Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBAGAI seorang dengan latar belakang keuangan, prinsip Dinki Pudjanto, 45 tahun, agak lain dari biasa. Ia berteguh memutar roda bisnisnya dengan dana sendiri, tanpa pembiayaan perbankan. Selama 13 tahun ia mampu bertahan. Tapi, tahun lalu, Dinki menyerah dan harus mengandalkan pembiayaan bank juga.
Tepatnya November tahun lalu, PT Maksimarka Komunikasi punya Dinki mengajukan permohonan pembiayaan kepada tiga bank: dua bank konvensional dan satu bank syariah, yaitu BII Syariah. Sebagai spesialis pembuat laporan tahunan dan profil perusahaan go public, Dinki perlu dana untuk modal kerja perusahaannya. "Semua bank menyetujui permohonan kami, tapi saya akhirnya memilih BII Syariah," kata Dinki kepada Tempo di kantornya di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan.
Dengan sistem jual-beli barang atawa al-murabahah, ia mendapat batas pembiayaan atau plafon Rp 750 juta selama setahun. Sistem ini memang memungkinkan bank memberi pembiayaan untuk pembelian atau pengadaan barang kebutuhan usaha. Jaminannya tanah seluas 3.000 meter persegi di Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Dana itu digunakan untuk membiayai order. Dalam akad kredit, pinjaman itu harus dikembalikan per kuartal berikut margin yang sudah disepakati bersama. "Saat itu, dibandingkan dengan bunga bank konvensional, margin yang dipungut BII Syariah lebih murah 2 persen dari bunga bank," ujar Dinki yang pernah bekerja di perusahaan iklan besar.
Pilihannya pada pembiayaan bank syariah terbilang berani. Sebagai orang yang tadinya "alergi" terhadap pembiayaan bank, Dinki tentu lebih mafhum pembiayaan bank konvensional yang lebih familiar dengan sistem bunga. Tapi, anak mantan diplomat ini punya alasan sendiri: BII Syariah yang paling cepat merespons kebutuhan keuangan perusahaannya.
Dalam tempo dua bulan, perusahaan mendapat modal kerja yang dibutuhkan. "Jadi, saya memakai pembiayaan syariah bukan lantaran syariat, tetapi kebetulan bank ini cepat merespons kebutuhan keuangan perusahaan," katanya. Kini, setelah jalan setahun, kreditnya diperbarui lagi setahun.
Pihak bank malah menaikkan nilai batas kreditnya menjadi Rp 1,2 miliar. Persyaratannya pun dipermudah. Semula dia harus menyertakan nilai belanja barang, kini cukup dengan menunjukkan kontrak order dari klien, perusahaan dengan mudah mendapatkan pembiayaannya. Margin yang mereka kutip pun kini lebih murah: 15 persen.
Perjalanan PT Maksimarka bermula dari garasi rumah Dinki di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan. Bersama dua temannya, mereka memutar roda Maksimarka dengan modal Rp 2 juta. Kini, perusahaan itu sedang mekar-mekarnya. Aset perusahaan kini Rp 7 miliar. Tahun lalu, perusahaan yang mempekerjakan 50 orang ini membeli satu unit mesin cetak digital empat warna merek Heidelberg berikut mesin pelat dan potong.
Dalam setahun, perusahaan mendapat order membuat laporan tahunan dari 18 perusahaan ternama seperti Bank Central Asia, Bayer Indonesia, Telkomsel, Adira Finance, dan Jamsostek. Padahal, ketika memulai usaha, 1991, perusahaan hanya membuat satu laporan tahunan: Indosat. Pembuatan profil perusahaan lebih banyak lagi. Kini, Maksimarka melebarkan sayapnya dengan membuka lini usaha baru.
Sedikitnya ada lima lini usaha baru yang bergerak, mulai dari layanan desain web, multimedia, percetakan, dan event organizer. Kini, omzet perusahaan per tahun sekitar Rp 7,8 miliar. "Omzet perusahaan stabil, tetapi laba usaha meningkat karena kini kami mengerjakan semua order sejak hulu hingga hilir. Tidak ada lagi outsourcing," kata Dinki.
Meski kebesaran perusahaannya sekarang belum banyak didorong pembiayaan bank syariah, Dinki merasakan kecepatan pembiayaan bank syariah memudahkan perusahaan mengongkosi order klien. "Kini arus kas perusahaan jadi lebih sehat, dan kami bisa memenuhi order sesuai jadwal," katanya.
Berbeda dengan Dinki, H. Dedy Mulyadi, 44 tahun, Direktur Utama PT Ekalima Graha, pemilik perusahaan yang menjual bahan bakar minyak untuk kapal laut ini, justru merasakan usahanya benar-benar berkembang lantaran pembiayaan syariah. Melalui Bank Syariah Mandiri, ia mengandalkan pembiayaan untuk membeli BBM dari Pertamina sebelum dijual lagi ke kapal-kapal laut yang bersandar di Tanjung Priok.
Menurut Dedy, pada 1998, ia mencari pembiayaan dari bank. Sempat mampir dengan pembiayaan Bank Mandiri, akhirnya ia memanfaatkan pembiayaan model syariah lewat Bank Syariah Mandiri. Ia terhitung nasabah pertama di bank itu. Dengan sistem jual-beli al-murabahah, ia mendapat pembiayaan Rp 6 miliar selama setahun.
Dalam tempo satu-dua bulan, dana sudah di tangan. Padahal, di bank konvensional bisa memakan waktu lebih dari tiga bulan. "Kecepatan pembiayaan bank syariah sesuai dengan kebutuhan dana kami," kata ayah empat anak ini. Dalam sehari, PT Ekalima mampu menjual 50-200 ton BBM atau sekitar 200 kiloliter. Jika harga jualnya Rp 2.050 per liter (minyak diesel), setiap hari perusahaannya harus mengeluarkan duit sedikitnya Rp 410 juta. Perusahaan mendapat margin ongkos angkut rata-rata Rp 100 per liter atau Rp 20 juta per hari.
Meski harus membayar margin lebih tinggi dari bunga bank konvensional saat ini, Dedy tetap merasa pembiayaan bank syariah punya nilai lebih ketimbang bank konvensional. Ia merasakan proses pembiayaannya lebih cepat. Ini pas sekali dengan model usahanya yang membutuhkan likuiditas tinggi. Nilai lebih lainnya: bank syariah lebih tanggap atas keluhan atawa keinginan nasabah.
Ibarat keluarga, dia bisa berhubungan langsung dengan para direksi. Ini yang jarang terjadi di bank konvensional. "Kalau ada problem jadi lebih mudah, sebab bisa berhubungan langsung dengan bankir berpengalaman," ujar pria yang memperoleh magister manajemen dari Universitas Jayabaya, Jakarta, itu.
Kini, perusahaan yang berdiri pada 1994 itu punya sembilan kapal tongkang dengan kapasitas 300-700 kiloliter. Aset perusahaan, yang semula Rp 150 juta, telah beranak-pinak menjadi lebih dari Rp 20 miliar. "Semuanya berkat pembiayaan bank syariah," kata Dedy, yang mencatat hampir Rp 30 miliar pembiayaan Bank Syariah Mandiri yang dimanfaatkan perusahaannya.
Saat ini perusahaannya sedang mengajukan permohonan pembiayaan lagi Rp 5 miliar. Dana itu untuk membiayai proyek pipanisasi air minum dari Gunung Manglayang di Bandung Utara. Calon pembelinya ialah 4.000 rumah di sekitar kawasan tersebut. Ia berencana akan mengenakan biaya Rp 1,5 juta per rumah untuk pemasangan instalasi pipa. Tarif airnya lebih murah ketimbang perusahaan daerah air minum setempat. Untuk mengelola proyek ini, ia pun mendirikan anak perusahaan dengan nama PT Kreasi Papan. "Saya yakin dalam tempo dua bulan pembiayaan itu akan balik," ujarnya mantap.
Pembiayaan bank syariah menjadi pilihan pengusaha yang butuh dana cepat. Ada yang mematok margin lebih tinggi dari bunga bank konvensional.
M. Syakur Usman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo