Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Yang Kebetulan Dan Yang Dikejar

Ultah Tempo ke-15 mengadakan pameran fotografi jurnalistik Indonesia di Pasar Seni Ancol. 150 foto di pamerkan dari karya bbp fotografer ibu kota, foto historis dari Ipphos, kiriman para pembaca, dll.(md)

5 April 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FOTO jurnalistik tidak banyak dihasilkan oleh unsur kebetulan. Lebih-lebih foto berita yang terikat waktu, yang kebanyakan harus dicari dan dikejar. Pameran Fotografi Jurnalistik Indonesia, yang sejak akhir Maret sampai awal April memperlihatkan sekitar 150 foto hitam-putih dan berwarna di Galeri Pasar Seni, Ancol, Jakarta, membuktikan hal itu. Memang, wajah-wajah sedih penumpang yang berjejal di perahu penyelamat (menjelang kapal penumpang terbesar Tampomas II tenggelam, Januari 1981) pasti hanya secara kebetulan bisa diabadikan secara visual. Foto ini, yang ikut dipamerkan, agaknya dibuat oleh salah seorang yang tertimpa musibah, yang sayangnya tidak pernah menampilkan identitasnya hingga kini. Mimpi pun dia pasti tidak, bahwa satu karya fotonya akan abadi melalui pengalaman musibah dramatis itu. Tetapi, kilatan-kilatan indah dan mencekam di atas puncak Gunung Galunggung, Jawa Barat, yang tengah meletup-letup (foto Ed Zoelverdi, TEMPO) direkam secara visual bukan karena kebetulan. Melainkan sebagai hasil pengejaran, dengan berbagai risiko yang harus dihadapi sampai jarak sedekat lima kilometer dari puncak. Juga bukan kebetulan bahwa Leo Suryaningtyas (Kartini) menghasilkan citra yang menyedihkan tentang kehidupan dalam penjara bagi tahanan kriminal, ketika mengabadikan dua bekas terpidana yang kurus kering dan, mungkin sekali, melangkah terseok-seok. Seorang pembaca menelepon kantor suatu surat kabar di Jakarta, memberikan informasi tentang kedua orang yang hampir-hampir tinggal itu, yang ditemukan di tepi jalan. Leo bergegas ke sana, dan foto ini pertama kali muncul di halaman depan harian Indonesia Raya sekitar 15 tahun yang lampau. Foto jurnalistik sering harus dikejar bukan sekadar untuk membuktikan bahwa "saya (fotografer) ada di sana," atau hanya untuk menambah semarak kata-kata berita. Tapi memberikan bukti yang lebih kuat tentang fakta. Bahkan, bisa lebih kuat lagi, membentuk opini atau menimbulkan reaksi publik. Kekuatan foto bisa amat besar pengaruhnya pada pikiran manusia. Kira-kira, itulah yang terjadi ketika foto bekas terpidana yang kurus kering dimuat di surat kabar. Seperti juga pemuatan foto pengemudi becak yang mendapat "hukuman" berdiri di bawah guyuran hujan deras di Jakarta karena melanggar peraturan lalu lintas beberapa tahun yang lampau. Atau ketika penerbitan pers seluruh dunia memuat foto seorang pendeta Budha Vietnam Selatan membakar diri awal 1960-an. Memang hanya seorang diri, tetapi ia mewakili kemarahan setiap kaum Budha terhadap pemerintah Presiden Ngo Dinh Diem yang tidak populer. Publik Amerika Serikat menentang keterlibatan Amerika di sana, sehingga Ngo Dinh Diem, dibiarkan menghadapi sendiri kaum oposisi yang keras, akhirnya terguling dan terbunuh. Begitupun, bahwa sebuah foto -- tetapi tidak harus selalu foto jurnalistik -- bisa mudah menyentuh hati manusia, sejalan dengan kemungkinan diangkatnya citra masalah sosial seperti yang tercermin pada sejumlah karya yang dipamerkan di Ancol. Penumpang andong yang penuh barang terpaksa berdiri di pijakan-kaki belakang. (Ali Said, TEMPO). Atau, seorang kakek terbungkuk-bungkuk meniti titian setapak, di belakang seekor ayam yang punya hak yang sama (Rudy Badil, Kompas). Sejumlah foto lagi bukan sekedar menyentuh perasaan, tetapi bisa menimbulkan imajinasi yang tak habis-habis, apalagi karena relevansinya dengan pemberitaan. Menteri Subroto berlari pagi, berpapasan dengan bis kota yang kotor (Ilham Soenharjo, TEMPO). Menteri Ali Wardhana tenggelam di tengah tumpukan berkas-berkas (Ed Zoelverdi, TEMPO). Atau ciuman penduduk di pipi Try Sutrisno yang tersenyum lebar (Antara). Pameran ini, sebagai salah satu acara ulang tahun ke-15 TEMPO, tidak seluruhnya didominasi fotografer pers Ibu Kota. Juga, di samping menampilkan beberapa foto historis masa revolusi dari arsip Ipphos, dan keseharian kehidupan keluarga Presiden dari Sekretariat Negara, yang menarik adalah tidak sedikitnya kiriman para pembaca bukan wartawan. Pengertian mengenai foto jurnalistik rupanya terus menjalar ke luar lingkungan pers. Gejala ini dapat dipahami, sejalan dengan semakin meluasnya keikutsertaan aktif pembaca dalam perkembangan pers, seperti di tunjukkan dengan semakin populernya rubrik surat pembaca. Tetapi pameran ini tidak dapat dikatakan mewakili gambaran menyeluruh tentang pertumbuhan foto jurnalistik selama ini. Foto-foto yang pada masa lalu pernah menimbulkan kontroversi, misalnya, amat langka. Barangkali foto bekas terpidana yang terseok-seok itulah satu-satunya yang dulu menimbulkan heboh. Lagi pula, pameran ini tampaknya lebih memusatkan perhatian pada foto jurnalistik sebagai tontonan, yang sekali pandang cepat dipahami, tanpa keperluan kelengkapan teks yang panjang. Bagaimanapun, ke-150 foto ini dapat juga memberikan gambaran tentang kejelian dan ketekunan fotografer pers. Padahal, di lingkungan penerbitan pers di negeri ini, bagian foto sering dianggap seperti usus buntu, yang, kalau-kalau kelak mengganggu, dipotong saja selagi masih sehat. Semua orang menyukai pemuatan foto baik redaksi maupun pembaca. Tetapi perlakuan terhadap bagian foto acap seperti sikap terhadap anak tiri yang tak disenangi. Lalu muncullah di muka pembaca, foto yang -- entah dari mana - sama sekali tidak ada relevansinya dengan keperluan memperkuat pemberitaan. Misalnya foto dengan teks: "Gadis cantik yang . . . " dan teks itu berakhir dengan: "Tetapi foto ini tidak ada hubungannya dengan tulisan ini." Fotografer biasanya tersedia dalam setiap penerbitan. Tetapi mereka tidak selalu diperkuat dengan pembentukan bagian redaksi foto, yang mengatur dan merencanakan "perburuan" berita visual setingkat dengan perburuan berita kita. Dulu keadaan ini bisa jadi diakibatkan oleh kekurangan biaya karena mahalnya perlengkapan fotografi yang baik. Tetapi lama kelamaan menjadi kebiasaan. Terhadap bagian foto, redaksi seperti bersikap take it for granted -- pokoknya tahu beres. Atmakusumah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus