Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Baucau

2 September 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sebuah sudut di pesisir Baucau yang sepi, sebuah gedung dari masa Portugis tinggal berdiri, kumuh dan mubazir. Konstruksi dengan tembok tebal gaya Mediterania itu beberapa tahun yang lalu dijadikan pabrik penggilingan beras. Tak jauh dari sana, agak di ketinggian, di antara pohon nyiur dan asam-ranji, berdiri sebuah bangunan seng bercat merah, bekas sebuah gudang Dolog. Di sekitarnya gubuk-gubuk. "Di sini dulu ada koperasi unit desa para nelayan," kata seorang perempuan setengah baya dalam bahasa Indonesia, sambil membelakangi laut damai dengan biru yang memukau itu, "tapi sekarang ditutup, karena perang." Ada sisa Portugis, ada sisa Indonesia, dan ada penghentian total dan kesia-siaan. Perang, bagi orang Timor Loro Sa'e, tampaknya adalah kata untuk menggambarkan apa saja yang menghancurkan kehidupan mereka. Termasuk bumi hangus dan pembunuhan oleh milisi yang digerakkan, atau setidaknya dilindungi, oleh tentara Indonesia dua tahun yang lalu: sesuatu yang sebenarnya bukan perang, melainkan brutalitas sepihak. Kota Baucau yang kecil itu pada umumnya selamat. Gudang Dolog itu adalah salah satu contohnya. Tapi segera keluar dari sana, di Manatutu, wilayah yang terbentang arah ke Dili, di sepanjang jalan yang tampak hanya puing gedung yang kehilangan atap, dengan tembok yang menghitam. Untuk apa penghancuran ini, sebenarnya? Saya, seorang Indonesia yang datang berkunjung ke sana pada bulan Agustus 2001, hanya memandang sedih, malu, dan sedikit heran: pada akhirnya harus disimpulkan bahwa tembok-tembok bekas rumah yang hangus nun jauh di Timor Timur itu adalah sederet monumen yang menakjubkan yang ditinggalkan Indonesia?sebuah monumen dari sesuatu yang jahiliah dalam sejarah Indonesia. Siapa pun jenderal TNI yang memerintahkan operasi "cabut-balik" itu mungkin hendak menunjukkan bahwa pemerintahan Indonesialah yang membangun wilayah ini, dan sebab itu, jika orang Timor Timur hendak melepaskan diri dari Indonesia, hasil pembangunan itu harus dicabut balik. Orang Timor Timur harus tak boleh memiliki hasilnya lagi. Atau sebuah alasan lain: dengan destruksi yang meluas itu para jenderal itu mungkin ingin mewariskan kepada pemerintahan Timor Timur yang merdeka sebuah angka nol yang kering-kerontang. Betapa jahiliah: dungu dan tak begitu beradab. Tak ada yang ingat rupanya bahwa Britania Raya melepaskan India ("permata dalam mahkota" Ratu Inggris itu) tapi tak hendak memutuskan talinya dengan bekas koloni itu. Amerika Serikat melepaskan Filipina juga dengan tetap meneruskan hubungan mereka yang dekat. Dekolonisasi terjadi, tapi hubungan kukuh. Barang-barang, hasil pikiran, tenaga kasar, pelayanan, semua berlalu lintas dengan lancar. Memang tampaknya itulah yang terjadi dalam sejarah: kekuasaan politik datang dan pergi, pasar dan lalu lintas budaya adalah abadi. Maka, seandainya Timor Timur tak dibinasakan, Indonesia akan mendapatkan banyak: bukan saja sebuah nama baik, tapi juga sebuah wilayah tempat ekspor, sebuah negeri tetangga yang bisa sama-sama meneruskan pertukaran budaya, sebuah hubungan yang tak dimencongkan oleh trauma. Bangunan di pesisir Baucau yang sepi itu akan tetap hidup, juga koperasi nelayan itu, juga desa pantai itu, dan barang-barang dari Indonesia akan menemukan para pembeli yang mampu. Tapi itu semua tak terjadi. Siapa pun jenderal TNI yang memerintahkan bumi hangus di hari itu memang jenis manusia yang berpikir pendek, sama pendek, kaku, dan sama majalnya dengan laras pistol. Ia mungkin berpikir bahwa yang dilakukannya adalah sebuah tugas patriotik; tapi kini kita tahu bahwa yang terjadi adalah bahwa tanah air itu mendapatkan cela yang bukan alang-kepalang. Akhirnya kita harus tahu bahwa pikiran laras-pistol itu sesat karena ia tetap merasa diri ulung?dan semua itu karena ia tak pernah digugah oleh perdebatan yang bebas. Dengan perdebatan yang bebas, tak akan ada monumen kejahiliahan yang lain: kekerasan sebagai komoditi. Pendudukan Indonesia di Timor Timur adalah cerita tentang kekerasan sebagai komoditi. Ketika kekerasan diputuskan sebagai sesuatu yang mendapatkan uang, perang dan operasi militer pun menjadi "proyek", sebuah istilah birokrasi yang berarti ada anggaran yang besar dan kesempatan untuk mencuri. Komodifikasi kekerasan pada akhirnya menjalarkan sebuah sinisme, yang meluas ke prajurit-prajurit. Ketika jenderal-jenderal di atas menjadi kaya karena "proyek", tentara di bawah mencoba menjadi kaya dengan menjual mesiu, bahkan senjata, kepada musuh. Di Dili saya mendengar sebuah cerita lain: ada seorang pastor yang ditawari foto-foto penyiksaan yang di-lakukan pasukan Indonesia terhadap orang Timor Timur. Adapun foto itu dibuat oleh pasukan Indonesia sendiri, buat diperdagangkan?. Di Baucau, dan seluruh Timor Loro Sa'e, hari-hari ini orang merayakan kebebasan. Di Indonesia hari-hari ini orang juga masih mencoba melanjutkan kebebasan. Kebebasan: sebuah prasyarat untuk bertanya, sehingga yang jahiliah tak bisa kembali. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus