Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mario Puzo tidak gemar menanam cabai dan tomat. Ia tidak menyiangi tanaman bawang merah, setiap akhir pekan, dalam baju kebun cokelat tua dan topi fedora usang berwarna abu-abu. Don Vito Corleone, tokoh ciptaannya dalam The Godfather, gemar berkebun pada hari tua. Tapi Puzo justru memiliki kesenangan yang selalu dihindari Don Vito: berjudi. "Perjudian" terakhir Puzo adalah melawan jantungnya sendiri. Ia kalah. Di rumahnya di Long Island, New York, Jumat pekan lalu, jantungnya berhenti berdetak setelah sekian lama menanggung kegagalan.
Ibarat para don, Mario Puzo tidak pergi begitu saja. Ia masih menyelesaikan peninggalan terakhir sebelum pergi: Omerta.
Mario Puzo adalah novelis keturunan Italia. Ia lahir di New York City, pada 1920. Di Hell's Kitchen, sebuah kampung Italia di Manhattan West Side, ia tumbuh di tengah ingar-bingar kehidupan imigran Italia. Di sinilah Puzo remaja mulai membangun jendela imajinasinya.
Sembari bekerja sebagai pengantar pesan di New York Central Railroad dan belajar di New York City College, Puzo merekam berbagai sketsa kehidupan Hell's Kitchen. Maka, jadilah novel The Immigrant Experience (1971). Dua novelnya yang terbit sebelumnya adalah Dark Arena (1955) dan The Fortunate Pilgrim (1965).
Namun, nama Mario Puzo melambung di masyarakat pembaca Amerikadan duniasetelah ia menulis The Godfather (I dan II), yang kemudian difilmkan oleh sutradara Francis Ford Coppola dengan sukses.
Inilah kisah tentang Don Vito Corleone, godfather sebuah keluarga mafia terpandang di New York. Vito kemudian digantikan putranya, Michael, lulusan universitas, yang semula tampak lurus, dingin, dan sama sekali tak berkeinginan menyentuh "kehidupan hitam" ayahnya. Ia sadar, kekuasaan keluarga Corleone bagaikan gurita yang mengontrol bisnis, kekuatan, dan jaringan kriminal. Tetapi, nyatanya, setelah ia menjadi don berikutnya, Michael Corleone menjadi pembunuh berdarah dingin yang paling mengerikan. Yang menarik dalam serangkaian novel The Godfather itu adalah kontradiksi kehidupan mafia. Puzo menggambarkan kekerasan, kejahatan (juga seks di sana-sini) sebagai sebuah eksotisme; sebuah glory, sebuah tafsiran kemegahan kekejaman mafia kelas atas, yang entah mengapa menjadi daya tarik bagi pembaca (dan penonton).
Tentu saja keberhasilan ini bukan hanya disebabkan oleh glorifikasi kekejaman mafia. Unsur sejarah dan perubahan sosial budaya dalam film ini juga berhasil menyatu dan tak terkesan menjadi tempelan dalam cerita novel yang sudah terjual 21 juta eksemplar sejak terbitnya itu (1969).
Bangunan karakter para tokohnya juga cukup kuat. Masuknya tokoh Kay Adams, istri Don Michael yang berasal dari keluarga konservatif New England, misalnya, membuat banyak anggota keluarga Corleone tercengang. Namun, tidak Don Vito. Bagi Puzo, seorang don menjadi besar bukan hanya tangguh dalam urusan bunuh-membunuh dan bisnis. Tapi, seorang don juga harus bijaksana menerima berbagai napas zaman (termasuk menerima menantu yang bukan keturunan Italia). Sekalipun sikap "demokratis"-nya itu dapat menyentakkan nilai-nilai primordialnya: seks terbuka, menantu yang "terlalu Amerika", dan belajar di universitas sebelum "praktek di keluarga".
Urusan permafiaan ini diteruskan Puzo dalam The Sicilian (1984) dan The Last Don (1996). Tapi, tidak semua karya mafia itu sukses di pasar. Puzo, menemukan puncak kreativitasnya dalam The Godfather. Setelah itu? Boleh dibilang mengalami antiklimaks.
The Godfather III, yang diciptakan karena sukses The Godfather I dan The Godfather II, misalnya, adalah sebuah mubazir.
Untung, Puzo tak berhenti pada penulisan "novel mafia". Bersama Francis Coppola, ia juga menulis skenario film Superman (1978), The Cotton Club (1984), dan Christopher Columbus: The Discovery (1992).
Sukses dalam karir membawa kemakmuran ekonomi pada Puzo. Bersama istrinya, ia mendiami sebuah rumah besar yang indah di Bay Shore, Long Island, New York. Kelima anaknya mengurus bisnis penerbitan sang ayah selama 20 tahun terakhir. Sementara itu, Mario Puzo, si pencipta para don itu, menikmati hari tua dengan asyik: mondar-mandir antara dua rumah, Long Island dan Los Angeles. Ia memasak, bermain tenis, dan terbang ke Las Vegas untuk berjudi.
Seperti umumnya orang-orang dari daerah mediteranian, Puzo adalah sosok yang terbuka, hangat, dan pandai mengolok-olok dirinya sendiri. Ia memang "ahli karakter". Karakter-karakter dalam novelnya dengan tenang bisa memorak-porandakan nilai-nilai normal dalam masyarakat. Tokoh khayalannya, yang naik limusin dan mengenakan setelan jas nomor wahid, sesungguhnya tak lebih dari para don yang punya tangan berlumuran darah: pembunuh, pemeras, pedagang obat bius. Namun pembaca tergila-gila pada "kharisma" tokoh-tokoh itu. Pembaca juga tergila-gila pada Mario Puzo, yang menutup mata pekan silam. Arrivederci, Don Mario.
Hermien Y. Kleden
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo