Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Juni lalu dua pengusaha India mendapat penghargaan dari The Kiel Institute. Mereka adalah Sunil Bharti Mittal dan Baba Kalyani. Bersama dengan Mary Ro binson, presiden perempuan pertama Irlandia, dan Jeffrey Sachs, profesor dari Columbia University, mereka mendapat anugerah Global Economy Prize.
Mittal pimpinan Bharti Group, salah satu kelompok industri telekomunikasi terbesar di India, sering disebut sebagai ”bapak” revolusi telepon seluler di negara itu. Sedangkan Kalyani adalah pemilik Kalyani Group yang memiliki pabrik manufaktur di berbagai negara termasuk Cina, Amerika Serikat, Skotlandia, Jerman, bahkan Swedia.
The Kiel Institute merupakan pusat riset ekonomi tertua di Jerman, berdiri sejak 1914. Global Economy Prize diberikan kepada ahli ekonomi, pebisnis, ataupun politikus sejak lima tahun lalu. ”Para pemenang berjasa mengembangkan perekonomian dengan caranya masing-masing,” tulis lembaga ini dalam situsnya.
Bagi India, Mittal dan Kalyani bagian dari roda ekonomi negara itu yang terus berputar cepat sejak negara tersebut mereformasi orientasi ekonomi nya 18 tahun lalu. Mulai 2001, perekonomi an negara itu tumbuh rata-rata 8,8 persen per tahun. Malah pada 2006 masyarakat internasional dikejutkan dengan tingkat pertumbuhan yang mencapai 9,4 persen.
India sebenarnya telah memulai reformasi ekonomi pada zaman Perdana Menteri Rajiv Gandhi, 1985. Namun titik balik bagi perekonomian negara itu baru terjadi pada 1991. Yang meletakkan dasar-dasar baru itu Perdana Menteri Manmohan Singh, waktu itu menteri ekonomi.
Ketika itu, India mengalami krisis keuangan yang parah hingga mereka bahkan tidak punya cadangan devisa. Manmohan lalu memprakarsai beberapa perubahan. Dia, misalnya, menurun kan tarif impor barang, meniadakan monopoli, dan menghapus berbagai jenis proteksi. India kemudian masuk ke dalam sistem pasar global—hal yang sebelumnya tak pernah dipikirkan.
Dengan program itu, India beralih dari negara berkembang yang agraris menjadi penganut ekonomi liberal progresif yang berusaha menarik investasi asing sebanyak-banyaknya. Pada tahun fiskal 2006-2007, misalnya, investasi yang mengalir masuk ke negara itu mencapai US$ 46 miliar, hampir dua kali lipat tahun sebelumnya, US$ 24 miliar.
Tak aneh jika mereka kini memiliki perusahaan-perusahaan berkelas internasional di berbagai sektor seperti otomotif, teknologi informasi, manufaktur, dan obat-obatan. Dalam daftar 2.000 perusahaan terbesar di dunia yang dirilis Forbes April lalu, India menempatkan 47 perusahaan, dipimpin Reliance Industries yang berada di urut an 121.
Ini jauh di atas Indonesia yang hanya menempatkan enam perusahaan: Telkom, Bank Central Asia, Bank Rakyat Indonesia, Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia, dan Bumi Resources. Sebenarnya Arcelor Mittal milik pengusaha India yang pernah tinggal di Surabaya, Lakshmi Mittal, berada di urutan 41. Tapi, karena berbasis di Luxembourg, mereka tak dihitung sebagai perusahaan India.
Negara itu juga memiliki basis ekonomi yang relatif kuat sekarang. Di kala krisis finansial yang menghajar hampir semua negara dunia sejak 2008 belum sepenuhnya pulih, ekonomi India tetap positif. Meski turun jauh dibanding tahun sebelumnya, kuartal pertama tahun ini ekonomi mereka tumbuh 5,8 persen. Bahkan pemerintah India memperkirakan tahun ini ekonomi mereka akan tumbuh 7,75 persen. Setelah Cina, India bakal menggenggam dunia.
Philipus Parera (Forbes, BusinessWeek)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo