MINGGU pertama bulan lalu, Pengadilan Negeri Jambi
menyampaikan keputusan Mahkamah Agung bulan Oktober 1975, yang
menyangkut gugatan kasasi Bank Dagang Negara (BDN) atas dua
perusahaan pelayaran nasional. Dengan keputusan itu, yang
ternyata memenangkan BDN, pengacara dari PT Pelayaran Abadi
Lines dan PT Pelayaran Nusantara Wasesa Lines menilai: "Suatu
keputusan yang buruk pengaruhnya bagi perusahaan pelayaran
nasional pada umumnya". Begitu jauhkah? Sebab kata pengacara
tadi, Thamrin Manan SH, "apakah ketidak-beresan pihak bank
sendiri dalam melaksanakan tata cara ekspor, kesalahannya dapat
ditimpakan begitu saja kepada perusahaan pelayaran -- yang hanya
sebagai pengangkut saja?" Urusan memang sudah mulai sekitar
tahun 1969, berlarut-larut, lalu menyangkut-nyangkut perkara
lain.
Bulan Agustus 1971 Pengadilan Negeri Jambi, telah memutuskan:
menghukum 4 bulan penjara atas Ferdinandus Bamboe, Pimpinan BDN
Cabang Jambi. Ia dipersalahkan: "Menandatangani formulir E3
(formulir mengenai pemberitahuan ekspor barang), yang tidak
sesuai dengan ketentuan, sehingga menerbitkan hak yang dapat
digunakan oleh orang lain". Yang mendapat manfaat dari
penyelewengan pejabat bank ini seorang eksportir bernama
Soenarto Goenawan alias Goh Hong Soen. Dan BDN dirugikan lebih
dari US$ 3 juta. Dalam sidang terhukum mengakui kesalahannya,
"telah menyimpang dari prosedur ekspor yang berlaku". Yaitu:
menandatangani formulir E3 melampaui L/C yang dibuka importir di
luar negeri. Penyimpangan yang dilakukan pada bulan-bulan Juni
hingga September 1969 itu, dibuatnya setelah mendapat izin dari
Biro Lalu Lintas Devisa (BLLD) Cabang Jambi.
Namun pada bulan Agustus berikutnya izin itu tidak dimintakan
lagi oleh eksportir Soenarto dari Pl Makmur Jambi Jaya atau PT
Musdar atau PT Musdar Jambi Jaya ini. Di samping dasar
kepercayaan pimpinan bank ini kepada langganannya, juga dengan
pertimbangan: "menghindarkan ongkos mendapatkan izin yang harus
dibayar oleh eksportir tersebut". Dengan penyimpangan itu BDN
mengambil alih 33 Wesel Ekspor (WE) dengan nilai nominal
seluruhnya lebih dari US$ 3 juta. Dan dari nilai itu fihak BDN
telah membayarkannya dengan rupiah kepada Goh, untuk ekspor
karet sejumlah 6000 ton lebih. Oleh beberapa saksi, pegawai BDN
setempat, penyelewengan pejabat ini sudah diperingatkan akan
bahayanya. Namun Ferdinandus Bamboe tetap melaksanakannya
sebagai kebijaksanaan.
Dan terjadilah: WE yang diambil alih BDN dari tangan Goh
ternyata ditolak pembayarannya oleh bank pembuka L/C, Mercantile
Bank Singapura. Alasannya: nilai yang ditarik BDN itu melebihi
jumlah L/C yang ditentukan, kira-kira seharga lebih dari 2000
ton karet (Excess Drawing). Juga ternyata dokumen ekspor yang
diperlukan, terlambat pengirimannya ke Singapura -- sehingga
basi. Goh Hong Soen sendiri, setelah menerima uang rupiah tunai
dari BDN terus mabur. Pada akhirnya terbongkar juga siapa dia
ini: dia juga importir di Singapura, dengan nama Lee Soen
Coy,sebagai penerima karet yang diekspornya sendiri dari Jambi.
Dalam rangka ekspor yang ruwet inilah, pada 26 Juni 1969. BDN
mengolder PT Pelayaran Nusantara Wases Lines untuk mengangkut
350 ton karet dari Jambi ke Singapura. Oleh perusahaan itu,
order dilimpahkan kepada Ins Pahala, milik PT Pelayaran Abadi
Lines. Sampai di Singapura karet ekspor itu diserahkan kepada si
penerima barang -- sesuai dengan alamat yang tercantum pada
surat perintah pengangkutan. Penyerahan dilakukan tanggal 7 Juli
berikutnya kepada Lee Soen Coy. Barang diserahkan berdasarkan
garansi bank dari Bank of America. Mula-mula urusan BDN dengan
perusahaan angkutan selesai hingga di sini.
Begitu hingga bulan September tahun berikutnya, BDN, lewat
pengacaranya. Prof. Dr. Sudargo Gautama SH, tiba-tiba membuat
tuntutan perdata atas tergugat PT Pelayaran Abadi Lines & Wasesa
Lines. Dua-duanya telah dituduh: menyerahkan karet milik BDN
sebanyak 300 ton seharga lebih dari US$ 130 ribu kepada pihak
ketiga Lee Soen Coy. "BDN sebagai pemegang konosemen asli
ternyata tidak menerima barang-barangnya atau uang yang seharga
dengan itu", demikian gugatnya. Lawannya membantah: "Rupanya
gagal menagih ke Mercantile Bank, kami yang harus jadi kambing
hitam". Buktinya: barang yang diangkut bukannya 300 ton, tetapi
350 ton karet. Yang 50 ton sudah dibayar oleh pembuka L/C,
sisanya tidak, karena tidak sesuai dengan ketentuan. "Sudah
jelas pegawainya sendiri yang menyeleweng sehingga negara yang
dirugikan, sekarang BDN coba-coba menuntut uang dari perusahaan
nasional yang tidak bersalah", bantah tergugat.
Naik Banding
Akhirnya hakim jua yang memutuskan: baik PT Abadi maupun Wasesa,
sebagai pengangkut, telah menjalankan tugasnya dengan baik.
Yaitu telah menyerahkan barang tanggung-jawabnya kepada
alamat-yang telah ditentukan. Tapi BDN yang memegang konosemen
-- dan merasa berhak menuntut barang kirimannya? Memang. Tapi
itu dalam rangka tugas penggugat sebagai pelaksana L/C. Itu
"dalam hubungannya dengan realisasi ekspor karet milik PT Makmur
Jambi Jaya ke Singapura dalam memenuhi permintaan importir Lee
Soen Coy melalui Mercantile Bank Singapura". Jadi, lanjut hakim,
"penggugat memegang konosemen bukan untuk menerima karet di
pelabuhan tujuan tapi dalam rangka tugasnya sebagai bank devisa
saja". Akhirnya disimpulkan oleh Hakim Amiroedin Noer SH:
Menimbang bahwa dengan adanya kesalahan atau kelalaian dari
penggugat -- sendiri dan itikad jahat importir -- bukti: tidak
memenuhi kewajiban membayar kepada banknya di Singapura --
"tidaklah memenuhi rasa keadilan kalau kerugian dan resiko
dibebankan kepada orang lain". Dengan dasar ini, hakimpun
menilai lebih lanjut, "penyerahan barang oleh tergugat kepada
importir Lee Soen Coy dengan garansi Bank of America, apakah sah
atau tidak, menjadi irrelevant untuk dipertimbangkan". Perkara
belum selesai. Dari pengadilan tingkat pertama ini, fihak BDN
naik banding ke Pengadilan Tinggi Palembang.
Keputusan Banding berikutnya, September 1972, ternyata masih
berpihak pada para tergugat. Keputusan pengadilan pertama
dikuatkan. Bahkan diputuskan lebih lanjut: untuk nama baik para
tergugat yang dirugikan karena perkara ini, pihak BDN harus
membayar ganti rugi Rp 1,5 juta. Namun perkara masih terus
berjalan hingga sampai ke meja kasasi di Mahkamah Agung. Kali
ini nasib baik bagi BDN: ia dimenangkan -- setelah MA
membatalkan semua keputusan bawahannya -- dan lawannya harus
membayar harga karet yang pernah diangkutnya, lebih dari US$ 130
ribu ditambah bunganya 6% setahun dihitung sejak barang
diserahkan kepada alamat tujuan, Lee Soen Coy tanggal 7 Juli
1969, pertimbangan MA, pada pokoknya setuju dengan dalih BDN.
Antara lain: perusahaan pelayaran itu telah salah memberikan
karet ekspor milik BDN -- itu kepada alamat yang tercantum di
sana. Karena, menurut MA "Lee Soen Coy hanya merupakan alamat
pemberitahuan saja dan bukan untuk menyerahkan barang".
Sulit juga kedudukan para tergugat -- yang justru keok dalam
keputusan tingkat terakhir. Apa boleh buat. Usahanya kini: "Saya
sedang menyiapkan bahan untuk minta pertimbangan baru dari MA
(request civiel)", kata Thamrin Manan SH. Sambil mengeluh
panjang pendek pengacara ini menyatakan: "Sebenarnya BDN dapat
mengklaim Bank if America, yang menjamin penyerahan arang itu,
dan klien saya sanggup nembayar pengacara di Singapura untuk
keperluan itu".
Ketika gugat-menggugat ini sedang berlangsung pada taraf
permulaan, terlyata kejaksaan di Jambi berhasil meayeret Goh
Hong Soen ke pengadilan. Oleh pengadilan, Goh dihukum sembilan
bulan penjara. Ia dinyatakan terbukti bersalah memalsukan
surat, yang dipergunakan berulang kali untuk mengurus ekspor
karet, sehingga merugikan negara. Bagaimana usaha BDN untuk
mengembalikan uang yang disikat Goh selain menimpakan beban
kepada perusahaan pelayaran nasional? Humas BDN Jakarta yang
dihubungi TEMPO belum dapat menjelaskan apa-apa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini