TIBA-TIBA pemerintah RRC memerintahkan pembongkaran semua papan reklame yang dipasang di sekitar Lapangan Tienanmen. Para pengusaha Jepang merasa bahwa gerakan itu sebenarnya dilancarkan untuk menghambat pemasaran produk Jepang di RRC. Maklum, 90% dari papan reklame yang ada di sana adalah mengiklankan produk Jepang. Sony, kabarnya, mempunyai papan reklame yang lebarnya 17 meter. Itu terjadi Oktober yang lalu. Dan kejadian itu agaknya merupakan peringatan yang baik bagi Jepang. Awal Desember ini MITI (Kementerian Perdagangan dan Industri Internasional) mengeluarkan imbauan kepada para produsen Jepang agar mengerem nafsu mengiklan di luar negeri. "Iklan mencolok," kata pejabat MITI, "hanya merupakan minyak yang dapat mengobarkan api kebencian. Ini memang imbauan yang paradoksal. Iklan itu, ya, harus mencolok. Kalau tidak, Like a ship passing in the middle of the night, atau susah-susah mengedipkan mata kepada seorang gadis cantik, toh dia tidak melihat karena gelap gulita. Tetapi, imbauan itu jelas bukannya tidak masuk akal. Kalau para pengusaha Jepang tetap nekat beriklan secara gegap gempita, dan dianggap telah melakukan penjajahan terhadap produk dalam negeri, maka bukannya tak mungkin akan diberlakukan tindakan-tindakan yang lebih keras. Philip Kotler menulis: the company that survives is the company that is fine tuned to the environment. Malangnya, lingkungan atau faktor eksternal selalu berubah lebih cepat daripada kemampuan rata-rata sebuah perusahaan untuk melakukan adaptasi dan mengenali perubahan yang sedang terjadi. RRC adalah salah satu contoh perubahan ekosistem bisnis yang drastis. Negeri yang semula selalu tertutup, tiba-tiba saja membuka lebar pintu dan jendelanya. Khekou-khelou alias Coca-Cola segera memenuhi pasar. Sepatu Nike sudah dibuat di sana. Picrre Cardin pun masuk dan memperkenalkan rancangan Prancis-nya yang disambut orang. Jepang, yang hanya "sepelempar batu", tentu saja langsung membanjirkan barang-barang produksinya ke Negeri Cina. Pengusaha-pengusaha Jepang agaknya lupa memperhitungkan jiwa nasionalisme bangsa Cina. Tienanmen tetap merupakan plaza raksasa tempat mereka menyelenggarakan upacara dan peristiwa nasional mereka. Bagaimana perasaan mereka melihat lapangan kebanggaan mereka dikepung papan reklame raksasa produk-produk impor? Para juru potret pun sulit menghindari papan reklame produk Jepang itu masuk ke dalam bingkai foto upacara nasional. Hal-hal semacam itu, padahal, tidak perlu menunggu dilarang. Kalau kita cukup peka, sebenarnya kita cukup pintar untuk menduga apakah tindakan yang kita lakukan itu mengandung adverse consequence. Apalagi kalau konsekuensi itu secara langsung akan mempengaruhi tingkat penjualan. Setiap pemasar tahu bahwa manajemen pemasaran sebenarnya adalah manajemen tingkat kebutuhan. Permintaan konsumen terus dikelola agar produktif terhadap penjualan suatu barang. Keberhasilan orang pemasaran untuk melakukan tugasnya itu sepenuhnya bergantung pada seberapa dalam mereka mengenali komponen-komponen utama pemasaran, ciri-ciri pengoperasian, hubungan-hubungan dan pengaruh-pengaruh luar yang membentuk sistem pemasaran. Perubahan ekosistem bisnis dan faktor-faktor eksternal lain adalah sesuatu yang sering kali terjadi di luar kendali sebuah perusahaan. Tetapi, karena dampaknya yang selalu besar dan tibanya pun selalu mendadak, setiap perusahaan harus selalu dan terus-menerus menganalisa ancaman-ancaman yang dapat dan mungkin terjadi terhadap bisnis. Pada dasarnya, hal itu bertolak pada pemikiran: what can happen, will happen. Kegiatan ini terdiri atas tiga langkah pokok: mengidentifikasikan, menilai, dan menentukan langkah reaksi terhadap ancaman yang diperkirakan akan terjadi. Jangan heran bila untuk menganalisa ancaman ini perusahaan mempunyai staf inteligen atau staf lobi sendiri. Bagian "Humas" dan government relations sering kali merupakan sumber utama. Tetapi, pokoknya, harus diciptakan suatu mekanisme untuk menggalakkan arus informasi yang lancar dari setiap sudut organogram. Sering kali informasi penting tertahan di tengah jalan karena dianggap tidak penting bagi mereka yang kurang peka untuk melihat adanya ancaman di balik informasi sepele itu. Menilai suatu ancaman pada dasarnya adalah melakukan "ramalan" terhadap karakter dan percepatan perkembangan serta kecenderungan. Ada asumsi teknis, politis, sosial, maupun budaya yang terlibat. Dan semuanya itu merupakan ilmu yang tidak mudah bagi seorang pemasar untuk dapat berhasil. Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini