Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saman adalah sebuah teror purba. Pada abad ke-2 orang Druid percaya bahwa dialah yang dipertuan di dunia kematian, yang tiap 31 Oktober malam akan mendatangkan barisan roh jahat. Penduduk wilayah Gaulia dan kepulauan Britania akan menunggu saat itu dengan gentar. Konon pada malam itulah para arwah akan datang mengetuk pintu rumah yang pernah mereka huni.
Ketakutan kolektif ini melahirkan upacara?sebuah upaya melunakkan hati para demit yang melahirkan "pesta" Halloween.
Ritual lama itu terus. Bukan karena takhayul masih kuat, tapi karena manusia tampaknya menggemari rasa takutnya sendiri. Cerita hantu gampang laku dan kecemasan mudah disebar-luaskan. Kini "horor" itu bahkan jadi bagian dari industri budaya. Pelbagai benda dan jasa beredar di toko dan kaki lima dunia: kedok setan, jubah Drakula, pesta dalam gelap, novel Stephen King?.
Di Amerika Serikat, tahun 2004, pemasaran setan-setanan 31 Oktober itu dapat menjelaskan kenapa ketakutan pasca-11 September berlanjut terus. Dalam persaingan sengit dua calon presiden, ketakutan kolektif itu ("Awas teror!") diolah dengan kampanye yang panjang dan dana terbesar dalam sejarah: $ 550 juta dihabiskan untuk iklan di TV.
Betapa kebetulan, tapi betapa cocok, ketika Usamah bin Ladin mendadak muncul 48 jam sebelum Halloween. Pemimpin "Al-Qaidah" yang menyatakan diri sebagai pengatur penghancuran ke Menara Kembar itu menyiarkan statemennya. Berbicara dari sebuah waktu yang tak jelas dan tempat yang entah di mana, ia memang personifikasi teror yang pantas bagi orang Amerika: Usamah adalah Saman yang dipertuan di dunia kematian, yang tampak sejenak dari sebuah rekaman video yang agak kabur. Jenggotnya panjang, sosoknya seperti jerangkong, pakaiannya seperti kostum si Tua Jahat dari dongeng Tolkien. Berbicara dengan yakin dan tenang, ia tunjukkan bahwa gempuran Amerika?sekian ribu prajurit, sekian ton amunisi, bertubi-tubi selama tiga tahun?tak mampu membunuhnya. Bak hantu orang Druid, ia hadir di antara ada dan tiada: teknologi yang piawai menampilkannya dari dekat, tapi teknologi yang setaraf tak dapat menjangkaunya.
Ketak-jelasan itulah ciri pokok terorisme kini. Dulu, selama perang kemerdekaan Aljazair, bila bom meledak di subway atau di kafe Paris, orang tahu siapa pelakunya dan tujuan apa yang hendak dicapai. Hal yang sama terjadi semasa Perang Vietnam, bila di satu sudut Kota Saigon mendadak suara gelegar terdengar dan korban jatuh. Front Nasional Pembebasan Aljazair, seperti Front Nasional Pembebasan Vietnam ("Vietkong"), adalah organisasi perjuangan politik, dan teror hanyalah salah satu metodenya. Tapi "Al-Qaidah"? Sebuah organisasi besar? Sebuah "aliran"?
Kini teroris tersebar, tapi tak jelas apa hubungan bom di Bali dengan bom di Spanyol, ledakan di Pakistan dengan pembunuhan di Mesir. Dan gambarannya kian ruwet setelah penculikan dan bom bunuh diri berkecamuk di Irak sejak Amerika menduduki negeri itu. Apa yang menyatukan aksi yang tersebar itu? Apa yang membedakannya?
Memang sering dunia diberi tahu motif keagamaan mereka yang keras. Dunia juga tahu apa yang membuat mereka marah. Tapi tak pernah jelas bagaimana program politik di balik semua itu, dan bila mereka anti-Amerika, tak dapat dibayangkan bagaimana mereka akan mengalahkan "Sang Setan Besar".
Dalam kekaburan itu bahasa mencoba menemukan ekonominya sendiri untuk lebih jernih. Pengertian disederhanakan, kata dicoba diberi bangunan makna yang ajek. Sebagaimana "rasa takut" purba diberi sosok "gendruwo" atau "kuntilanak", juga "teror" abad ke-21 diberi sosok "Al-Qaidah". "Musuh" juga secara samar-samar diberi wajah "Islam", tak peduli apa itu datang dari Iran, Arab, Inggris, atau Negeri Dongeng.
Dalam pidato yang disiarkan di TV itu, misalnya, tak sepatah pun saya temukan kata "muslim" dalam teks Usamah bin Ladin; ia hanya menyebut Libanon dan Palestina. Tapi laporan Douglas Jehl dan David Johnston di The New York Times menulis bahwa tokoh "Al-Qaidah" itu berbicara tentang "muslim securities". Beberapa hari sebelumnya The Boston Globe mengutip seorang Amerika yang pernah disandera oleh kaum militan pada tahun awal Revolusi Iran. Ia menghubungkan penyanderaan di Teheran itu dengan pembantaian di World Trade Center tahun 2001. "Saya tahu mereka akan datang lagi," katanya?seakan-akan "mereka" yang di Iran dua dasawarsa yang lalu sama dengan "mereka" yang menghantui Amerika sejak "11 September".
Dengan kata lain, berlainan dengan ketika menghadapi gerakan komunisme internasional, kini orang Amerika tetap tak tahu siapa gerangan musuh itu dan kenapa dan dari mana ia muncul. Bahasa dapat diberi bangunan makna yang ajek, namun yang "nyata" tetap luput. Teror tak mudah diringkas. Mambang dan peri akan tetap gentayangan. Bahkan para perencana di Pentagon tak tahu kapan perang melawan terorisme akan berakhir, bagaimana pula kemenangan dan kekalahan dirumuskan dalam rancangan operasi.
Mungkin ini perang yang akan tak usai. Lingkaran setan dengan mudah terbentuk. Sebab telah tampak betapa mudahnya mengganggu keseimbangan jiwa orang Amerika, dan betapa mudahnya para politisi mengubah paranoia khalayak ramai jadi patriotisme dan xenofobia jadi uniletaralisme?yang pada gilirannya akan kian mengucilkan Amerika di dunia. Seregu kecil orang yang bersedia menghancurkan apa saja yang "Amerika" akan dapat memicu semua itu.
Seperti Halloween, di sini pun rasa takut dapat mendatangkan hal-hal yang dapat diperdagangkan; senjata, misalnya. Tapi berbeda dari Halloween, dalam perang melawan terorisme itu ada kematian, kehancuran, dan kebencian yang berjangkit. Juga kehilangan perspektif. Orang lupa bahwa lebih besar ketimbang "Al-Qaidah" adalah ancaman kemiskinan, penyakit menular, hutan tropis yang habis, air bumi yang terkuras, ozon yang berlubang, dan bumi yang bertambah panas.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo