Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Kenaikan harga berbagai barang membuat Rohamah harus semakin irit dan teliti dalam mengatur keuangan. Dengan pendapatan yang tidak naik--sekitar Rp 1,6 juta per bulan--perempuan yang bekerja sebagai asisten rumah tangga itu mesti merogoh kocek lebih dalam untuk menebus berbagai keperluan setiap bulannya. "Kira-kira pengeluaran bisa naik jadi sekitar Rp 1 juta per bulan karena harga kebutuhan naik semua," ujar ibu dua anak itu kepada Tempo, kemarin.
Dalam sebulan terakhir, harga komoditas yang terasa cukup tinggi adalah bahan-bahan pangan dan ongkos transportasi. Misalnya saja harga telur dan minyak goreng yang meskipun sudah sedikit melandai, harganya tetap lebih tinggi dari sebelumnya. "Karena terasa mahal, saya pun mengurangi pembelian," kata perempuan yang berdomisili di Bogor tersebut. Belum lagi ongkos angkutan kota yang naik sekitar Rp 1.000 untuk sekali jalan lantaran kenaikan harga bahan bakar minyak pada bulan lalu.
Dengan kenaikan pengeluaran yang tidak diikuti dengan tambahan pendapatan tersebut, Rohamah pun tidak bisa menyisihkan penghasilannya untuk ditabung. Ia mengatakan pegangan lain di samping gaji bulanan adalah sumbangan warga sekitar. "Ada tabungan yang dikumpulkan oleh warga sekitar, tabungan ini sebesar Rp 5.000 sampai Rp 10 ribu per hari, nantinya bisa diambil saat mendekati bulan puasa," tutur perempuan berusia 45 tahun ini.
Pembeli membayar telur di Pasar Kebayoran, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kisah serupa juga diceritakan Sari, seorang tenaga kesehatan dengan pendapatan sekitar Rp 2,1 juta per bulan. Ia mengatakan kenaikan berbagai harga barang itu membuat selisih antara pendapatan dan pengeluaran bulanannya semakin tipis.
Ia merasakan bahwa hampir semua bahan pokok kebutuhan sehari-harinya mengalami lonjakan harga, dari daging, telur, minyak goreng, cabai, bawang, hingga bensin. Walhasil, anggaran pengeluarannya pun melar ketimbang sebelumnya. "Dulu pengeluaran rutin bulanan Rp 1 juta, sekarang Rp 1,5 juta karena saya enggak mengurangi jumlah belanjaan meskipun mahal," tutur dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tekanan biaya hidup menjadi salah satu perhatian dalam laporan terbaru Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) bertajuk "Countering the Cost-of-Living Crisis". Lembaga internasional tersebut melihat tekanan biaya hidup akibat tekanan inflasi yang persisten dan meluas menjadi salah satu tantangan berat bagi ekonomi dunia saat ini, di samping konflik antara Rusia dan Ukraina dan melambatnya ekonomi Cina.
Krisis biaya hidup terutama dirasakan negara-negara di Eropa, salah satunya disebabkan melambungnya harga energi. Kenaikan harga gas di benua tersebut bisa mencapai empat kali lipat dibanding setahun sebelumnya setelah Rusia mengurangi pengiriman pasokan sekitar 20 persen dibanding pada 2021. Konflik di Eropa Timur itu juga telah menyebabkan kenaikan harga pangan di pasar global. "Ini menyebabkan kesulitan bagi rumah tangga berpendapatan rendah di seluruh dunia, terutama di negara berpendapatan rendah," ujar Konsuler Ekonomi IMF, Pierre-Oliver Gourinchas, dalam laporan tersebut.
Tekanan biaya hidup terhadap berbagai negara, termasuk negara berkembang, juga disebabkan oleh menguatnya dolar Amerika Serikat atas berbagai mata uang negara lain. Penguatan tersebut terjadi lantaran kebijakan pengetatan likuiditas yang dilakukan oleh bank sentral AS, The Federal Reserve, yang terus mengerek suku bunga acuannya. Kebijakan itu berujung pada tekanan harga produk-produk impor di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Petugas valuta asing menghitung uang pecahan US$ 100 di Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Kemampuan APBN Menangkal Inflasi Melemah
Dalam dokumen yang sama, IMF memproyeksikan Indonesia mengalami inflasi 4,6 persen sepanjang 2022 dan naik menjadi 5,5 persen pada 2023. Proyeksi inflasi Indonesia tersebut lebih rendah dari prediksi laju inflasi global yang diperkirakan mencapai 8,8 persen pada 2022 dan turun menjadi 6,5 persen pada 2023. Adapun proyeksi inflasi untuk negara-negara berkembang di Asia diperkirakan 4,1 persen pada 2022 dan turun menjadi 3,6 persen pada 2023.
Meskipun diramal lebih rendah dari laju inflasi global, tutur Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono, proyeksi inflasi Indonesia oleh IMF itu patut diwaspadai lantaran trennya justru meningkat--berbeda dengan inflasi dunia yang diproyeksikan turun pada tahun depan. "Proyeksi IMF ini menyiratkan Indonesia berpeluang menghadapi ancaman kenaikan harga yang cukup signifikan pada 2023," ujar dia.
Laporan IMF tersebut tidak menjelaskan lebih rinci mengenai proyeksi inflasi Indonesia tersebut. Namun Yusuf menduga prediksi kenaikan inflasi pada tahun depan disebabkan melemahnya kapasitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai "penyerap guncangan" pada tahun depan. Seperti diketahui, pemerintah selama ini menjadikan APBN sebagai penyerap guncangan ekonomi.
"Kembalinya batas atas defisit anggaran maksimum 3 persen dari PDB membuat pemerintah tidak lagi bisa meningkatkan ruang fiskal melalui penambahan utang secara berlebihan," ujar Yusuf. Dengan ruang fiskal yang semakin terbatas, kemampuan APBN untuk menjaga stabilitas harga--terutama harga pangan dan energi--bakal berkurang. Kemampuan fiskal pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat dan memberi insentif bagi dunia usaha yang terkena dampak kenaikan biaya produksi juga akan melemah.
Pekerja tmengemas gula mentah dari India di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, pun memperkirakan ancaman kenaikan biaya hidup ke depannya sangat mungkin terjadi, khususnya dari sektor pangan. Pasalnya, kenaikan harga pupuk akibat perang Rusia-Ukraina berpotensi meningkatkan biaya produksi pangan. Selain itu, upaya pengamanan stok pangan dari berbagai negara berpotensi menaikkan harga di pasar internasional.
Namun ia melihat pemerintah hingga saat ini masih cukup baik dalam mengelola risiko tersebut, salah satunya dengan menjaga stok pangan yang berbasis produksi dalam negeri. Selain itu, pemerintah telah membentuk neraca komoditas sebagai langkah antisipatif terhadap kebutuhan impor.
"Dengan upaya tersebut, fluktuasi harga pangan dan kenaikan biaya hidup seharusnya relatif dapat lebih dikendalikan," ujar Josua. Walau demikian, ada beberapa komoditas yang diperkirakan tidak bisa dikendalikan karena masih bergantung pada impor, seperti gula dan gandum. Karena itu, ia mengatakan, dalam jangka panjang harus ada upaya mensubstitusi pangan impor untuk mereduksi dampak volatilitas harga internasional dan nilai tukar terhadap harga pangan domestik.
Adapun Direktur Eksekutif Segara Institute, Piter Abdullah, meyakini bahwa peringatan IMF mengenai krisis biaya hidup bukan ditujukan kepada Indonesia, melainkan untuk negara-negara yang saat ini sudah mengalami tingkat inflasi yang tinggi dan berpotensi meningkat ke depannya. Adapun Indonesia, menurut dia, sejauh ini tidak mengalami lonjakan inflasi yang terlalu besar.
"Meskipun meningkat, tapi tetap di level yang tidak mengkhawatirkan, yaitu di kisaran 5 persen hingga 6 persen. Sampai akhir tahun paling tinggi akan mencapai 7 persen. Bandingkan misalnya dengan Turki, yang melonjak hingga di atas 80 persen," ujar dia.
Terjaganya inflasi, menurut dia, mengindikasikan pasokan pangan masih mencukupi, termasuk pangan impor seperti kedelai dan gandum. Di sektor energi pun, ia melihat pemerintah masih menggelontorkan subsidi untuk menahan lonjakan inflasi. Piter mengatakan kenaikan harga BBM bersubsidi beberapa waktu lalu pun besarannya tidak terlalu tinggi dan tidak menyebabkan inflasi berlebihan.
Pekerja mengangkat kedelai untuk membuat tahu goreng di Mampang, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
"Dengan merujuk ke tingkat inflasi dan ketersediaan pangan sepanjang 2022, saya kira Indonesia tidak perlu terlalu khawatir akan masalah pangan, inflasi, dan daya beli. Kita waspada harus, tapi tidak perlu panik," ujar dia.
Persoalan tekanan biaya hidup akibat kenaikan harga pangan dan energi di berbagai negara menjadi salah satu isu yang disinggung dalam Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (FMCBG) G20 keempat pada 12-13 Oktober 2022.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kondisi dunia yang menghadapi risiko seperti inflasi tinggi, perlambatan pertumbuhan, ketidakamanan sektor energi dan pangan, perubahan iklim, serta konflik geopolitik membutuhkan bauran kebijakan yang memadai. "Tantangan global juga membutuhkan kerja sama dan sinkronisasi bauran kebijakan makro maupun fiskal serta instrumen kebijakan untuk mengatasi masalah bersama dan mendukung pemulihan ekonomi secara efektif," kata dia.
Dalam situasi tersebut pun, ia mengimbuhkan bahwa berbagai respons kebijakan yang diluncurkan juga harus dipaparkan secara spesifik, jelas, terkoordinasi, dan dikomunikasikan dengan baik agar pesan dapat tersampaikan. Sri mengklaim presidensi G20 Indonesia mampu menjaga kredibilitas forum, meski terdapat berbagai tantangan seiring dengan situasi ekonomi yang memburuk dan berpotensi resesi pada 2023.
CAESAR AKBAR | ANNISA NURUL AMARA | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo