Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di marketplace Tokopedia, toko virtual Distributor Bangunan yang dikelola Haris Yanto memasang iklan khusus agar semen yang dijualnya laris manis. Ia memajang kolase foto gedung Burj Khalifa di Dubai dengan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Jiangsu Lianyungang sebagai foto paling depan. Gambar kantong semen Conch justru ditaruh di posisi terakhir. Produknya dipajang dengan judul: “Semen berkualitas semen Tiga Roda (Semen Conch 50 kg)”.
Dibanding semen Tiga Roda, harga semen Conch dengan logo huruf hitam ini jauh lebih murah. Meski begitu, dalam deskripsi produk, pemilik toko menyatakan kualitas semen ini sama bagusnya dengan buatan Tiga Roda dan Holcim. “Kualitasnya sama karena sudah uji SNI (Standar Nasional Indonesia),” kata Haris saat dihubungi, Jumat pekan lalu.
Satu sak semen Conch ukuran 50 kilogram di toko itu dihargai Rp 46 ribu untuk area Jakarta. Sedangkan semen Tiga Roda dijual Rp 55 ribu untuk ukuran yang sama. Jika minimal pembelian 200 kantong semen, selisih harga keduanya mencapai Rp 1,8 juta. “Orang kontraktor sudah tahu ini sama saja, cuma beda merek,” ucap Haris.
Rata-rata pelanggan toko Distributor Bangunan adalah kontraktor bangunan yang akan memilih semen dengan harga murah untuk menghemat ongkos produksi. Haris mendapat pasokan semen Conch dari pabrik penggilingan PT Conch Cement Indonesia di Merak, Banten. Pabrik ini anak usaha Anhui Conch Cement Company Ltd, perusahaan asal Cina, yang merupakan pabrik semen terbesar kedua di dunia.
Pabrik semen PT SDIC Papua Semen Indonesia di Manokwari, Papua (kiri)./conch.cn
Delapan tahun lalu, Conch berkomitmen menanamkan investasi pertama kali di Indonesia. Disaksikan Menteri Perindustrian Mohamad S. Hidayat dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Gita Wirjawan, Conch menyatakan akan membangun empat pabrik di Indonesia dengan total investasi US$ 2,35 miliar. Pada 2015, Conch mulai berproduksi secara komersial. Pabriknya tersebar di Papua, Kalimantan, dan Sulawesi serta ada satu penggilingan di Jawa.
Selain Conch, Semen Jakarta banyak beredar di toko bahan bangunan online. Semen ini dijual lebih murah daripada produk Conch. Semen Conch dalam karung seberat 40 kilogram dijual sekitar Rp 36.800. Sedangkan Semen Jakarta dalam ukuran yang sama hanya dihargai Rp 35.999. Menurut Haris, dua merek semen pabrik Cina ini mulai banyak beredar di Jakarta. Di daerah lain, Conch dan Semen Jakarta lebih dulu diminati pasar. “Tinggal end user (pengguna pribadi) yang milih semen branded seperti Tiga Roda dan lain-lain,” ujarnya.
Gempuran pabrik semen Cina ini sempat membuat grup Semen Indonesia gusar. Tiga tahun lalu, mantan Direktur Utama Semen Indonesia, Rizkan Chandra, mewanti-wanti bahwa kekuatan finansial Conch berpotensi menggerus pangsa pasar Semen Indonesia jika tidak diantisipasi. Saat itu ia memprediksi Conch akan menjadi pesaing utama perusahaan pelat merah tersebut.
Peringatan ini terus berputar di kepala manajemen. Hingga akhirnya Semen Indonesia Group resmi mengakuisisi PT Holcim Indonesia Tbk, akhir Januari lalu. Semen Indonesia mencaplok 80,6 persen saham Holcim Indonesia. Setelah transaksi selesai, perusahaan berganti nama menjadi PT Solusi Bangun Indonesia Tbk. “Dengan bergabungnya Holcim, kami melihat peluang efisiensi di supply chain, produksi, hingga pemasaran,” tutur Sekretaris Perusahaan PT Solusi Bangun Indonesia Agung Wiharto, Kamis pekan lalu.
Sebelum 2015, industri semen dikuasai tujuh perusahaan pabrik semen. Hampir 90 persen pangsa pasar semen domestik dipegang PT Semen Gresik, PT Semen Tonasa, PT Semen Padang, dan PT Semen Kupang—kemudian berubah menjadi PT Semen Indonesia Group—lalu PT Semen Baturaja serta PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk.
Volume Produksi
Empat tahun berselang, produsen semen bertambah menjadi 15 perusahaan. Menurut Agung, pertumbuhan konsumsi yang terus meningkat membuat investor asing berdatangan. Beberapa di antaranya PT Jui Shin Indonesia, yang memproduksi Semen Garuda; Cemindo Gemilang, yang mengeluarkan semen Merah Putih; serta Cement Conch.
Cement Conch tampak lebih agresif dibanding yang lain. Dalam empat tahun, Conch menguasai 5 persen pasar semen Tanah Air. Tahun lalu, produsen ini berada di posisi empat besar mengungguli PT Bosowa Maros. Setelah Holcim dicaplok Semen Indonesia, otomatis Conch menempati posisi ketiga di bawah PT Indocement.
Seorang pengusaha di bidang perkapalan mengungkapkan, sejak tahun lalu, Conch berani mengangkut 45-50 ribu ton semen per bulan untuk distribusi dari penggilingannya di Merak, Banten, ke berbagai pulau. Sedangkan perusahaan lain, kata dia, maksimal hanya mampu mendistribusikan 10 ribu ton semen per bulan. “Efisiensi Conch berhasil, tanpa promosi, dia rebut pasar dengan menghantam harga,” ucapnya.
Pejabat tinggi perusahaan semen nasional mengatakan, dengan ongkos produksi sekitar Rp 750 ribu per ton, Conch berani menjual semen seharga Rp 650 ribu per ton. Sedangkan pabrik lain paling murah menjual seharga Rp 700 ribu per ton. “Tiga-sampai lima tahun dia jual rugi.”
Sejak masuk, Conch menyasar pasar Indonesia timur. Saat berproduksi pertama kali di Manokwari, harga semen Conch membuat harga pasar semen di Papua turun drastis. Akhir tahun lalu, berdasarkan pengumuman resmi di situsnya, Anhui Conch Cement Company Limited berhasil membukukan kenaikan laba menjadi RMB 15,8 juta. Di Kalimantan, penjualan semen Conch melampaui target.
Setelah bertemu dengan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan,- Juli tahun lalu, Direktur PT Conch Cement Indonesia Wang Hai Wing menyatakan akan meningkatkan kapasitas produksi pabriknya hingga 25 juta ton per tahun. Wang menilai, dengan konsumsi semen per kapita yang masih rendah, potensi pasar akan cukup besar. “Kami bilang sampai saat ini belum kelebihan suplai per kapitanya. Permintaan pasar masih cukup besar,” ujar Wang saat itu.
Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kementerian Perindustrian Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan persaingan harga di pasar semen lumrah terjadi ketika industri berlomba meningkatkan kapasitas produksi lantaran pertumbuhan sektor konstruksi dan properti sangat menjanjikan. Pemerintah tak dapat membatasi persaingan ini, tapi akan memfasilitasi kepastian harga dan pasokan batu bara, yang menelan 30 persen ongkos produksi.
Sigit juga menyarankan perusahaan semen nasional melakukan efisiensi pabrik agar kapasitas produksi terhadap permintaan lebih terukur. Apalagi pasar semen saat ini masih kelebihan pasokan lebih dari 40 juta ton. “Kami berharap akan ada peningkatan utilitas melalui proyek infrastruktur pemerintah, swasta, serta ekspansi ekspor,” kata Sigit.
Sekretaris Perusahaan Indocement Tunggal Perkasa Antonius Marcos yakin sistem diskon harga tak akan berlangsung lama karena perusahaan harus menutup biaya modal produksi. “Kecuali kalau mereka mendapat bantuan pembiayaan atau subsidi pajak dari negara mereka atas ekspansi ke luar negeri,” ujarnya.
Menurut Marcos, dengan efisiensi tanpa penurunan kualitas produk, Indocement akan tetap memimpin pasar. Semen Tiga Roda banyak dipakai dalam proyek pemerintah, seperti pembangunan Pelabuhan Patimban di Subang, Jawa Barat, dan bandar udara. Penjualan Indocement tumbuh 5,7 persen tahun lalu.
Selepas divestasi saham, Semen Indonesia Group optimistis akan menjangkau pasar yang lebih luas dengan ongkos produksi, pengadaan aset, pemasaran, dan distribusi yang lebih hemat. Dengan penggabungan ini, kapasitas produksi terpasang perusahaan bisa mencapai 53 juta ton per tahun. “Agar bisa bersaing, kami ambil barang dari pabrik yang dekat agar murah logistiknya,” kata Agung Wiharto. Setelah kebutuhan nasional terpenuhi, perusahaan pelat merah ini berupaya menggenjot ekspor ke Sri Lanka, Bangladesh, Timor Leste, Maladewa, dan Australia.
PUTRI ADITYOWATI, RETNO SULISTYOWATI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo