Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Wajib Tanam Disebut Gagal, Ombudsman Minta Evaluasi Kebijakan Impor Bawang Putih

Ombudsman RI menilai wajib tanam di Kebijakan impor bawang putih gagal meningkatkan produksi dalam negeri.

16 Januari 2024 | 16.43 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aktivitas bongkar muat bawang putih di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, Kamis 19 Oktober 2023. Adapun kebutuhan bawang putih secara nasional masih harus dipenuhi dari luar mengingat produksi dalam negeri belum mencukupi kebutuhan. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ombudsman Republik Indonesia menilai kebijakan wajib tanam dalam impor bawang putih gagal mencapai tujuannya. Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menyebut, kebijakan ini tak mampu menggenjot produksi bawang putih di dalam negeri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selama ini para importir bawang putih yang telah mengantongi Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dari Kementerian Pertanian wajib menanam bawang putih sebesar 5 persen dari kuota RIPH. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan produksi bawang putih dalam negeri. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik, produksi bawang putih mengalami tren penurunan dari 2018 hingga 2022. Pada 2022, kata Yeka, produksi bawang putih dalam negeri hanya 30.194 ton. Angka ini menurun dari produksi tahun sebelumnya yaitu 45.092 ton. 

"Kalau gagal, evaluasi dong di mana letak kegagalannya. Ini salah satu bukti dari wajib tanam yang gagal," kata Yeka di Kantor Ombudsman, Jakarta Selatan, pada Selasa, 16 Januari 2024. 

Yeka juga menyoroti dasar perhitungan volume wajib tanam bawang putih sebesar lima persen dari kuota. Ia menyebut, perhitungan itu didasarkan pada RIPH. Padahal, kata Yeka harusnya dasar perhitungan itu ditetapkan berdasarkan Surat Persetujuan Impor (SPI).

Menurut Yeka, RIPH itu baru rencana. Karena belum tentu Kementerian Perdagangan memberikan izin impor sesuai RIPH yang diterima.

"Masa kewajiban didasarkan pada rencana? Kewajiban itu harus didasarkan pada realisasi mestinya. Nah ini juga persoalan dari wajib tanam yang nanti kami akan Perdalam," ujarnya.

Yeka mengusulkan kebijakan wajib tanam dapat diganti dengan bantuan kepada petani seperti program Corporate Social Responsibility atau CSR yang biasa dilakukan perusahaan. Bantuan itu bisa berupa pupuk setara lima persen dari kuota.  

"Lima persen kalau dirupiahkan berapa nilainya. Ya, sudah perusahaan buat CSR nanti pemerintah tinggal mengawasi. Kepada siapa? Kepada petani hortikultura," katanya. 

Selain pemberian pupuk, Yeka juga mengusulkan agar importir bawang putih dapat memberikan dana kepada lembaga riset dan perguruan tinggi untuk melakukan riset pengembangan budidaya bawang putih. Menurut Yeka, produktivitas bawang putih yang bagus di luar negeri merupakan hasil kerja riset puluhan tahun.

"Kalau importir bawang putih memberikan Rp 1,4 miliar ke perguruan tinggi untuk melakukan penelitian, saya yakin 2 sampai 3 tahun ke depan kita punya bibit bawang putih yang bagus," kata Yeka. 

Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika sebelumnya menerima laporan pelaku usaha mengenai adanya pungutan liar atau pungli dalam proses penerbitan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) bawang putih dan persetujuan impor. Dugaan pungutan ini sebelumnya juga sudah ditulis oleh Majalah Tempo edisi 29 Oktober 2023.  Dugaan pungutan ini ditengarai jadi salah satu pemicu utama harga bawang putih tetap mahal. 

Yohanes Maharso Joharsoyo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus