SIAPA menyangka negara kita, yang terkenal dengan tempe, tahu,
tauco dan kecapnya itu, ternyata masih mengimpor bahan bakunya
berupa kacang kedele dari luar? Umumnya masuk dari Muangthai
setelah melalui pasar di Singapura. Padahal beberapa tahun
sebelumnya, walaupun tak banyak, Indonesia masih mampu menjual
kedelenya di luar negeri. Baik ke Jepang, Malaysia, Singapura
sampai ke Australia dan Nederland sana. Tahun 1974, tahun akhir
masa ekspor komoditi kecil ini, sekitar 4000 ton dengan nilai
$AS 176 ribu (kira-kura ip 175 per kilo) terkirim ke luar
negeri. Tahun sebelumnya lebih lumayan: terekspor 36 ribu ton
lebih dengan nilai $AS 851 ribu -- walaupun harga turun menjadi
RP 94 per kilo. Masa ekspor jenis ini memang berjalan tak lebih
cuma lima tahun. Itu pun konon karena pasaran kedele dunia lagi
langka -- akibat bencana alam di negara penghasil utama, Belgia.
Soal Tanah
Dunia masih membutuhkan lebih banyak kedele dari yang tersedia
--untuk manusia dan ternak, karena protein yang dikandungnya
memadai (46%). Jalan pemasaran ke Eropa juga licin. "Lihat saja
ikhtiar Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) yang ingin menanam kedele
di Indonesia", begitu keterangan seorang dari Bappenas minggu
lalu. Dan mereka kelihatannya akan berusaha tidak
tanggung-tanggung: akan membuka perkebunan kedele seluas 200
ribu Ha. Sayangnya keinginan yang baik ini sulit dipenuhi di
Indonesia. "Rasanya kita sulit menyediakan tanah seluas itu
dalam satu daerah", begitu kata seorang Bappenas itu kemudian.
Dan investor-investor MEE tak ingin kebunnya terpisah-pisah di
beberapa daerah. Apa boleh buat. Sedangkan penanaman kedele yang
ada, yang tradisionil dengan hasil di bawah standar ekspor,
belum cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
Belum lagi beres rencana MEE, seorang dari negeri sendiri maju
dengan rencananya. Faisal Syawie dari PT Tandu Rusa di Manado,
menyodorkan rencana untuk membuka sawah kedele seluas 300 Ha di
desa Sangkup -- agak jauh dari ibukota Sulawesi Utara. Sawah
percobaan, seluas 4 Ha, telah dibuka dengan jenis kedele
Amerikana & Orba. Jenis yang pertama lebih dapat diharapkan
hasilnya,karena dapat menghasilkan 4 ton setiap hektar, seperti
yang sudah dihasilkan di Jambi. Modal dari PDFCI, lembaga
keuangan non bank, yang telah menyanggupi meminjami separoh dari
yang diliperlukan. Telah dua kali orang PDFCI meninjau rencana
Tandu Rusa ini. Tampaknya rencana itu akan menjadi kenyataan,
setelah perusahaan pengelolanya di-PMDN-kan.
Ambisi sih ingin memasarkan ke luar negeri. Tapi sedikitnya
dapat tertampung di PT Kamanta Vegetable Oil (KVO), pengolah
minyak (yang selama ini mengolah minyak kelapa), yang perlu
kedele 2000 ton sebulan . Yang maih perlu digarap, agaknya,
sarana angkutan yang umumnya masih jadi hambatan di daerah
penghasil bahan ekspor pada umumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini