Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAKAIAN menentukan seseorang. Tidak hanya perancang mode yang bilang begitu. Baden Powell, bapak pandu sedunia, juga pernah mengatakan hal itu. Dalam pelajaran tentang deduksi, Baden Powell mencontohkan seorang wanita tua dengan baju bagus yang sedikit longgar, sepatu bagus yang sedikit sempit, tetapi kuku tangannya pendek dan tak dicat. Wanita itu, menurut deduksi Baden Powell, adalah seorang pembantu rumah tangga pada keluarga kaya yang memperoleh lungsuran pakaian majikannya. Dulu, maksudnya beberapa tahun yang lalu, kalau ada orang berbaju safari yang kurang baik potongannya, lantas saja diejek dengan panggilan Pak Lurah. Sekarang, kalau ada orang memakai dasi lebar yang sudah tidak mode, dibilang memakai serbet. Tahun ini orang tidak lagi diharap memakai celana cutbrai, yang lebar di bawah jas yang lidahnya lebar atau kerah baju yang lebar dan runcing ujungnya. Bagi orang yang mempunyai kedudukan, pakaian dan penampilan memang hal yang tak boleh diabaikan. Cara berpakaian, warna pakaian, jenis bahan, semua mempunyai tempatnya sendiri. Seorang teman pernah "nekat" menonton balet di Royal Copenhagen Theatre dengan jas cokelat muda dan celana yang tak sewarna. Padahal peraturan mengharuskan penonton memakai jas hitam dan dasi kupu. Ia memang tak ditolak masuk. Ia hanya menjadi "atraksi" ekstra. Pejabat tinggi pun tak luput dari "kecelakaan" serupa ini. Baru-baru ini ada upacara yang dihadiri oleh beberapa menteri. Semua menteri hadir dengan jas warna gelap. Kecuali seorang, yang memakai jas warna muda dan baju warna gelap. Dalam hal seperti ini ajudan bisa jadi sasaran omelan. Kalau kita tak punya ajudan, nah, siapa yang disalahkan ? Di Jepang ada sebuah rumah busana memajang gambar para kepala negara yang hadir pada summit meeting di Bonn belum lama ini. Semua kepala negara memakai jas biru gelap, hanya Yasuhiro Nakasone yang memakai jas abu-abu tua. "Jangan ulangi kesalahan Nakasone," tulis keterangan di bawah gambar itu. Warna dasi pun bisa bikin setori. Biasanya orang memilih dasi yang berwarna biru atau merah hati. Sekarang di New York sedang timbul mode memakai dasi warna kuning. Dua puluh lima persen dasi yang terjual di toko kini berwarna kuning. Dasi warna biru yang terjual hanya 1%. "Mereka yang memakai dasi warna kuning artinya sudah sampai pada kedudukan tempat tak ada lagi orang yang menegur caranya berpakaian," kata orang eksekutif. Karena itu, makin banyak orang memakai dasi kuning untuk memberi tahu dunia bahwa kedudukannya sudah tak tergoyahkan. Di Jepang, toko-toko pakaian selalu panen pada musim penerimaan pegawai, Di sana memang ada musim penerimaan pegawai. Ketika masa pendidikan tinggi usai, para lulusan pun turun ke jalan untuk mencari pekerjaan. Dan di Jepang mencari pekerjaan memang mirip mencari pasangan untuk menikah. Sekali untuk selamanya. Kumiko Itoh, misalnya, seperti dilaporkan Asian Wall Street Journal minggu lalu, mengeluarkan setengah juta rupiah lebih untuk membeli dua setel pakaian yang akan dipakainya untuk melamar pekerjaan. "Untuk melamar pekerjaan di perusahaan dagang, saya akan memakai rok dan jas abu-abu tua. Soalnya, perusahaan dagang adalah perusahaan yang lebih tradisional dibanding dengan perusahaan asing," kata Kumiko. "Untuk perusahaan asing saya akan memakai rok hitam dan jas putih dari tweed." Bagi kaum pria Jepang yang melamar pekerjaan, setelan jas biru tua adalah yang paling aman. "Dulu yang namanya jas itu hanya bisa biru," kata seorang pencari kerja. "Tetapi, sekarang, kalau seseorang ingin menonjolkan karakter pribadinya, setelan jas abu-abu tua boleh dipakai." Yang jelas, tak ada pelamar kerja di Jepang yang berani mengambil risiko untuk hadir dalam wawancara dengan jas cokelat. Ini memang aneh. Para manajer personalia yang menentukan diterima atau tidaknya seorang calon pun agaknya punya prasangka terhadap warna yang nonbiru. "Kalau ada yang pakaiannya aneh, kami biasanya mengajukan beberapa pertanyaan khusus untuk menguji apakah calon itu suka aksi-aksian atau memang ia berbeda dengan segi yang positif," kata seorang pewawancara. You are what you wear. Kalau Anda memakai baju batik dan kemudian mengenakan dasi, nah, jangan marah kalau dibilang norak. Kalau dalam undangan disebut lounge suit, janganlah berani-beranian memakai jas dan celana yang tak sewarna. Dalam hal berpakaian, janganlah meniru orang Amerika, yang dengan tenang memakai celana kotak-kotak merah dan hijau. Jangan pula terlalu genit kalau tak mau dijuluki burung merak. Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo