Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Skripsi Fiksi Untuk Gengsi

Kurangnya kepustakaan dan penguasaan bahasa asing menimbulkan skripsi jiplakan. Perguruan tinggi seharusnya dilengkapi dengan laboratorium dan kepustakaan yang mutakhir dari seluruh penjuru dunia.

5 April 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGALAMAN pertama saya membuat skripsi adalah ketika ujian akhir sarjana pertanian. Guru besar saya pada tahun 1957 itu, Prof. Dr. Ir. Jan van Schuylenborgh, meminta saya menulis suatu telaah pustaka mengenai masalah pengikatan nitrogen oleh berbagai jasad renik di tanah-tanah tropis. Dia tidak mengatakan apa yang harus diperbuat dan bagaimana bentuk skripsi itu. Tetapi dari berbagai diskusi dengannya saya tahu bahwa tugas itu diberikan kepada saya agar setelah menjadi sarjana saya siap mengadakan penelitian menuju gelar Doktor dalam Ilmu-ilmu Pertanian bidang Ilmu Tanah. Dari situ saya simpulkan bahwa skripsi yang dimaksudkannya adalah suatu tinjauan kepustakaan mengenai perkembangan pengetahuan tentang fiksasi nitrogen di tanah-tanah tropis yang penting diketahui agar dapat menghemat penggunaan pupuk nitrogen, seperti sulfat amonium dan urea, pada lahan-lahan pertanian. Kemampuan membuat percobaan diujikannya melalui suatu masa praktikum di laboratorium. Tugas yang diberikannya kepada saya adalah mencoba suatu alat baru, yang ketika itu termasuk canggih, yaitu polarograf, untuk mengukur kadar unsur mikro di daun yang telah diperabukan. Di samping menulis makalah untuk mata pelajaran Ilmu Tanah, saya juga harus membuat tiga makalah lagi, masing-masing dalam Pemuliaan Tanaman, Bercocok Tanam, dan Statistika. Selain itu, saya juga harus menulis dua laporan praktek, yang dilakukan masing-masing selama tiga bulan di suatu perkebunan dan pada Dinas Pertanian. Antara satu tulisan dan tulisan lain boleh dikatakan tidak ada hubungannya, kecuali barangkali antara skripsi dan laporan praktikum Ilmu Tanah. Sewaktu menulis makalah Ilmu Tanah, saya merasa gugup karena banyak teman yang naskahnya diulang-alikkan oleh Prof. Van Schuylenborgh tanpa memberitahukan kesalahannya. Ia menyuruh mahasiswa mencari sendiri apa yang salah. Petunjuknya hanya bahwa makalah bukan disusun seperti mengumpulkan guntingan berita surat kabar. Untung sekali saya tidak mengalami hal itu. Dalam waktu kurang dari tiga bulan saya telah lulus ujian, dan beberapa minggu kemudian ia pun pulang ke Negeri Belanda. Dari keberuntungan itu saya kemudian sadar bahwa yang dimaksudkan dengan skripsi adalah suatu telaah kepustakaan mengenai suatu permasalahan tertentu di berbagai majalah ilmiah yang berkenaan dengan masalah tersebut. Telaahan itu harus diakhiri dengan kesimpulan mengenai permasalahan tersebut. Dan, ia juga menguraikan rencana penelitian yang dapat dilakukan untuk mencoba memecahkan permasalahan tersebut. Atas dasar itulah nanti mahasiswa yang telah menjadi sarjana bekerja menyusun disertasi Doktornya dalam waktu sesingkat-singkatnya. Tampak persyaratan pembuatan skripsi itu sebenarnya diperuntukkan bagi pendidikan sarjana yang diarahkan menjadi ilmuwan peneliti, seperti yang dahulu berlaku dalam pendidikan universitas di Eropa. Faktor apa di Indonesia yang dapat menghambat pembuatan skripsi? Pertama, langkanya dosen pembimbing yang tetap giat dalam usaha penelitian, dan, karena itu, tetap menguasai perkembangan ilmu dalam bidangnya melalui pengkajian kepustakaan mutakhir. Kedua, kurang tersedianya kepustakaan mutakhir dari semua pusat perkembangan bidang ilmu itu. Ketiga, kekurangmampuan mahasiswa menguasai dasar-dasar bidang ilmunya, dan bahasa asing yang menjadi sarana komunikasi dalam bidang ilmunya itu. Pada zaman dahulu, untuk bidang ilmu pengetahuan alam dan biologi orang paling sedikit harus menguasai dua di antara empat bahasa-bahasa Jerman, Prancis, Inggris, dan Spanyol. Sekarang, kalau mereka dapat menguasai bahasa Inggris dengan baik, maka itu sudah banyak menolong dalam pembuatan skripsi. Apa jadinya kalau kctiga faktor itu tidak dipenuhi? Kalau pekerjaan dosen pembimbing sehari-hari bukan bersifat akademis, melainkan bersifat administrasi, hingga ia tidak berkesempatan mengikuti perkembangan kemajuan ilmu dalam kepustakaan, bagaimana ia dapat menyarankan judul permasalahan yang baik kepada mahasiswa bimbingannya? Bagaimana pula ia dapat mengetahui tulisan mahasiswanya itu belum pernah ditulis orang lain? Kalau kepustakaan mutakhir tidak terdapat di perguruan tinggi, bagaimana mahasiswa dapat menemukan bahan-bahan mutakhir, kecuali menganggap skripsi rekannya yang lebih dahulu tamat sebagai kepustakaan mutakhir, walaupun isinya mungkin sudah berkapang? Kalau kepustakaan mutakhir ada di perguruan tinggi, tetapi tersurat dalam bahasa asing, bagaimana ia dapat memahaminya jika yang diketahuinya hanya bahasa daerahnya dan bahasa Indonesia yang belum tentu baik dan benar? Sudah tentu akan ada yang mengatakan itulah jadinya kalau kita tidak mengadakan program penerjemahan buku-buku pelajaran. Andaikan kita mempunyai dana cukup untuk menerjemahkan semua buku teks atau buku daras yang penting, siapa yang akan menerjemahkannya? Pasti yang memenuhi syarat bukanlah seorang ahli bahasa karena ada kemungkinan ia akan menerjemahkan animal husbandry sebagai ilmu bersuamikan binatang. Kalau semua buku daras sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, persoalan membuat skripsi akan menjadi lebih pelik. Makin banyak mahasiswa Indonesia yang tidak pernah membaca buku daras dalam bahasa asing, makin sulit bagi dia untuk mencoba memahami kepustakaan mutakhir yang ditulis dalam bahasa asing. Gejala-gejala kesulitan membuat skripsi, karena kepustakaan yang tidak memadai dan penguasaan bahasa asing yang kurang, sudah pernah diamati di Institut Pertanian Bogor, akhir tahun enam puluhan. Karena itulah disusun kurikulum baru berdasar tiga peringkat pendidikan. Tahap pertama dilaksanakan pendidikan peringkat S1, yang berakhir dengan gelar sarjana. Setelah peringkat ini, sebagian lulusannya dapat diterima meneruskan pelajaran untuk peringkat S2 menuju gelar Magister Sains. Sebagian mahasiswa program S2 ini dapat diizinkan melompati tugas penelitian program Magister Sains dan memasuki program S3, yang diakhiri dengan penganugerahan gelar Doktor. Apa keuntungan sistem ini? Faktor pertama tidak dapat ditawar-tawar lagi. Untuk menjalankan program yang mana saja tenaga akademis yang menyelenggarakannya harus memiliki kelayakan akademis sebagai peneliti, dan harus masih berkecimpung dalam bidang ilmunya. Faktor kedua masih dapat ditawar, karena dengan kepustakaan yang kurang lengkap, seorang mahasiswa masih dapat menulis suatu tugas akhir asal saja skripsi langsung diganti oleh suatu karya penelitian berdasarkan pengamatan dan mungkin juga percobaan. Faktor ketiga adalah yang paling menentukan dalam hal perubahan sistem pendidikan tinggi menjadi tiga lapis itu. Kalau dahulu, pada zaman "studi bebas", dari setiap 100 orang yang masuk ke perguruan tinggi tidak lebih dari 25 orang yang menyelesaikan pelajaran. Tetapi, sekarang kalau ada perguruan tinggi yang berani melaksanakan itu, maka ia akan berurusan dengan kritik masyarakat, karena masyarakat ingin melihat perguruan tinggi itu mempunyai tingkat keefisienan yang tinggi. Kalau boleh dari setiap 100 orang yang diterima harus dihasilkan 100 sarjana. Karena itu, kalau dari setiap 100 orang yang diterima di perguruan tinggi kita misalnya ingin meluluskan tidak kurang dari 85 sarjana maka sistem pendidikan yang berdasarkan "studi bebas" mungkin lebih baik diganti namanya menjadi "studi bebas bimbingan", dan harus ada sistem yang memungkinkan bimbingan yang lebih mengarah bagi mereka yang "mekar lebih lambat". Itulah yang diharapkan dari pembagian jalur akademis pendidikan tinggi menjadi tiga lapisan itu Pembagian tugas bergantung pada jenis masalah yang harus diteliti. Dalam garis besar penelitian dapat dibagi menjadi lima jenis berikut: * Penelitian Operasional, mencakup pemecahan permasalahan yang bersifat lokal. Misalnya penentuan sistem beternak atau bertanam yang bagaimana akan menghasilkan keuntungan terbesar di suatu lahan tertentu dengan menggunakan sarana produksi tertentu pula. * Penelitian Taktis, mencakup, misalnya, penentuan jenis tanaman atau ternak yang baik untuk diadaptasikan di suatu daerah tertentu mengingat hubungan yang terdapat antara berbagai sistem pertanian serta kehidupan sosial di daerah tersebut. * Penelitian Strategis, yang tujuannya ialah menciptakan dan menyebarluaskan teknologi serta pengetahuan pada taraf nasional dan internasional. Penemuan galur-galur baru padi yang tahan penyakit, misalnya, termasuk penelitian strategis. * Penelitian Pendukung, yang memiliki sasaran yang ditentukan sebelumnya. Misalnya, untuk menemukan galur padi yang tahan penyakit tertentu, sebelumnya harus dilakukan penelitian dasar dalam bidang genetika tentang pewarisan sifat tahan penyakit tersebut. * Penelitian Dasar, berbeda dari penelitian pendukung, dilakukan tanpa sesuatu tujuan awal. Bahwa akhirnya hasil penelitian itu ada juga penerapannya memang sering terjadi. Seorang sarjana diharapkan dapat melaksanakan dan merancang penelitian operasional dan taktis. Untuk itu, ia tidak perlu terlalu banyak mengetahui perkembangan bidang ilmunya secara menyeluruh. Dengan beberapa kepustakaan dasar ia dapat merancang dan melaksanakan percobaan untuk menjawab permasalahan yang diselidikinya. Akhirnya, selain mendapat hasil penelitian, ia juga menciptakan kepustakaan baru dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian, karya ilmiah sebagai tugas akhir seorang sarjana berlandaskan penelitian operasional atau taktis. Penelitian strategis dimaksudkan sebagai bahan tesis bagi mahasiswa pascasarjana yang akan menuntut gelar Magister Sains. Untuk ini, ia harus mampu menelaah kepustakaan dari daerah asal yang lebih luas. Penelitian pendukung dan penelitian dasar disediakan sebagai bahan disertasi Doktor. Mahasiswa program Magister dan Doktor harus membaca lebih banyak kepustakaan, dan harus melakukan serangkaian penelitian yang lebih rumit. Hal itu tidak akan terlalu mengagetkannya, karena sebelumnya ia telah dilatih membuat penelitian yang sederhana sewaktu melakukan tugas akhir kesarjanaan. Dengan demikian, dapat disimpulkan, penulisan skripsi sebagai tugas akhir pendidikan sarjana berupa telaah pustaka, yang sebenarnya adalah persiapan untuk menyusun suatu disertasi, sudah tidak sesuai lagi dengan permintaan zaman. Tidak semua sarjana dimaksudkan menjadi pemburu ilmu, sehingga bagi sarjana yang demikian lebih penting menguasai beberapa metodologi bagi profesinya Dan, kenyataannya hanya sebagian kecil lulusan perguruan tinggi akan diperlukan sebagai pemburu ilmu. Bagian terbesar diperlukan sebagai pengelola kegiatan pembangunan. Sayang sekali masih ada peraturan yang memintakan bahwa suatu program sarjana harus diakhiri dengan suatu skripsi sebagai tugas akhir. Kalau hal itu masih akan tetap dipertahankan, harus pula dipertahankan semua tenaga akademis perguruan tinggi harus berkelayakan peneliti, dan masih tetap berkecimpung dalam kegiatan memburu ilmu. Selain itu, perguruan tinggi harus dilengkapi dengan laboratorium, dan kepustakaan mutakhir dari seluruh penjuru dunia. Sekarang ini kita sangat keranjingan membuka perguruan tinggi baru. Tapi, yang kita pikirkan hanya bangunan tempat menampung kuliah saja. Dengan keadaan seperti ini, kalau kita masih tetap mempertahankan tugas akhir kesarjanaan berbentuk skripsi, kita tidak boleh kaget, demi gengsi orang berani menulis skripsi fiksi. Dan, kalau kita juga masih tetap berpendapat bahwa sistem pendidikan tinggi berlapis tiga itu menurunkan mutu pendidikan, maka bersiap-siaplah untuk menerima skripsi jiplakan sebagai produk utama perguruan tinggi kita. Kita sendiri yang meminta mala petaka ini muncul .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus