DIAM-diam, mereka "bertanam". Siapa? PT Pindad Bandung, yang selama ini kita kenal sebagai pabrik senjata, dan kini menyeruak ke lahan lain. Sudah sejak 5 tahun lalu, kompleks pabrik yang luas dan rindang itu sibuk membuat produk nonmiliter, seperti generator, vacuum circuit breaker (VCB) -- pemutus tenaga media vakum -- rem kereta api, dan mesin bubut. Bahwa aktivitas Pindad beralih ke produksi barang-barang nonmiliter, tentu bukan tanpa alasan. Ini diutarakan oleh Rahardi Ramelan, salah seorang direksinya, kepada TEMPO. "Guna efisiensi, maka konsep investasi Pindad yang hanya sebagai pabrik senjata perlu diubah," ucapnya. Perubahan konsep itu dicanangkan sekitar tahun 1983 lalu, sekaligus dibarengi dengan perubahan kegiatan produksi. Menurut Rahardi, Pindad, yang dulunya 100% memproduksi keperluan militer, setelah lahirnya konsep efisiensi itu tinggal 20% yang memproduksi senjata. Sedangkan 80% lainnya dipergunakan untuk keperluan nonmiliter. "Namun, dalam keadaan perang, Pindad akan kembali seperti semula, yaitu 100% memproduksi senjata," kata Deputi Ketua Bidang Pengkajian Industri BPP Teknologi ini, memastikan. Kiprah alih produksi Pindad ke industri nonmiliter dimulai ketika Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengerjakan proyek SDP (Scatter Diesel Project), yakni proyek perlistrikan daerah terpencil. Proyek kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Jerman Barat itu bernilai sekitar 340 juta DM, atau sekitar Rp 332 milyar. Dana sebesar ini, antara lain, untuk membeli 100 unit generator yang berkemampuan masing-masing 2,5-3 MW, pengadaan VCB dan membangun rumah-rumah pembangkit tenaga listrik. Melalui tender internasional, akhirnya proyek tersebut dimenangkan oleh Siemens, salah satu perusahaan Jerman Barat. Namun, dengan lobi yang kuat akhirnya Pindad mampu menembus lisensi Siemens. Kepercayaan yang diberikan oleh pabrik Jerman Barat yang sudah beken itu kepada Pindad, antara lain, dituangkan dalam: hak untuk memproduksi generator dan VCB merk Siemens, serta hak untuk memasarkannya di Indonesia. Kerja sama antara Siemens dan Pindad itu, menurut Reinhard Andres, General Manager Proyek PLN Siemens, juga dimungkinkan karena peran dan jasa Menristek Prof. Habibie. Tak heran, di Pindad sendiri, Prof. Habibie menjabat sebagai direktur utama. Sejauh yang menyangkut Siemens, perusahaan besar ini biasanya memasok produk langsung dari pabrik sendiri. Dan ini merupakan tujuan utama Siemens. Namun, kerepotan mamasuki pasaran di Dunia Ketiga cukup terasa jika tak melibatkan negara yang bersangkutan. "Jika kita ingin masuk dalam pasaran negara ini, maka kita harus berani melakukan alih teknologi. Sehingga, dalam program kerja sama ini, kami juga mengirimkan supervisor ke Pindad," kata Reinhard pada Sri Indrayati dari TEMPO. Apalagi dalam proses untuk memproduksi barang-barang tersebut, Pindad tak menemui kesulitan. Sebab, mesin yang selama ini dipakai untuk membuat senjata ternyata mempunyai fleksibilitas yang tinggi. Seperti adanya Computer Numerik Control (CNC), yang biasa untuk memproduksi berbagai ukuran senjata, ternyata juga dapat dimanfaatkan untuk memproduksi barang nonmiliter, misalnya generator itu. Namun, mesin-mesin yang dimiliki Pindad toh tidak seluruh potensinya bisa dialihkan. Karena itu pula, ada kriteria khusus untuk produk nonmiliter itu. Barang-barang tersebut haruslah yang sejalan dengan produk militer, misalnya produk yang memiliki ketelitian yang tinggi, tempa dan beberapa matriks lainnya. Tentang bahan baku, Pindad tak menemui kesulitan. Sekitar 40% bahan baku utama, seperti rotor atau kabel generator, dipasok oleh Siemens. Namun, ketentuan itu tak mengikat. "Jika bahan bakunya ada di pasar dan lebih murah, tentu Pindad akan membeli bahan di pasar itu," kata Rahardi. Yang jelas, secara ekonomis Pindad akan meraup banyak keuntungan dari hasil kerja sama itu. Sekalipun begitu, perusahaan negara ini belum bersedia mengungkapkan berapa keuntungannya. Gatot Triyanto, Moebanoe Moera
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini