SEMINAR, kongres, lokakarya, dan diskusi kini sedang laris. Yang dibahas macam-macam: kesehatan, ekonomi, bisnis, sampai utang luar negeri. Itu semua tentu membutuhkan tempat yang layak dan nyaman, apalagi orang-orang yang terlibat dalam kegiatan itu memang terbiasa dengan suasana kelas satu. Medan tak mau ketinggalan, kini menyediakan sebuah tempat pertemuan mewah berlantai tiga: Tiara Convention Center, yang akan diresmikan oleh Menko Ekuin dan Menparpostel, Sabtu pekan ini. Tapi apakah sudah waktunya Medan punya fasilitas yang begitu wah, padahal selama ini berbagai seminar masih bisa diselenggarakan di hotel-hotel? Apalagi model tempat konvensi khusus seperti itu masih langka. Di Indonesia baru ada dua: Balai Sidang Senayan, Jakarta, dan Tiara Medan itu. Dibangun dalam gaya arsitektur kontemporer, Tiara dilengkapi dengan fasilitas komunikasi yang biasa dibutuhkan oleh eksekutif dan bisnis, seperti teleks, word processor, facsimile, dan alat-alat untuk presentasi -- proyektor, video, dan sound system. Kapasitasnya pun lumayan. Dengan luas 10 ribu m2, Tiara bisa menampung 2.000 peserta kongres. Pendek kata, pertemuan apa pun bisa diselenggarakan di sini. Hanya saja, karena lokasinya di Medan, apakah Tiara bisa menyedot laba? Sebab, biasanya orang lebih suka mengadakan pertemuan di Bali atau di tempat-tempat dengan obyek wisata yang menarik. Atau, pengusaha yang sering membawa istrinya dalam acara-acara seperti itu cenderung memilih tempat-tempat yang memiliki sarana pertokoan yang lengkap, seperti Singapura (45 menit penerbangan dari Jakarta). Hal seperti itu bukannya tidak disadari oleh PT Tahta Medan (perusahaan pemilik Tiara yang didirikan oleh Yayasan Bank Ekspor Impor Indonesia) maupun oleh Griya Wisata (perusahaan pengelola). Sani Soemakno, Wapres Griya Wisata, menyatakan bahwa tempat konvensi dibangun di Medan karena di sana Grup Tiara sudah memiliki sebuah hotel berbintang empat. Dan itu merupakan salah satu fasilitas yang dibutuhkan oleh peserta konvensi. Soal lokasinya yang terjepit, "Itu bukan masalah, sebab Medan pun cukup dekat dengan obyek wisata," ujar Sani. Di samping itu, tarif yang ditawarkan pun bisa bersaing. Untuk pameran di Jakarta -- tanpa menyebutkan nama tempat -- tarif yang dipasang adalah Rp 1,5 sampai Rp 2 juta per 6 am. Sedangkan di Tiara hanya Rp 1 juta. Hanya, Sani menyayangkan, di Medan masih ada beberapa fasilitas yang kurang memadai. Aliran listrik yang sering byar-pet misalnya. Kendati demikian, Tiara memiliki diesel pembangkit, tapi kapasitasnya cuma 125 kilowatt, sementara daya yang dibutuhkan sekitar 250 kilowatt. Kenapa memilih diesel kecil? "Habis, hanya kapasitas itu yang dijinkan oleh PLN," ujarnya. Selain listrik, sarana angkutan dan tempat menginap yang "layak untuk eksekutif" pun akan menjadi masalah. Katakanlah, Tiara dapat order konperensi untuk 1.500 orang, misalnya, persoalan akan muncul. Karena hotel berbintang di Medan total hanya berkapasitas 1.200 orang. Begitu pula bis ber-AC tidak akan mampu mengangkut penumpang eksekutif sejumlah itu sekaligus. Di Medan memang ada taksi, "Tapi itu pun masih tidak memadai, karena tanpa argometer," ujar Sani. Walau baru diresmikan, Tiara yang merupakan salah satu dari rencana pemerintah untuk membangun tiga tempat konvensi satu lagi direncanakan di Bali, yang akan dikelola oleh Garuda Indonesia -- toh sudah mulai diminati pengusaha. Kendati baru dari dalam negeri, Tiara sudah mendapat pesanan dari Caltex dan dua acara perkawinan. Itulah sebabnya, Sani yakin, investasi Rp 10 milyar yang ditanamkan di sana akan bisa kembali dalam 10 tahun. B.K. dan Moebanoe Moera
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini