BANK yang dikenal pemberi kredit terbesar untuk masyarakat pedesaan, ternyata, tak ingin kalah menonjolkan diri di Jakarta. Bertepatan dengan ulang tahunnya ke-90, Senin pekan ini, BRI (Bank Rakyat Indonesia) menempati gedung barunya di Jalan Sudirman. Markasnya itu berada di daerah bisnis perusahaan-perusahaan besar di sekitar jalan protokol. BRI, dewasa ini, adalah bank pemberi kredit terbesar. Sampai 30 September lalu, sudah Rp 4,4 trilyun pinjaman yang diberikannya. Sebagian besar (Rp 3,2 trilyun) merupakan dana murah dari Bank Indonesia. Tapi ternyata kredit yang disalurkannya untuk sektor pedesaan, sudah termasuk nasabah terbesar Bulog, hanya 50%. Menurut direktur utamanya, Kamardy Arief, kredit sektor pertanian dan pedesaan berjumlah Rp 2,2 trilyun. Sisanya disebar ke berbagai sektor, seperti perhotelan (termasuk Sahid Jaya, yang tak jauh dari markas baru BRI), perkayuan, dan pertekstilan - yang terakhir itu dewasa ini merupakan bisnis merugi. Kamardy, bekas direksi bank sentral itu, tak ingin membiarkan banknya hanya sebagai "kasir" bank sentral. Sejak deregulasi perbankan, Juni 1983, BRI telah berusaha mencari dana lebih banyak dari masyarakat pedesaan, antara lain dengan Simpedes (simpanan pedesaan) dan tabungan. Tabungan yang dikumpulkan unit-unit BRI di desa kini sudah mencapai Rp 70 milyar lebih, sedangkan tahun 1983 baru sekitar Rp 20 milyar. Kini bank itu pun telah memperluas usaha dengan membuka lembaga keuangan nonbank (LKNB) dan perusahaan leasing. LKNB-nya, PT Inter Pacific, merupakan patungan dengan Sanwa Bank, Jepang, dan Credit Comersil de France, dengan saham terbesar (55%) milik BRI. Kini, sedang dijajaki pembukaan cabang di luar negeri, untuk kepentingan bisnisnya di sektor devisa. BRI, menurut Kamardy Arief, bagaikan uang bersisi dua. Semula, bank yang lahir Desember 1895 dengan nama De Poerwokertosche Hulpen Spaarbank ler Inlandsche Hoofden itu memang dikenal sebagai bank para priayi. Lalu, setelah merdeka, diberi tugas melayani nasabah pedesaan, terutama sejak dilancarkannya program perbaikan ekonomi pedesaan mulai Pelita I. Bank ini mulai kebanjiran dana dari BI sejak dimulainya program intensi-fikasi produksi pangan, 1970. Ia dibebani penyaluran kredit yang kian membesar dari musim ke musim, sesuai dengan perluasan areal yang ditargetkan pemerintah. Sejalan dengan itu, BRI lalu membuka unit-unit desa, yang kini berjumlah 3.000-an. BRI Unit Desa harus meliput areal 600 -1.000 ha di Jawa, sedangkan di luar Jawa liputan satu unit sampai 2.000 ha. Semula diperhitungkan, tiap unit bisa mandiri, bila mampu menyalurkan kredit dua kali setahun, dengan pengembalian pinjaman di atas 95%. Ternyata, menurut Kamardy, tingkat pengembalian kredit mulai merosot sejak 1975, sehingga banyak unit BRI merugi dan perlu disubsidi. Ada pula unit yang dibentuk hanya untuk melayani program tiga bulan, sehingga petugas untuk itu tak punya kerja. Merekalah yang diduga penyebab kisah-kisah buruk BRI. Penyakit yang timbul di BRI Unit Desa itu, menurut Kamardy, sempat menular ke BRI cabang. "Misalnya, malas melakukan evaluasi," ceritanya. Padahal kendati dana itu dari BI, risiko 25% adalah beban BRI. Tak heran bila BRI banyak rugi dalam melancarkan kredit masal dari pemerintah. Kredit Bimas, misalnya, rata-rata per tahun disalurkan Rp 61,5 milyar. Ada lagi kredit TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi), PIR (Perkebunan Inti Rakyat), perikanan (Keppres 39), peternakan ayam (Keppres 50), dan kredit sapi perah yang dijuluki kredit "parah" karena cukup merugikan. BRI pun penyalur KIK dan KMKP terbesar, Rp 1,8 trilyun, atau 50% dari seluruh dana BI untuk itu dengan nasabah 1,4 juta. Tunggakan begitu besar, sehingga BRI kewalahan. Penagihan terpaksa diserahkan kepada tim yang dibentuk oleh Keppres X dengan Solihin G.P. sebagai ketua, sejak 1981. Dengan mengetatkan seleksi nasabah, BRI kini mulai membaik. Diakui Kamardy, jumlah 31.992 karyawan yang bekerja di unit-unit desa dan 326 kantor-kantornya masih merupakan beban biaya tinggi - paling tinggi di seluruh usaha perbankan. Tahun ini, sampai akhir September, biaya tenaga kerja BRI hampir Rp 100 milyar. Biaya yang disisihkan untuk penyusutan (untuk risiko tunggakan) masih "dipelihara" sebesar Rp 50 milyar. Biaya bunga dan provisi memang merupakan biaya operasi terbesar, yakni 52% dari seluruh biaya yang berjumlah Rp 396 milyar. Sedangkan pendapatan total BRI Rp 439 milyar, sehingga masih ada untung lebih dari Rp 40 milyar. Keuntungan BRI Rp 40 milyar per tahun itu sudah jauh meningkat dibandingkan sebelum 1983, sekitar Rp 3 milyar. Karena itulah, BRI sudah mampu membeli gedung megah berlantai 21, seharga Rp 34 milyar sebagai markasnya. M.W. Laporan Yusroni Henridewanto (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini