Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah hiruk-pikuk Jalan Trunojoyo dan Sultan Agung, Bandung, Sabtu sore dua pekan silam, bus hitam itu parkir mencolok di antara mobil-mobil berpelat Jakarta. Anak-anak muda terlihat antre di pintu belakang. Kendaraan yang terlalu besar untuk ukuran jalan-jalan di Bandung itu sepertinya lebih diminati ketimbang distro (distribution outlet) yang bertebaran di kawasan tersebut.
Kendaraan dengan tulisan hijau terang ”Airplane” ini memang sudah menjadi salah satu tetenger Kota Kembang. Kadang ”si hitam” datang ke sekolah-sekolah, kampus-kampus, atau langsung ke tempat keramaian. Malah bus yang dilengkapi televisi plasma 42 inci ini pernah melancong hingga ke Serang, Sukabumi, Cianjur, Cimahi, Jakarta, dan yang paling jauh Yogyakarta.
Oleh penggagasnya, Tubagus Fiki Chikara Satari, 32 tahun, bus ini dinamai Airbus One. Kendaraan ini berfungsi sebagai toko bergerak distro Airplane. Ruang dalamnya, yang berukuran 2,5 x 11 meter, disulap menjadi ruang pajang: T-shirt, jaket, kemeja, celana, aksesori, rompi, topi, dan sepatu. Harganya Rp 35-350 ribu.
Bus itu tanpa tempat duduk, kecuali—tentu saja—milik mang sopir. Sisi kiri dan kanannya dipasangi tempat gantungan pakaian. Lantainya berlapis bahan kayu berwarna cokelat dan putih. Dindingnya putih. Ditambah lampu neon yang terang-benderang dan penyejuk udara, orang yang berjejal di dalamnya tak merasa pengap dan kegerahan. Apalagi si kondektur, eh..., penjaga toko siap menutup pintu bus bila ruang dalamnya sudah cukup dipenuhi pengunjung.
”Pengunjungnya lebih banyak ketimbang toko Airplane sendiri,” kata Yudi Aditia, si manajer ”tobis”—toko bis. Menurut dia, pada hari-hari biasa, penjualan baju dan aksesori mencapai Rp 1-2 juta per hari. Tapi, pada akhir pekan atau jika sedang ada acara, penjualannya meningkat sampai Rp 20 juta sehari. Target pasarnya anak muda 15-25 tahun.
Airbus One merupakan salah satu contoh konkret keberhasilan perkembangan distro dan clothing—ujung tombak industri kreatif di Bandung. Mobile store itu sekaligus merupakan jawaban cerdas dari bentuk persaingan bisnis di bidang tersebut, karena Airbus One tidak sekadar menjadi tempat jualan, tapi juga tempat berkumpul. Dengan sistem audio 4.000 watt yang dimilikinya, Airbus One bisa menggelar pertunjukan band dan diskusi.
Yang menarik, untuk mewujudkan bus funky itu, Fiki ”hanya” bermodal ide. Akibat merosotnya bisnis bus Jakarta-Bandung karena jalan tol Cipularang, banyak bus nganggur. Kemudian muncullah ide membuat toko bergerak, agar bisa menjemput bola—mendatangi keramaian, komunitas, dan pembeli. Maka dibuatlah desainnya. Gambar tiga dimensi Airbus One ditawarkan ke sponsor, eh, tertarik. Abrakadabra... jadilah bus toko. Airbus One pun mulai beroperasi pada 2006.
Rupanya, mendapatkan toko bus gratis belum cukup. Fiki dan kawan-kawan menyusun proposal dan program Airbus One untuk ditawarkan ke berbagai perusahaan lain. Iklan mereka bisa ditayangkan di televisi plasma 42 inci dan dibawa ke mana pun Airbus One berjalan. ”Ini adalah proyek zero investment,” kata Fiki. Sampai biaya pemeliharaan pun ditanggung sponsor. ”Bahkan, kalau ada acara, kami tak perlu menyewa stan, malah diberi tempat.”
Perjalanan distro dan clothing di Bandung hingga muncul kreasi membuat Airbus One jelas tak terjadi begitu saja. Ada cerita panjang di belakangnya, jauh sebelum Bandung dipenuhi distro pada awal 1990-an.
Mulanya adalah kebiasaan anak-anak muda kongko-kongko, antara lain di Studio Musik Reverse di Jalan Sukasenang dan Skatepark di Taman Lalu Lintas Bandung. Peserta yang nongkrong biasanya anak band independen (indie), musisi, pemain skateboard, anak punk, dan mahasiswa. ”Pokoknya anak gaul di zaman itu,” kisah Fiki.
Di tempat-tempat berkumpul itulah mereka bertukar ide dan mimpi-mimpi untuk mewujudkan cara mengekspresikan diri. Mereka pun mulai membuat barang-barang yang bisa mewakili identitas mereka. Dari sinilah mulai timbul semangat ”do it yourself” dan ”kumaha aing”—”terserah saya”—sebagai simbol kemandirian dan perlawanan.
”Yang membuat teman-teman makin kreatif justru keterbatasan,” kata Gustaff Harriman, pendiri Common Room—tempat berkumpul komunitas industri kreatif. Ya, karena tidak ada uang, tidak bisa membeli barang bermerek, akhirnya mereka membuatnya sendiri, dengan rancangan gaya ”kumaha aing” tadi. Apalagi, setelah krisis ekonomi, hidup pun makin susah. Tapi saat itulah distro justru tumbuh. ”Karena tidak mampu membeli T-shirt merek luar negeri yang diidamkan, kami terpacu membuatnya sendiri dengan desain dan kualitas tak kalah bagus,” demikian cerita Fiki.
Untungnya, Bandung punya banyak industri tekstil. Itulah yang membantu anak-anak muda yang baru mulai coba-coba berbisnis. Ya, karena mereka bisa memesan hanya beberapa helai T-shirt untuk satu desain. Hasilnya dipasarkan di antara teman-teman. Jadi awalnya, bila ada kaus ”limited edition”, itu bukan karena eksklusivitas, melainkan lebih karena modal memang pas-pasan. Airplane, misalnya, bermodal awal hanya Rp 300 ribu. Itu pun saweran.
Perkembangannya nyata. Pada mulanya (1997-1998), baru ada 5-7 distro. Awal 2000, ada 20 perusahaan clothing, yang menjadi 50 merek pada 2000-2004. Sekarang, terdaftar tak kurang dari 400 distro di Bandung. Beberapa merek bahkan bercokol di lebih dari 80 kota di Indonesia dan luar negeri, seperti Malaysia dan Singapura. Menurut data Departemen Perindustrian, omzet per bulan sudah mencapai sekitar Rp 22 miliar.
Bersamaan dengan berkembangnya distro—meski tak sedikit yang tumbang—makin kuat juga identitas komunitasnya. Contoh yang menonjol adalah komunitas Ujung Berung, yang merupakan kumpulan band underground. Mereka sudah bisa dikatakan mandiri secara ekonomi karena punya banyak cara menghidupi diri sendiri.
Menurut Fiki, kini distro sudah memasuki generasi kedua dan ketiga. Ada anak sekolah menengah atas yang sudah mulai berbisnis clothing. Menurut Gustaff, generasi pemain pasca-1998 umumnya makin menguasai teknologi. ”Desain-desain yang dihasilkan juga lebih berani, dan nekat.” Sudah ada juga yang berjualan melalui Internet.
Bandung sebenarnya hanya satu titik kecil di tengah gelora perkembangan industri kreatif global. Kota-kota lain di dunia pun sedang dalam gairah yang sama. Menurut Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Bidang Perdagangan dan Pembangunan, UNCTAD, industri ini merupakan sektor ekonomi baru yang tumbuh paling dinamis. Selama 2002-2005—data paling mutakhir UNCTAD—perdagangan barang dan jasa kreatif meningkat 8,7 persen. Nilai ekspor pada 2005 itu US$ 424,4 miliar atau kurang-lebih Rp 3.200 triliun. Sedangkan pada 1996 baru sekitar separuhnya, US$ 227,5 miliar.
Nah, ini menarik. Negara-negara berkembanglah, terutama di kawasan Asia, yang perkembangan industri kreatifnya paling menggelegak. Sayangnya, sektor-sektor ”seksi’ ini belum mampu menjadi tumpuan pembangunan, apalagi kemakmuran. Mengapa? Karena belum ada strategi jelas dan menyeluruh, baik tingkat kota, wilayah, maupun negara. ”Kita ini masih jalan sendiri-sendiri,” kata arsitek kondang Ridwan Kamil.
Potensi besar tapi belum tergarap. Itulah yang membuat industri kreatif untuk pertama kalinya direkomendasikan masuk agenda pembangunan negara-negara berkembang. Hal ini dibahas dalam Konferensi Tingkat Menteri UNCTAD XI di Sao Paulo, Brasil, pada 2004. Konferensi itu juga memperkenalkan ekonomi kreatif sebagai konsep pembangunan yang bertumpu pada industri kreatif. ”Ekonomi kreatif merupakan gelombang keempat sistem perekonomian. Pertama berbasis pertanian, industri manufaktur, teknologi, dan kreativitas intelektual,” ujar Hesti Indah Kresnarini, anggota Staf Ahli Menteri Perdagangan Bidang Pengembangan Promosi Ekspor.
Nah, tujuan utama pengembangan industri kreatif di negara-negara berkembang adalah memacu pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, UNCTAD mengeluarkan kajian dan hasil penelitian ekonomi kreatif yang dapat digunakan sebagai pedoman pembuatan kebijakan oleh negara berkembang. The Creative Economy Report 2008 merupakan dokumen komprehensif pertama tentang ekonomi kreatif dunia.
Seruan ini disambut baik oleh banyak negara berkembang. Bahkan negara maju pun tetap antusias mengembangkan bidang ini. Bagaimana tidak? Sebab, yang menjadi aset utama di sini adalah ide. Jika berhasil, seperti mendapat jackpot, keuntungan tak terhingga. Contohnya banyak. Bagaimana makhluk kuning yang tidak jelas jenisnya seperti Pokemon dan Spongebob Squarepants, misalnya, bisa menghasilkan uang superjumbo, plus berpengaruh.
Nah, bagaimana dengan pemerintah Indonesia? Jelas tertarik. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 5, menugasi Departemen Perdagangan menyiapkan cetak biru pengembangan industri kreatif.
Konsep itu sudah kelar Juni lalu. Antara lain menetapkan sektor dan penahapan. Dibakukan 14 sektor industri kreatif. Lalu ditetapkan periode 2008-2015 sebagai tahap penguatan, sementara 2016-2025 tahap percepatan. Kalau pada 2002-2006 ke-14 sektor itu menyumbangkan produk domestik bruto 6,3 persen, di tahap penguatan diharapkan bisa urun sekitar tujuh persen, dan 10 persen untuk tahap percepatan.
Untuk sosialisasi, berbagai pameran industri kreatif digelar. Juli-Agustus lalu dikukuhkan sebagai bulan industri kreatif. Pemerintah juga bertujuan membantu berkembangnya kawasan kreatif, seperti Yogyakarta, Solo, dan Bali, hingga pada 2025 nanti akan ada 20 pusat ekonomi kreatif. Bantuan modal bank pun ditawarkan. Dalam acara buka puasa bersama yang diselenggarakan Departemen Perdagangan di Grand Indonesia, Minggu dua pekan silam, Menteri Mari Pangestu mengundang para pengusaha industri kreatif. Mari juga mengajak mereka mendukung JEKI, Jaringan Ekonomi Kreatif Indonesia.
Dilihat dari rencana pemerintah, Bandung bisa dikatakan contoh yang paling siap. Komunitas industri kreatif sudah kuat. Untuk memperkuat jejaring, misalnya, telah dibentuk Bandung Creative City Forum pada Januari 2008. Ridwan Kamil sebagai ketua, Fiki menjabat wakil, dan Gustaff sebagai sekretaris. Forum ini mewadahi dan membantu mengembangkan kegiatan dan keahlian dari berbagai sektor industri kreatif.
Mereka mencanangkan 15 strategi, dari menguatkan kreativitas masyarakat, memakmurkan pelakunya, hingga mengubah visi kota—dengan memperbanyak ruang publik. Sampai saat ini yang sudah bergabung dalam forum itu 20 komunitas.
Pada 1 Agustus lalu, Bandung mendeklarasikan diri sebagai Bandung Emerging Creative City, lengkap dengan ekspresi identitas visual ”.bdg” (baca: dot-bdg). Deklarasi ini diikuti dua keramaian, Kickfest dan Helarfest, selama Agustus. Acaranya beragam, dari berbagai sektor industri kreatif. Antusiasme publik pun menggelegak. Bahkan, untuk memperingati ulang tahun Bandung ke-200, dua tahun mendatang, Bandung Creative City Forum bertekad menggelar Helarfest dengan 200 acara dalam satu tahun penuh. ”Bandung harus survive. Itu mimpi saya,” kata Ridwan. ”Karena persaingan global ke depan bukan antarnegara, tapi antarkota.”
Lalu apakah Bandung sudah merasakan fasilitas dan kemudahan dari pemerintah? Belum. Masih banyak ketidakjelasan, dari mencari pinjaman bank, pajak, hingga hak cipta. Padahal ketiga unsur ini bisa menjadi kebijakan yang membantu tumbuhnya industri kreatif. Bahkan, untuk Kickfest dan Helarfest, dananya merupakan ”bantingan” para pelaku industri kreatif di Bandung.
Ketika bisnis masih kecil, modal urunan. Sudah besar pun tetap urunan. Maka dikenal joke di antara mereka: ”Hidup adalah udunan”—bahasa Sunda yang artinya urunan.
Bina Bektiati, Iqbal Muhtarom, Alwan Ridha Ramdani (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo