Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putri Pengarang: Putu Wijaya Penerbit: Pustaka Utama Grafiti, 2004 Tebal: 530 halaman
DI TENGAH maraknya kebangkitan novelis perempuan, Putri, sebuah novel panjang karya Putu Wijaya, muncul dan membicarakan perempuan. Perempuan itu bernama Ni Luh Putu Putri, sarjana sastra lulusan Fakultas Sastra Universitas Udayana. Setting tempatnya Bali; waktunya menunjuk era reformasi, dengan menggunakan pemberontakan G30S sebagai salah satu latar sejarahnya.
Novel ini "memotret" Bali sebagai sebuah jagat budaya yang sedang berubah. Perubahan itu tampaknya lebih menunjuk pada munculnya sikap kritis orang muda terhadap kebudayaan, khususnya upacara dan kebijakan lokal, yang merupakan warisan nenek moyang. Mereka itu Putri, Nelly, dan Wikan.
Putri dilukiskan sebagai perempuan cerdas dan rupawan. Banyak lelaki terdorong "jatuh cinta", termasuk Ratu Agung Aji, seorang bangsawan kaya yang lebih pantas menjadi kakeknya. Sudah bisa kita bayangkan bahwa Putri diinginkan menjadi salah satu istrinya. Seperti biasanya dalam cerita lama, da-lam novel Putri ini, ayahnya, Jero Mangku Puseh, menyetujui rencana pernikahan itu, tetapi ibunya menentang keras. Putri sendiri tidak bisa menerimanya.
Sang ayah punya pamrih. Ia, sebagai pemangku adat, bertanggung jawab tidak hanya kepada terselenggaranya upacara, tetapi juga terhadap berbagai perbaikan tempat peribadatan yang memerlukan biaya sangat tinggi. Tapi, jika Putri bisa menikah dengan Ratu Agung Aji, hal yang menyangkut upacara dengan segala macam uba-rampe yang diperlukan tidak menjadi masalah. Artinya, Putri menjadi tumbal untuk kelangsungan upacara di desanya. Inilah salah satu isu yang penting novel ini. Kelangsungan upacara menjadi sangat penting, walaupun mahal biaya dan besar korbannya. Sebab, hidup orang Bali tidak mungkin dipisahkan dari upacara. Di samping itu, upacara-upacara itulah yang tampaknya membuat Bali menjadi salah satu primadona di dunia. Jelasnya, upacara itulah yang membuat wisatawan dari seluruh penjuru dunia berkunjung ke Bali.
Akan tetapi, Putri tidak bahagia dengan keadaan demikian ini. Sebagai salah satu tujuan utama wisata dunia, yang melimpahi Bali dengan dolar dalam jumlah tak terkira yang dibelanjakan para turis, ternyata penduduk Bali tidak menjadi lebih kaya. Sebagian besar penduduk desa tempat kelahiran Putri adalah petani. Mangku Puseh, pemimpin upacara terkenal di desanya, ternyata hanya memiliki seekor sapi, yang digunakan untuk membajak sawahnya. Sapi itu tidak pernah berubah menjadi traktor. Putri dan saudaranya biasa mandi di pancuran. Untuk buang hajat besar, mereka pergi ke sungai. Derasnya wisatawan sama sekali tidak mendongkrak kehidupan ekonomi dan kondisi hidup mereka. Maka, orang-orang muda mempertanyakannya. Tidak hanya dengan kata pertanyaan, tapi diajukan juga dengan sikap. Putri menolak mengenakan pakaian tradisi pada saat wisuda. Tak mau mewarisi tugas ayahnya. Walaupun Putri hanya memakai pakaian biasa saat upacara wisuda, ia mengundang perhatian: tanda pemberontakan terhadap kelatahan.
Di samping itu, novel ini menyoroti nasib perempuan. Lelaki tampak selalu menang. Ia boleh menikah lebih dari satu kali. Tetapi, jika kesalahan sedikit saja terjadi pada perempuan, seakan-akan ia hancur. Aib mencoreng seluruh keluarganya. Karena itu, ketika Putri menolak diperistri Ratu Agung Aji, langsung Mangku Puseh sangat khawatir. Ajakan mempertimbangkan tradisi ini dijalin dalam kisah perjuangan Putri, yang selalu mengalami kesulitan tetapi tetap tabah. Apa yang dikatakannya cenderung diputarbalikkan, bahkan oleh wartawan pada saat wisuda. Pikirannya yang cemerlang dirampok Nelly, dan ia ikhlas saja. Begitu juga saat Nelly menggunakan naskah itu, mengubah teks jadi mendekati naskah pidato, untuk mempromosikan diri
Tampak, di jagat Bali pada era baru, orang-orang saling mengeksploitasi. Sangat terasa, upacara warisan leluhur telah kehilangan apinya. Sementara itu, upacara terkadang meminta korban perasaan. Tatkala Ratu Agung meninggal tak segera bisa diumumkan bahwa ia telah wafat hanya karena ada upacara lain.
Perjuangan tradisi baru ini dijalin pula dengan kisah percintaan yang subtil. Cara berceritanya mengalir, lancar, tanpa beban, tetapi terkadang ada refleksi cerdas. Nada novel ini sedih mungkin karena Putri terlalu banyak kecewa, juga Wikan, lelaki yang mencintainya. Kritik tajam menjadi flavor-nya.
Bakdi Soemanto, kritikus sastra, dosen di fakultas sastra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo