Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI masa banyak perusahaan kini melakukan konsolidasi, Bank Nasional malah berani mengembangkan sayapnya. Lembaga keuangan ini pekan lalu meresmikan cabangnya di Jakarta. Jusuf Suit, direktur utama bank itu, rupanya masih melihat cukup kesempatan berusaha mengingat sekitar 46% dari seluruh volume perkreditan diserap Jakarta. "Kalau kami kebagian satu persen saja, sudah lumayan," katanya. Sikap optimistis itu, memang, jadi bekal utamanya masuk ke Jakarta. Sebagai bank tertua - didirikan 1930 oleh 10 saudagar di Bukittinggi -bank ini boleh dibilang sudah terbiasa hidup di bawah gencetan perubahan ekonomi dan politik. Daya tahan Bank Nasional menghadapi pukulan ini tampaknya cukup mengesankan gubernur Bank Indonesia Arifin Siregar, yang meresmikan pembukaan kantor cabang itu. "Mereka bisa bertahan hingga kini, dan bahkan mengembangkan sayap," katanya. Tujuh cabang sudah dibukanya, lima di antaranya berada di Sumatera Barat. Bank Nasional memang besar di sana, serta cukup populer di kalangan pengusaha menengah dan bawah - para pengecer. Kekayaannya per Desember 1984 tercatat Rp 17 milyar lebih. Kecil, tentu, untuk ukuran bank Jakarta. Sebagian besar dananya berasal dari deposito. Jadi, komposisinya kira-kira: satu bagian dana giro lawan tiga bagian dana deposito. Besar-nya dana mahal (deposito) itu jelas menyebabkan suku bunga pinjamannya tinggi. "Kami tetapkan 30% ," ujar Jusuf. Di Sumatera Barat, harga kredit setinggi itu masih bisa dengan mudah dipasarkan karena saingan kurang, di samping rasa memillki bank itu cukup tebal di sana. Tapi diJakarta, ketatnya persaingan menyebabkan direksi bank itu berpikir untuk memberikan kredit dengan suku bunga antara 26% dan 30% dengan maksimum kredit Rp 400 juta sampai Rp 500 juta. Lalu dari mana dananya? Menurut Jusuf, bekas-bekas nasabahnya yang sudah berhasil berusaha di Jakarta sudah bermunculan untuk berpartisipasi membuka rekening di situ. "Jadi, kami tidak terlalu khawatir," katanya. NASABAHNYA akan dicari dari kalangan pengusaha menengah ke atas agar cepat mencapai titik impas. "Jika kami bisa mencapai perputaran kredit Rp 6 milyar, dua tahun sudah bisa mencapai titik impas," ujar Hasdan Den Has, direktur Bank Nasional. Pemasaran kredit tentu harus dilakukan secara aktif - tidak bisa menunggu sambil ongkang-ongkang seperti di Sumatera Barat. Sebab, hampir setiap pengusaha di sini sudah jadi pelanggan bank tertentu. Kampanye memperkenalkan diri akan dilakukannya dari pintu ke pintu. Di Jakarta, Bank Nasional tampaknya berkeinginan mengubah posisinya dari bank untuk para pengecer (retailer banking) menjadi bank untuk para agen, distributor, atau pabrikan (wholesaler banking). Bantuan teknis diterimanya dari Bank Duta, salah satu bank swasta nasional terkemuka. Menurut Abdulgani, direktur utama Bank Duta, "Bukan tidak mungkin hubungan itu ditingkatkan jadi kerja sama di bidang pendanaan." Siapa tahu suatu saat Bank Nasional bahkan bisa diresmikan sebagai bank devisa. Usahanya menyalurkan KIK, KMKP, KMK, dan menerbitkan bank garansi tentu mendapat penilaian dari bank sentral. Memang, dibandingkan dengan bank yang sebaya, yang beberapa di antaranya sudah menjadi bank devisa, Bank Nasional bisa dianggap lamban perkembangannya. Beberapa kali bank ini mengalami pukulan hebat hingga pernah pada 1947 sampai 1950, aktivitasnya berhenti. Anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya dibuatkan Bung Hatta pada Mei 1934. Dengan anjuran Muhammad Yamin enam tahun kemudian statusnya diubah jadi NV, bukan sekadar semacam koperasi simpan-pinjam. Pemegang sahamnya 3.139 orang, dengan nilai saham nominal Rp 5.000, Rp 25.000, dan Rp 50.000. Suara maksimal pemegang saham adalah enam. "Jadi, saya yang duduk sebagai direksi bukan berarti sebagai pemegang saham terbanyak," ujar Hasdan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo