Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tumbuh Cepat Kejar-kejaran

Bank konvensional berlomba mendirikan bank syariah. Infrastruktur belum kuat, bisa kepanasan.

8 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELUM genap enam bulan umur Bank Internasional Indonesia (BII) Syariah ketika bonus itu datang. Bank syariah yang membidik pasar kelas atas ini mendapat penghargaan sebagai bank paling inovatif dari konsultan bank syariah, Karim Business Consultant, dan Modal, majalah ekonomi dan bisnis syariah.

Pilihan BII Syariah membidik nasabah kalangan atas dinilai sebagai terobosan hebat. "Sebab, bank syariah lain umumnya menggarap pasar syariah loyalis," kata Kepala Divisi BII Syariah, Ismi Kushartanto. Sebelumnya, memang belum ada bank syariah yang bermain di kelas ini.

Menurut Ismi, itu karena bank ini sering dipersepsikan sebagai perbankan kelas dua. Fasilitas dan pelayanan nomor satu hanya untuk sang kakak, bank konvensional, yang sudah cukup berumur. Ternyata, baru sebulan berdiri, BII Syariah berhasil meraup dana sekitar Rp 5 miliar. Beberapa bank lain belakangan meniru Syariah BII, membidik pasar kelas atas.

Namun, mereka akhirnya membuka juga pasar untuk layanan biasa karena permintaan cukup deras di segmen ini. Kini, dalam usianya yang baru satu setengah tahun, mereka sudah punya tiga unit cabang syariah. Kucuran dana untuk membiayai usaha kecil menengah naik signifikan. Mereka juga melempar produk baru. Yang terakhir adalah BII Syariah Card, kartu kredit Islami.

Industri bank syariah memang sedang tumbuh pesat. Sampai Desember 2003, baru ada dua bank umum syariah, delapan unit usaha, 255 kantor bank, dan 84 bank perkreditan rakyat syariah. Sembilan bulan kemudian, bank umum syariah bertambah jadi tiga, unit usaha jadi 12, dengan 89 bank perkreditan rakyat syariah.

Perkembangan itu mencengangkan kalau dibandingkan dengan pada 1992, ketika baru ada satu bank umum berbentuk syariah dengan satu kantor bank, yaitu Bank Muamalat. Pertumbuhan bak jamur di musim hujan itu tak bisa dilepaskan dari fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Pada Desember 2003, MUI mengeluarkan fatwa bahwa bunga bank haram. Sebagian masyarakat mengalihkan tabungannya dari bank konvensional ke bank syariah. Catatan Bank Indonesia menunjukkan, pada semester pertama 2004, dana pihak ketiga bank syariah tumbuh sampai 48 persen.

Pada saat yang sama, penghimpunan dana pihak ketiga di perbankan konvensional tak lebih dari tiga persen. Sampai akhir tahun, pertumbuhan dana pihak ketiga perbankan syariah diperkirakan akan lebih dari 96 persen. Angka itu sudah diprediksi Bank Indonesia.

Minat masyarakat menyimpan uang di bank syariah terdeteksi cukup besar, ditambah keuntungan bagi hasil bank syariah yang 1-2 persen lebih tinggi dibandingkan dengan bunga bank konvensional. Pasar yang besar dan menjanjikan itu membuat banyak bank berlomba-lomba membuka bank syariah. Tahun depan, sejumlah bank perkreditan rakyat di daerah dan Bank Permata akan masuk ke bisnis ini.

Asisten Direktur Corporate Relations Bank Muamalat, Udin Syaifudin Noor, mengatakan dalam lima tahun terakhir bank syariah tumbuh di atas 40 persen. Banyak penyebabnya, mulai dari kebutuhan masyarakat yang meningkat, kesadaran tentang perlunya bisnis bersih dan halal, sampai tingkat spiritualitas masyarakat yang juga makin baik.

Hambatan pengembangan adalah jaringan. Dengan suplai dan permintaan yang cukup besar, perluasan jaringan jadi mutlak. Sebagai bank syariah terbesar saat ini, Bank Syariah Mandiri menyiasati persoalan jaringan itu dengan mendirikan kantor cabang sampai ke pelosok. "Minimal harus mempunyai gerai di kota kabupaten," kata Direktur Keuangan Bank Syariah Mandiri, Nana M. Somantri.

Banyaknya bank yang masuk ke pasar ini tak membuat dia khawatir tersaingi. Pangsa pasar syariah masih sangat besar, sedangkan pemainnya superkecil. Saat ini, pangsa pasar syariah masih satu persen dibandingkan dengan total aset bank konvensional. Bank Indonesia memproyeksikan, sampai 2011 pangsa pasar baru mencapai lima persen. Tapi Nana yakin pertumbuhannya bisa lebih cepat.

Dengan aset per Oktober Rp 6,1 triliun, Bank Syariah Mandiri menguasai pangsa pasar di atas 45 persen. Rasio pembiayaan dan deposito, yang di bank konvensional disebut rasio utang terhadap deposito, rata-rata di atas 90 persen. Bank Syariah Mandiri sudah menyalurkan kredit Rp 5,1 triliun?85 persen dialokasikan untuk usaha menengah kecil.

Optimisme yang sama juga terlihat di BRI Syariah. Kendati pertumbuhan dana pihak ketiganya masih relatif kecil, sekitar tujuh persen tiap bulan, Kepala Divisi Syariah BRI, H.Z. Elfani, optimistis bisnisnya akan terus tumbuh. Dana pihak ketiga yang sudah berlabuh hingga September lalu mencapai Rp 132 miliar, dua kali lipat dibandingkan dengan posisi Desember 2003.

Yang menarik, rasio pembiayaan terhadap depositonya per September mencapai hampir 200 persen. Artinya, pinjaman yang disalurkan dua kali lipat dibandingkan dengan deposito yang dimiliki. "Enggak ada, kan, perbankan yang seperti itu?" katanya. Menurut dia, kucuran besar itu terjadi karena mereka percaya akan sistem syariah. Dia mengakui, sebagian dana itu diperoleh dari BRI konvensional.

Meski bank syariah tumbuh kencang, Ismi mengatakan masih harus melakukan sosialisasi agar pasarnya makin besar. Menurut dia, masih banyak masyarakat yang belum mengenal bank syariah. Apalagi produk bank konvensional lebih variatif dibandingkan dengan syariah.

Banyak nasabah meminta kartu kredit. MUI sudah mengeluarkan fatwa soal ini. Tapi, peraturan Bank Indonesia belum memungkinkan karena masih ada perbedaan pandangan. "Kita belum berani melangkah," katanya. Karena itu, katanya, harus ada komunikasi intens antara bank syariah, Bank Indonesia, dan Dewan Syariah ketika akan mengeluarkan produk baru.

Ketua Asosiasi Bank Syariah Indonesia, Wahyu Dwi Agung, mengatakan perkembangan pesat itu sesuatu yang alami. Sebagai industri baru, bank syariah sedang dalam fase pertumbuhan dan sangat prospektif karena respons masyarakat sangat bagus. Kepala Divisi Bank Muamalat ini mengatakan total aset bank syariah tumbuh 70 persen. Dari sisi laba, pertumbuhannya juga menakjubkan.

Tapi, pertumbuhan yang terlalu fantastis juga menimbulkan kekhawatiran. Infrastruktur pendukung bank dengan ajaran syariah ini dinilai belum memadai. Institusi terkait, seperti Departemen Keuangan, Dewan Perbankan Syariah, sekuritas, dan sistem penjaminan pembiayaan, belum terlibat optimal. Ini bisa menimbulkan efek negatif.

Ekspansi perbankan syariah yang terkonsentrasi di sektor retail dan perdagangan, misalnya, bisa menyebabkan pembiayaan konsumsi yang tidak produktif. Dia menyadari pertumbuhan cepat itu memang belum diikuti infrastruktur memadai. "Kita seperti kejar-kejaran antara pertumbuhan tinggi dan infrastruktur seperti peraturan, sumber daya manusia, dan pengawasan," katanya.

Minat masyarakat yang besar juga bisa membuat bank syariah kelebihan likuiditas. Belakangan, dana syariah yang disimpan di Bank Indonesia terus naik. Ini harus diwaspadai karena bisa membuat industri ini kepanasan. Ujung-ujungnya, bagi hasil untuk nasabah bisa turun.

Wahyu mengakui kelebihan dana nasabah itu. Tapi, jumlahnya tak signifikan, hanya sekitar Rp 400 miliar. Dengan rasio pembiayaan terhadap deposito yang tinggi, 102 persen pada Agustus 2004, posisi bank syariah jauh lebih baik ketimbang bank konvensional, yang rasionya tak lebih dari 60 persen. Bank bisa disebut sehat jika rasio utang terhadap simpanan pihak ketiga berkisar 80-120 persen.

Direktur Perbankan Syariah Bank Indonesia, Harisman, mengatakan pertumbuhan cepat memang bisa berdampak negatif, sehingga bank syariah harus ekstrahati-hati menyalurkan pembiayaan. Tahun ini, katanya, kucuran pembiayaan tak terlalu drastis. Sampai Maret lalu kredit yang disalurkan sekitar Rp 6,4 triliun, Juni Rp 8,4 triliun, dan Agustus Rp 9,54 triliun.

Kendati ada kekhawatiran, BI sudah punya rambu. Deputi Gubernur Bank Indonesia, Maulana Ibrahim, mengatakan pengawasan Bank Indonesia memang menjadi kunci bagi pengembangan bank syariah ke depan. Bagi bank yang membuka cabang sampai ke daerah atau sampai tingkat kelurahan, pengawasannya dilakukan bank sendiri.

Artinya, perluasan jaringan bank syariah tidak menjadi risiko pengawasan Bank Indonesia. Sesuai dengan peraturan, bank syariah meluaskan jaringan di dalam jaringan itu sendiri. Ini berbeda dengan bank perkreditan rakyat, yang berdiri sendiri, sehingga BI harus mengawasi langsung.

Pengawasan juga menyangkut soal produk yang akan dilempar ke pasar. Dia melihat banyak bank syariah yang makin kreatif membuat produk perbankan syariah. Tapi bank syariah harus mematuhi aturan syariah, seperti mengikuti fatwa MUI apakah produk itu melanggar peraturan atau tidak.

Bila MUI membolehkan dan tidak ada masalah dari Dewan Syariah Nasional, sesuai dengan hukum fikih atau hukum Islam, produk itu bisa dikeluarkan bank syariah. "Operasionalnya akan diatur Bank Indonesia," kata Maulana kepada Taufik Kamil dari Tempo.

Soal keamanan dana nasabah, Maulana menyatakan tidak tertutup kemungkinan ada penyelewengan. Namun dia percaya bahwa, sesuai dengan namanya, bank syariah paling tidak punya mekanisme pengamanan internal. "Paling tidak, sumber daya manusianya patuh, baik kepada peraturan BI maupun aturan syariah sendiri," kata Maulana.

Leanika Tanjung, S.S. Kurniawan, Danto, Poernomo Ridho, Agriceli

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus