PRESIDEN Clinton seperti terkena demam perdagangan bebas, pekan-pekan ini. Selang sehari setelah Kongres meloloskan RUU kawasan perdagangan bebas Amerika Utara (NAFTA), kepala negara AS ini segera menuju ke Seattle untuk menghadiri pertemuan para pemimpin kawasan Asia Pasifik, Sabtu lalu. Pertemuan itu tampaknya dijadikan Clinton sebagai ajang untuk mempromosikan ide perdagangan bebas di kawasan Asia Pasifik. Clinton memang harus bekerja keras. Pasalnya, dalam soal tujuan akhir, ke-15 anggota APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) memang tak berbeda pendapat. ''Kita semua berkeinginan menghasilkan perdagangan yang lebih bebas,'' kata Ali Alatas, Menteri Luar Negeri RI, yang sering dianggap mewakili suara negara berkembang di dalam APEC. ''Tapi bukan berarti APEC harus segera dilembagakan,'' ujarnya melanjutkan. Ada alasan mengapa soal pelembagaan APEC ini ramai diperdebatkan. ''Anggota APEC itu kan tidak homogen,'' kata Menteri Perdagangan Satrio Budihardjo Joedono, yang hadir bersama Alatas. ''Di dalamnya ada kelompok superkuat seperti AS dan Jepang, ada negara maju seperti Kanada dan Australia, ada kelompok macan seperti Hong Kong, Singapura, dan Taiwan, serta kelompok negara berkembang seperti umumnya anggota ASEAN,'' tambah Joedono. Bila APEC langsung ditahbiskan menjadi lembaga formal, ''Dikhawatirkan akan terjadi dominasi oleh negara- negara yang kuat ekonominya,'' kata Menteri Perdagangan ini. Kekhawatiran itu tampaknya dimaklumi. ''APEC memang baru didirikan empat tahun silam, jadi wajar saja kalau pelembagaan belum dapat segera dijalankan,'' kata Warren Christopher, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat yang menjadi tuan rumah pertemuan di Seattle. Tapi bukan berarti perbedaan pendapat tidak terjadi. Perdebatan sengit sempat mewarnai persidangan yang membahas rekomendasi Kelompok Begawan (EPG = Eminent Persons Group). EPG beranggotakan 11 pakar perdagangan yang dipilih dalam pertemuan APEC IV di Bangkok, tahun lalu. Mereka diberi tugas membuat rekomendasi dan visi untuk penyempurnaan APEC. Laporan EPG inilah yang dibahas di Seattle, pekan lalu. Ada 16 butir rekomendasi EPG yang terurai menjadi tiga kelompok: yang disepakati untuk segera dilaksanakan, yang diperdebatkan untuk disempurnakan, dan yang dikembalikan untuk diperbaiki dalam laporan tahun depan. Termasuk yang dikembalikan adalah usul EPG agar kata ''kerja sama'' (Cooperation) dalam APEC diganti menjadi ''masyarakat'' (Community), yang didukung negara maju, terutama Australia. Negara Asia segera protes karena khawatir kata ''masyarakat'' akan berkonotasi lebih luas dari sekadar ikatan ekonomi. Maklum, pertikaian antara kelompok negara maju dan negara berkembang (terutama di Asia) dalam soal hak asasi, perburuhan, dan lingkungan hidup cukup merebak di forum-forum internasional. ''Kami beranggapan APEC terbentuk karena kesamaan kepentingan dan bukan karena kesamaan nilai-nilai,'' kata Qian Qichen, Menteri Luar Negeri RRC yang sering disambut protes para aktivis hak asasi itu. Di Seattle, sikap pemerintahan Clinton, yang semula sangat galak di bidang hak asasi, perburuhan, dan lingkungan hidup, mulai terasa menjinak. Maklum, kondisi ekonomi AS masih belum bugar juga, dan satu-satunya jalan adalah dengan menggalakkan ekspor. Kebetulan, pasar ekspor paling potensial kali ini berada di kawasan Asia Pasifik, yang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia. Adapun Eropa Barat justru lesu dan dihantam demam proteksi. Sasaran utama AS di Asia Pasifik adalah membuka pasar Jepang. Pasalnya, hampir separuh dari US$ 100 miliar defisit perdagangan AS dan Asia Pasifik bersumber di Jepang. Sedangkan para pakar AS berpendapat, pembukaan pasar Jepang akan meningkatkan impor negara itu sebesar US$ 220260 miliar per tahun. Maka, AS berharap dapat meraih US$ 5075 miliar dari peluang itu, hingga defisit perdagangannya teratasi. Adapun di luar Asia Pasifik, target AS adalah menggunakan APEC untuk menggertak MEE agar mendukung kesepakatan Putaran Uruguay (GATT) yang sudah 7 tahun terkatung-katung. AS menuduh sikap kepala batu MEE, terutama Prancis, dalam mempertahankan proteksi pasar produk pertaniannya sebagai biang keladi kegagalan GATT. Sikap AS yang agresif ini, menurut seorang pejabat Indonesia, ''tak hanya mengkhawatirkan MEE tapi juga ASEAN.'' Bagi ASEAN, pelembagaan APEC yang terlalu cepat dikhawatirkan akan mengecilkan peran ASEAN. Itulah sebabnya ASEAN bersikeras mendukung masuknya Cili sebagai anggota APEC yang baru bersama- sama Meksiko dan Papua Nugini -- kendati dua negara yang terakhir ini saja yang keanggotaannya tak ditentang anggota lain. ASEAN, yang secara umum sebenarnya ingin agar keanggotaan APEC dibatasi dahulu, beranggapan bahwa masuknya Cili akan memperkuat posisi kelompok negara berkembang. ASEAN memang mendahulukan program-program pelancaran perdagangan seperti keseragaman urusan bea cukai, standarisasi prasarana seperti telekomunikasi, daripada pembebasan pasar. ''Itu kan seperti tambahan bantuan teknis dari negara maju,'' kata Menteri Joedono. Lantas bagaimana nasib kawasan perdagangan bebas APEC? Alatas dengan ringan berkomentar, ''Untuk membentuk AFTA yang anggotanya sedikit, diperlukan 15 tahun. Masa, APEC harus buru- buru.'' Bambang Harymurti dan Toeti Kakiailatu (Seattle)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini