Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Garuda Menuai Laba

Laba bersih PT Garuda Indonesia Rp 127 milyar. Memiliki kekayaan US$ 1,2 milyar dan utangnya tinggal US$ 370 juta. Armadanya akan ditambah dari 73 menjadi 88 unit pesawat. Akan membuka lin baru.

31 Desember 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PT Garuda Indonesia (GI) untung besar? Apa tidak salah hitung? Banyak orang bertanya-tanya, termasuk pejabat dari Departemen Perhubungan. Soalnya, GI sudah bertahun-tahun merugi, dan baru meraih sedikit untung (Rp 299 juta) semasa kepemimpinan R.A.J. Lumenta. Kini, satu tahun di bawah Dirut M. Soeparno, labanya mencela sekitar Rp 127 milyar -- 424 kali dibanding tahun sebelumnya. Percaya atau tidak, tapi itulah yang diumumkan Soeparno di hadapan Rapat Umum Pemegang Saham GI, pekan ini. Menurut Parno, angka keuntungan ini muncul setelah terjadi kenaikan pendapatan sekitar 30%, dari 850 juta dolar menjadi sekitar 1,2 milyar dolar. Setelah dikurangi biaya operasi total, maka ada sisa hasil usaha Rp 238 milyar. Nah, dari keuntungan itu, GI mencicil utang, plus bunganya Rp 111 milyar. Berarti masih ada laba bersih yang Rp 127 milyar itu. "Karena baru meraih untung setelah merugi terus-menerus, kami beroleh keringanan dari Dirjen Pajak, untuk sementara tidak membayar pajak pendapatan," tutur Parno. Dirut yang mengawali kariernya sebagai tukang timbang kopor ini bercerita ihwal perjalanan GI selama tahun 1988. Tahun ini tahun yang luar biasa, demikian Parno. Jumlah "orang-orang terbang" naik secara drastis. Untuk penerbangan internasional, misalnya, naik 34% menjadi 1,3 juta penumpang. Sedang pada penerbangan lokal, kenaikan penumpang tercatat sampai 21%, menjadi sekitar 5 juta penumpang. Soeparno sendiri tidak tahu betul, apa yang menyebabkan kenaikan jumlah penumpang itu. Karena musim haji? Bukan. Jumlah orang yang naik haji tahun ini tak jauh bereda dari tahun-tahun sebelumnya: 57 ribu orang. Sekalipun begitu, 73 unit armadanya, yang terdiri dari 9 unit Air Bus, 6 unit Boeing 747, 6 unit DC 10, 18 DC 9, dan 34 unit Fokker 28, selalu penuh. Bahkan untuk beberapa jalur penerbangan, telah terjadi penambahan volume penerbangan. Jakarta-Tokyo, misalnya, sekarang di arungi GI delapan kali dalam seminggu April depan jadi sembilan kali. Juga, ada semacam komitmen antara GI dan pemerintah Vietnam, Korea Selatan, serta Kanada sehingga tahun depan, Garuda juga bisa terbang ke sana. Khusus penerbangan ke Vietnam, menurut Parno, ini karena adanya permintaan dari pemerintah di sana. Banyaknya keluarga Amerika yang tertinggal di negeri itu, dan orang-orang Vietnam di zaman The Killing Fields yang dulu mengungsi ke AS, telah menimbulkan semacam pasar bagi perusahaan penerbangan. Kebetulan perusahaan penerbangan Vietnam tidak memiliki armada yang cukup. "Kami terima tawaran itu dengan syarat penerbangan AS-Vietnam harus melalui Jakarta," ujar Parno. Tampaknya, cuaca cerah akan menyambut burung-burung Garuda tahun depan. Tapi Dirut yang bekas guru SMEP ini tak sepenuhnya yakin. "Kami tetap akan bersikap ekstrahati-hati. Siapa tahu, tahun depan jumlah ini malah menurun," ujarnya. Namun, ia tak pula menyingkirkan optimisme. "Walau kecil, saya kira akan ada kenaikan, paling tidak 5%, lah," lanjutnya. Itulah sebabnya, GI bertahan pada rencana semula, yakni menambah armada dari 73 menjadi 88 unit pada tahun 1994. Penambahan pesawat terpaksa bertahap, karena mesti antre di pabrik McDonnel Douglas, AS. Namun, paling tidak tiga unit akan diterima GI tahun depan. Ini bukan investasi yang murah. Boeing 747, harga per unit 120-130 juta dolar AS. Jadi, kalau diambil harga rata-rata (125 juta dolar per unit), maka untuk penambahan kapasitas angkut ini, GI harus membayar sekitar 1.875 juta dolar. Mampukah? Menurut manajemen GI, pembiayaannya tak sulit. Perhitungannya, pembiayaan yang dimiliki GI sekarang telah mencapai 1,2 milyar dolar, sementara utangnya tinggal 370 juta dolar. Tak salah lagi, ini rasio perbandingan harta dan utang yang sangat ideal untuk berutang lagi. "Jadi, kalau kami mau pinjam barang dua milyar dolar lagi, tidak terlalu sulit," kata Parno enteng. Yang jadi soal, sudah saatnyakah Garuda membeli pesawat baru? Mengapa tidak menyewa saja -- seperti menyewa Air Jordan pada musim haji lalu. Ditambah lagi, semasa kepemimpinan Wiweko, pernah terjadi banyak pesawat yang menganggur. Kekeliruan semacam ini bukan mustahil akan terjadi lagi. "Sudah saya bilang, selain ada kemungkinan volume penumpang bertambah, sekarang tak ada lagi pesawat GI yang nganggur," tutur Parno menangkis. Di samping itu, GI tidak hanya profit oriented, tapi juga mengemban misi dari pemerintah. Soal pesawat ini, ada gunjingan yang mengatakan, selain monopoli, GI juga mendapatkan proteksi. Pasalnya, sampai saat ini hanya GI yang boleh menggunakan pesawat jet. "Kami tidak pernah melarang penerbangan lain menggunakan jet. Dan melarang itu bukan hak kami," ujar Parno tegas. Diingatkannya bahwa menggunakan jet itu besar risikonya. Kalau tidak ditunjang dengan jumlah penumpang yang memadai, ujungnya akan merugi. Ini terjadi karena biaya operasi pesawat jet dua kali lebih mahal ketimbang jenis baling-baling. Padahal, ongkos terbang per seat mile di Indonesia hanya 16 sen dolar, sedangkan di luar negeri sampai 40 sen dolar. Contoh: penerbangan 45 menit Frankfurt-Hamburg ongkosnya sekitar 150 dolar, atau Rp 259.650. Sedangkan di Indonesia, untuk jarak yang sama (Jakarta-Jogja), hanya Rp 61,5 ribu. "Jadi, buat apa pakai jet, kalau tidak efisien?" ucap Parno. Terlepas dari soal jet, GI memang menikmati fasilitas lebih banyak. Manajemen GI, misalnya, telah berhasil meyakinkan pemerintah untuk menaikkan penyertaan modalnya dari Rp 600 juta menjadi Rp 1 trilyun, terhitung Februari 1988. Dan pinjaman yang dilakukan untuk modal kerja hanya dikenai bunga kategori kredit ekspor, 11%. Padahal, pinjaman dengan tingkat bunga komersiil biasa adalah antara 20% dan 24%. Bicara soal harta, kekayaan GI bertambah besar, karena barang yang sebelumnya tak berstatus jelas kini penuh jadi miliknya. Dan yang paling menentukan adalah rugi devaluasi, yang sejak di bawah Parno dibebankan pada tahun terjadinya. Menurut dirut yang berusia 50 tahun itu, dari dua kali devaluasi saja, GI rugi sekitar Rp 700 milyar. Dengan adanya keputusan itu, rugi hanya menjadi beban tahun buku terjadinya devaluasi, yakni 1983 dan 1986. Lewat dari tahun itu, mulai lagi dengan buku baru. Rapi jali, Mas Parno. Budi Kusumah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus