Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CARA Singapura mendekati kerunyaman ekonomi dunia ialah dengan meminta pengorbanan rakyatnya: jangan minta naik gaji. Tapi, di balik "kampanye prihatin", ada usaha besar yang tengah dilakukan pemerintah, yaitu berusaha menggantikan peranan Hong Kong sebagai pangkalan perusahaan transnasional (TNC) di kawasan Asia Tenggara. Peluang bagus mulai dilihat sesudah banyak perusahaan besar merasa masih ragu untuk tetap nongkrong di Hong Kong jika, 1997 nanti, RRC jadi mengambil kembali koloni itu setelah masa sewa Inggris berakhir. Suasana berusaha di negeri itu jadi terasa tak nyaman ketika, mulai Maret 1984, tarif Pajak Perseroan (PPs) dinaikkan dari 17% ke 18.5%. Banyak perusahaan raksasa, seperti Jardine Matheson and Co., kemudian memindahkan induk perusahaan mereka ke Bermuda untuk menghindari tingginya pajak itu. Nah, dalam upaya menJaring agar induk perusahaan dan kantor regional TNC tidak diboyong ke negeri jauh, pekan lalu, pemerintah Singapura datang dengan tawaran menarik. Kalau mereka mau membuka kantor pusat operasional (regional) di sana, maka PPs atas laba operasi mereka ditetapkan hanya 10%. Tarif ini jelas bersaing dibandingkan dengan PPs normal yang mencapai 33%. Undangan menggiurkan itu diumumkan Brigjen (cadangan) Lee Hsien Loong, Penjabat Menteri Perdagangan dan Industri, dalam jamuan makan siang Kamar Dagang dan Industri Singapura. Tapi, kata Lee, potongan pajak itu bukan dimaksudkan menjadikan Singapura sebagai surga semacam di Cayman Island dan Netherlands Antilles - tempat banyak TNC hanya mencantumkan alamat induk perusahaan dan kantor pusatnya saja, seperti alamat kotak pos. Sebaliknya, yang diinginkan, agar mereka menjadikan negeri itu sebagai kantor untuk menyelenggarakan semua jasa kepada anak perusahaan maupun perusahaan patungan mereka - baik di situ maupun di negara lain. Jenis jasa yang bisa dilakukan meliputi penyelenggaraan administrasi, koordinasi dan perencanaan bisnis, pengembangan personel, sumber bahan baku dan produksi, dukungan pelayanan teknis, pemasaran, promosi, pengembangan produk, pengelolaan dana, dan litbang. Banyak tenaga terampil Singapura akan terserap ke situ jika, kelak, berbagai perusahaan raksasa mau memindahkan kantor pusat operasional mereka ke sana - menyusul Cerebos. Ruang-ruang perkantoran yang sekarang kosong, juga bakal terisi. Dari pemakaian jasa infrastruktur, seperti telekomunikasi dan listrik, Singapura juga akan memperoleh banyak uang. Pendeknya, kehadiran perusahaan raksasa itu memang diperlukan untuk menciptakan lapangan kerja baru, menaikkan tingkat pemakaian ruang perkantoran, dan segala macam jasa lainnya. Salah satu cara untuk menarik pemodal besar adalah menurunkan biaya berusaha. Yang populer ditempuh: menurunkan tarif pajak - selain memotong panjangnya jalur birokrasi. Sampai di awal 1986 lalu, tarif PPs di Singapura masih 40%, padahal di Indonesia sejak 1984 Pajak Penghasilan (PPh) Badan Usaha paling tinggi hanya 35%. Lalu Taiwan dikabarkan akan menurunkan PPs dari 30% ke 25%. Juga Korea Selatan ke 30%. Perkembangan di negara-negara saingan itu jelas merisaukan. Karena itu, Komite Ekonomi, yang diketuai Brigjen Lee, meminta kepada pemerintah agar menurunkan PPs dari 40% ke 30% untuk menaikkan daya saing Singapura. "Pengurangan tarif pajak juga akan memperbaiki tingkat pengembalian modal mereka," tulis Komite. Selain tentu, "Merupakan langkah penting untuk memulihkan kepercayaan pengusaha dalam melewati masa resesi." Sesudah beberapa kali berunding, akhirnya PPs diturunkan jadi 33%. Yang tidak diterima adalah usul Komite yang menyarankan agar pendapatan perusahaan transnasional yang beroperasi dari Singapura dibebaskan dari pajak, jika memperoleh penghasilan dari operasinya di luar negeri. Yang kemudian bisa diterima adalah, pemerintah hanya akan memberikan keringanan pajak terhadap pendapatan dari usaha di luar negeri. Usul lain dari Komite, yang masih dipelajari, adalah agar terhadap hasil ekspor jasa-jasa hanya dikenakan pajak 10% saja. Sampai di situ, langkah pemerintah Singapura tadi jelas bisa dianggap sudah lebih maju dibandingkan dengan terobosan UU PPh 1984 Indonesia ditambah Paket 6 Mei sekaligus. Cara-cara berani seperti itu memang sudah layak ditawarkan Singapura, yang sudah memiliki banyak tenaga terampil, birokrasi bersih, infrastruktur bagus, dan stabilitas politik yang mantap dan dewasa. Hanya dengan tuduhan tindakan itu, sesudah pertumbuhan ekonominya tahun lalu menciut 1,8% dan tahun ini diduga masih akan minus 1,5%, Singapura berusaha lolos dari lubang resesi. Tapi, seperti diakui Brigjen Lee kepada TEMPO, belum lama ini, "Tahun-tahun sebelumnya pertumbuhan ekonomi kami bisa mencapai 9% setahun tapi tahun depan tumbuh 5% saja sudah baik." Karena itu, rakyat Singapura diminta berkorban: tidak minta kenaikan gaji selama dua tahun. Bukan itu saja. Mereka juga perlu bekerja lebih keras. Mungkin sekarang ini era bersaing tenaga terampil. E.H.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo