dan kredit
komersiil. Bank Eksim Jepang dan 16 bank dagang di sana akan
meminjamkan yang $ 231 juta. Sedang sebuah konsortium bank
internasional yang dipimpin oleh Industrial Bank of Japan dan
Bank of Tokyo akan meminjamkan yang $ S0 juta lagi. Selanjutnya
ke 5 perusahaan listrik Jepang yang bakal mengkonsumir gas alam
cair Arun dan Badak bersedia memberikan pinjaman sebanyak $ 90
juta yang masih dibutuhkan oleh Pertamina.
Pokoknya Jepang Bayar
Mengapa proyek LNG Arun dan Badak lebih mudah memancing dana
luar negeri? Mungkin, karena manfaatnya sudah jelas. Kalau akhir
1977 pabrik pencairan gas alam di Bontang Selatan itu sudah
mulai mengalirkan LNG-nya ke Jepang, berarti uang mulai masuk ke
Indonesia. Dan kalau pabrik yang di Arun juga sudah berproduksi,
diperkirakan bahwa lebih dari $ 400 juta bisa masuk ke kas
negara tiap tahun. Seperti diungkapkan dubes RI di Tokyo, Letjen
A.J.Witono pada TEMPO di sela-sela sidang IGGI, dalam kontrak
penjualan 7,5 juta ton LNG ke Jepang tiap tahun berlaku prinsip
"take or pay "
Artinya Jepang diharuskan tetap membayar jatah penjualan gas
alam Indonesia ke Jepang, walaupun satu waktu keadaan tertentu
membuat Jepang tidak dapat mengimpor seluruh jatahnya dari Arun
dan Badak. Ketentuan ini merupakan pengaman yang jitu mengingat
saingan yang bakal muncul dari Brunai dan Malaysia Timur. Atau
Siberia. Makanya sepulang dari Tokyo, Menteri Perdagangan Radius
Prawiro optimis dalam 12 tahun hutang Indonesia pada Jepang
untuk proyek LNG itu bisa terlunasi. Malah sebelum lunas pun
Indonesia sudah dapat memetik keuntungan dari hasil penjualan
gas alamnya itu.
Sementara itu, minggu lalu Menteri Ekuin mengumumkan bahwa misi
Rachmat Saleh ke Bonn telah berhasil pula. Bank-bank di Jerman
Barat di bawah pimpinan Deutsche Bank telah menyetujui
permintaan tambahan dana 1,2 milyar DM (sekitar $ 480 juta) bagi
Krakatau Steel. Belum diketahui dengan pasti apakah pinjaman dan
konsortium Deutsche Bank yang dipimpin oleh Dr Hermann Abs itu
berupa kredit komersiil biasa, atau kredit ekspor yang lebih
disenangi Indonesia. Maklumlah, kredit ekspor bunganya bisa
sedikit lebih rendah dari pada kredit komersiil biasa, tak
sampai 9. Dan masa pengembaliannya juga lebih lama (8-10
tahun).
Kabarnya perundingan untuk mendapatkan pinjaman tambahan dari
Jerman itu lebih lama, karena Jerman pada mulanya minta
kompensasi berupa suplai minyak. Tapi ditolak oleh Indonesia.
Alhasil, Juli mendatang kontrak pinjaman dari konsortium bank
Jerman itu akan ditandatangani, tanpa dikaitkan dengan ekspor
minyak ke sana: Adapun soal kilang minyak Cilacap yang bisa
menyaingi peranan kilang Sipco di pulau Bukom, Singapura
kekurangannya yang $ 50 juta sudah lama ditombok oleh B.I.
Dengan demikian diharapkan akan rampung bulan September
mendatang. Jadi tinggal menanti penyelesaian nasib pabrik pupuk
Kal-Tim, yang tak jadi terapung itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini