INI entah gertak sambal entah ikhlas: memang ada kabar perkebunan negara (PTP) akan memPHK-kan buruh mereka kalau harga minyak sawit kasar (CPO) tetap sekitar Rp 200 per kg di Belawan. Logika dari berita koran Kompas, pekan lalu itu, karena hasil penjualan tidak bisa menutup biaya produksi sembilan perkebunan yang pukul rata di atas Rp 200. Belakangan, kabar itu dibantah. Bahkan muncul berita kontroversial: PTP IV malah akan menambah 200 tamatan STM untuk pabriknya di Tor Gamba. Benarkah biaya produksi mereka tinggi? Menurut sebuah sumber, beberapa PTP di Sumatera Utara sebenarnya ada yang bisa menghasilkan CPO setiap kg dengan biaya hanya Rp 152. Jika suatu saat harga ekspor minyak sawit itu turun lagi hingga Rp 190 (sekalipun dua tahun lalu pernah Rp 1.000), penerimaan kotor perkebunan tinggal Rp 157 - sesudah dikurangl biaya operasional Rp 33 untuk biaya veem, komisi APBP (0,5%) Rp 0,90, ongkos angkut, provisi bank, dan lain-lain. Nah, kalau harga pokoknya lebih kecil daripada pendapatan kotor itu, "Maka, PTP tadi masih bisa untung tipis," katanya. Tapi bagi PTP, yang baru mulai panenpertama harga pokoknya bisa Rp 170 - jelas bakal rugi. Ada saran supaya perkebunan bisa memperoleh pendapatan lebih bagus, mereka memasarkan sendiri CPO-nya ke Eropa Barat, tidak lewat APBP maupun Indoham yang memungut komisi. Ketua APBP, Nukman Nasution, tentu saja mengganjal anjuran itu. "Itu tidak mungkin, sebab APBP dan Indoham itu pemegang sahamnya 100% milik 19 PTP," katanya. "Pembentukan kedua badan itu dilakukan untuk mencegah terjadinya persaingan di antara kami." Selain mendapat tugas memasarkan CPO di Jerman Barat, Indoham juga bertanggung awab memasarkan kopi, tembakau, maupun cokelat. "Keuntungannya tidak besar karena dikontrol pemerintah. Kalau untungnya besar, yang untung 'kan pemerintah Jerman Barat yang memungut pajaknya," kata sebuah sumber. Sementara itu, ada juga pihak yang menganjurkan agar perkebunan mau menaikkan efisiensi mereka supaya bisa menekan biaya produksi. Menurut Laporan Bank Dunia, Mei lalu, akibat ketidakefisienan dalam pengelolaan di perkebunan karet dan kelapa sawit, negara kehilangan devisa sekitar US$ 350 juta setahunnya - hampir sama dengan sepertiga penghasilan seluruh ekspor kedua komoditi itu tahun lalu. Kehilangan paling besar terjadi dalam proses pengolahan kelapa sawit menjadi CPO. Tingkat ekstraksi minyak kelapa sawit di sini pukul rata hanya 20% atau 10% di bawah normal. Untuk menghasilkan minyak inti kelapa sawit, ekstraksinya malah 55% di bawah normal. "Sangat mendesak untuk mengambil tindakan guna mengatasi problem ini," tulis Bank Dunia. Usaha memperbaiki pengolahan itu, tampaknya, berkaitan erat dengan kualitas mesin yang dipakai. . . buatan lokal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini