MENYAKSIKAN demonstrasi menggambar karikatur atau kartun,
ternyata tidak sama dengan menikmati barangnya sendiri. Sekitar
300 remaja menyempatkan diri melihat demonstrasi Surjono alias,
Si Jon -- ilustrator majalah Gadis -- menggambar karikatur di
Aldiron Plaza lantai III, Jakarta, Rabu pekan lalu. Ini
merupakan rangkaian acara ulang tahun Femina dan Gadis. Dan
petang itu tiga karikatur sempat diselesaikan Si Jon.
Berbeda dengan ketika menikmati Nakalan si Jon (buku kumpulan
kartunnya), sore itu tak ada gelak. Di salah satu sudut,
sebentar-sebentar terdengar lontaran kata-kata -- misalnya
"Gambar sex, Jon!" Memang, menunggu si Jon menyelesaikan gambar
-- tanpa apa-apa selain melihat punggung dan tangan kanannya
yang sibuk -- sungguh menjemukan dan memancing celetukan iseng.
Gambar pertama diselesaikan Si Jon sekitar 5 menit. Gambar tokoh
kartunnya yang selalu muncul di Gadis, lengkap beserta
anjingnya: ini ucapan selamat datang kepada hadirin. Gambar
kedua, potret remaja Jakarta masa kini. Cowok, dengan baju
kedodoran, lengan ceking, menyandang tas besar entah apa isinya,
dan di tangan kanan tergantung rantai yang di ujungnya ada
sebongkah besi bulat. Langsung mendapat reaksi: "Nggak betul
itu, Jon!" teriak sekelompok anak-anak yang mengaku dari sebuah
SMEA di Jakarta. Selesai dengan karikatur itu, Si Jon tampil di
muka corong suara. Dia minta komentar, apakah karikaturnya
tentang remaja sekarang itu tepat.
Si Jon, 27 tahun, memang datang dari keluarga yang menyukai
gambar. Ayahnya, pegawai PN Perkebunan, mempunyai hobi
menggambar. Hanya dari ayahnya dan buku-buku cerita bergambar
dalam maupun luar negeri ia belajar. Dan meski di SMA ia memilih
jurusan pengetahuan alam, waktu itu sudah diputuskannya untuk
hidup dengan bakat mencoretnya. Keluarganya tak menghalangi --
meski kepadanya dianjurkan masuk ASRI di Yogya dulu. "Tapi saya
takut digundul dalam pekan orientasi mahasiswa. Jadi, ya batal,
" katanya.
Karikatur ketiga yang dikerjakan di Aldiron Plaza, memerlukan 4
kertas gambar yang dirangkai. "Sekarang saya hendak
menggambarkan Jakarta kita," katanya. Tak orisinil, meski tetap
menarik. Ada satu antrian anak-anak membeli karcis bioskop yang
sedang memutar film Akibat Pergaulan Bebas. Ada tempat parkir
sebuah gedung SMA yang penuh mobil, dan di banyak mobil
kelihatan senjata api bermunculan.
"Saya menyerap kehidupan remaja lewat Gelanggang Remaja
Bulungan," kata Jon. Di gelanggang remaja yang dikelilingi tiga
SMA dan beberapa sekolah itu Si Jon ikut juga mengasuh kursus
melukis.
Hidung Agak Kebesaran
Si Jon betulan agak berbeda dengan 'Si Jon' -- tokoh karikatur
atau kartunnya yang sampai kini belum punya nama itu. Si Jon
yang betulan mengesankan seorang yang lebih suka diam, dan
agaknya bernasib mujur. Si Jon yang kartun selalu bernasib sial
-- dan biasanya kesialan datang dari lawan jenisnya (mungkin
karena tokoh ini muncul di majalah remaja puteri). Meski model
tokoh itu memang dirinya sendiri: gondrong, berkacamata dengan
hidung -dilihat dari ukuran wajahnya -- agak kebesaran.
Salah satu resep agar gambarnya lucu ialah mengacaukan
sebab-akibat. Dalam kumpulan kartunnya, Nakalan Si Jon, ada
kartun tentang perampok yang hendak menjebak pengendara mobil,
dengan menggambar terowongan pada tembok yang utuh. Dengan
harapan mobil akan terbentur -- kemudian aksi dilakukan. Tetapi
ternyata mobil lewat -- terowongan gambar itu menjadi terowongan
betulan.
Dalam pamerannya itu juga ada satu cerita bergambar tentang
perkawinan Arjuna dengan Sumbadra. Tentu saja dibuat lucu. "Saya
dibantu Mas Muharyo. Dia yang membuat skenarionya, dengan
beberapa catatan mana yang bisa dibuat lucu," katanya. Muharyo,
salah seorang redaksi Gadis, dulu mengasuh majalah humor Kampret
-- tahun 50-an.
Dalam cergam itu ada Sumbadra yang dibonceng motor oleh Samba
(kemenakannya) untuk menjenguk Arjuna di Puskesmas Madukoro. Dan
gamelan Lokananta yang bisa berbunyi sendiri, ternyata kaset
keluaran Lokananta - perusahaan piringan hitam di Surakarta.
Di antara kartunis atau karikaturis kita, Si Jon termasuk
sedikit orang yang pandai memanfaatkan gambar. Katakata bila
perlu saja digunakan. Jadi bukan gambar sekedar penghias
kata-kata. Di situlah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini