Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, ahli psikologiyan banyak menyoroti
masalah seks di kalangan remaja, telah merencanakan
pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan TEMPO kepada sejumlah
remaja (antara 12-20 tahun) di pelbagai kota di Indonesia.
Hasil jawaban mereka telah kami ikhtisarkan dalam TEMPO 22
Agustus 1981 yang lalu. Kini kami minta pendapat Sdr. Sarlito
tentang hasil-hasil wawancara TEMPO tadi.
SEMINAR Seksologi Nasional I di Den Pasar ternyata melahirkan
kejutan. Forum itu sejak semula meman dimaksudkan sebagai forum
ilmiah, bukan forum awam. Begitupun, tidak sedikit ilmuwan yang
ikut dalam seminar itu yang mengkerut-kerutkan dahi mendengar
data yang diungkapkan secara blak-blakan di seminar itu.
Tetapi, entah bagaimana caranya, data seminar bocor ke luar, dan
jadi konsumsi awam melalui koran dan majalah. Tentu saja
masyarakat segera bergolak bagaikan air mendidih. Generasi tua
dan pejabat yang merasa paling bertanggungjawab terhadap
kualitas moral remaja marah dan menuding dr. Wimpie Pangkahila
sebagai peneliti yang tidak bertanggungjawab, tidak becus.
Tidak cukup itu saja, bahkan Biro Penasihat Perkawinan
Universitas Udayana, tempat dr. Wimpie bekerja, ditutup oleh
Rektor. Padahal apa dosa Biro itu? Rupanya, orang panik karena
penelitian dr. Wimpie itu.
Tetapi bijaksanakah reaksi yang emosional itu?
Sudah sejak 1972 sebenarnya Prof. Dr. S. Sadli mengemnkakan dari
hasil penelitiannya, bahwa generasi muda kita sekarang lebih
"liberal", lebih "serba boleh" dari generasi terdahulu.
Pada tahun 1978 saya sendiri telah mengemukakan hasil penelitian
yang saya kerjakan melalui Panel Group majalah Gadis. Hasilnya
juga tidak jauh berbeda dari hasil menelitian dr. Wimpie
sekarang. Kemudian majalah TEMPO mengadakan lagi pengumpulan
pendapat remaja di beberapa kota besar. Hasilnya sama lagi.
Memang ada orang-orang yang meragukan penelitian-penelitian itu
dengan mengatakan bahwa sample yang digunakan tidak cukup
representatif tidak bisa mewakili pendapat remaja secara
keseluruhan.
Argumentasi ini memang ada benarnya. Masalah seks adalah masalah
yang sangat peka, sehingga remaja yang blak-blakan saja yang mau
memberi respons terhadap angket atau daftar pertanyaan yang
disebarkan. Dengan demikian sample tidak mungkin bersifat
random, atau "acak" dan jumlahnya tidak mungkin besar.
Tetapi saya tetap punya dugaan kuat bawa remaja yang diam,
mempunyai pandangan yang kira-kira sama dengan remaja yang
blak-blakan. Bedanya cuma yang satu mau ngomong sedang yang
lainnya tidak.
Masih kurang percaya? Baiklah akan saya ungkapkan beberapa data
hasil dari suatu penelitian yang belum pernah diungkapkan.
Penelitian ini diselenggarakan oleh Gerakan Remaja untuk
Kependudukan (GRK) dan Radio Pranlbors pada bulan-bulan Maret
sampai dengan Mei 1981. Sampai saat ini hasil penelitian yang
mencapai 417 responden remaja Jakarta itu (54% pria dan 64%
wanita) masih dalam pengolahan. Tapi beberapa sudah
diungkapkan. Lagi-lagi hasilnya konsisten dengan hasil
penelitian TEMPO.
Kita mulai dengan hal yang paling enteng. Tentang penerangan
seks: 33.6% responden TEMPO mendapat penerangan seks dari
temannya, sedangkan di antara responden GRK & Prambors 43.9%.
Yang mendapat penerangan seks langsung dari orang tuanya adalah
11.7% dari responden TEMPO dan 18.7% dari responden GRK &
Prambors. Kesimpulannya, baik di kalangan responden TEMPO
maupun responden GRK & Prambors penerangan seks dari teman
lebih banyak dari pada dari orang tua. Angka dari GRK & Prambors
memang sedikit lebih tinggi, tetapi jangan lupa bahwa
respondennya seluruhnya dari Jakarta yang masyarakatnya relatif
lebih terbuka, sedangkan responden TEMPO terdiri dari remaja
kota-kota lain juga yang mungkin tidak seterbuka Jakarta.
Sekarano ke persoalan yang lebih seram. 86.17% responden TEMPO
mengku pernah melihat, membaca film/majalah/gambar porno. 73.1%
responden GRK&Prambors mengaku pernah melihat majalah porno
(tidak termasuk film dll.). Hampir sama lagi, bukan?
Juga perasaan yang timbul waktu membaca dan melihat
barang-barang itu juga sama, yaitu kebanyakan "senang".
Responden TEMPO= 43.6 GRK/Prambors= 52.7%.
Tentang sanggama: 2« % responden TEMPO mengaku sudah bersanggama
dengan pacarnya. Pengakuan yang sama dikemukakan oleh 4.1% dari
responden GRK & Prambors. Pergi ke wanita P? 17% dari responden
pria TEMPO melakukannya, sedangkan dari responden pria
GRK&Prambors tercatat 10.6%. Dengan catatan: mungkin sudah
melampiaskan ke pacar, mereka merasa kurang perlu wanita P lagi.
Dan sebagai kejutan, terakhir dapat dikemukakan bahwa 37.6% dari
responden TEMPO setuju sanggama sebelum menikah dengan berbagai
alasan sayang pertanyaan ini tidak diajukan pada survei GRK&
Prambors).
Membaca data-data itu, mau apa kita generasi tua? Mau marah?
Mau menyalahkan orang lain? Mau menyalahkan remaja? Mau
menyatakan bahwa penelitian itu bohong semua?
Terserah saja tetapi saya yakin itu semua tidak ada gunanya.
Saya percaya bahwa hasil-hasil penelitian yang terus menerus
konsisten itu merupakan cerminan dari kenyataan yang
sebenar-benarnya.
Kita tidak boleh menutup mata terhadap kenyataan itu kalau kita
hendak mengamankan generasi muda kita. Kita justru harus
tergugah menjadi waspada dan cepat-cepat mencari jalan keluar
untuk mencegah (atau setidak-tidaknya memperlambat)
kecenderungan yang tidak sehat ini.
Bagaimana caranya? Saya mengusulkan langkah-langkah ini:
Pertama: Meningkatkan pengetahuan orang-orang tua tentang seks
dan pendidikan seks melalui majalah-majalah, buku-buku,
seminar-seminar, kursus-kursus dan lain-lain.
Kedua: Menyelenggarakan penataran bagi guru-guru SD. SLP dan SLA
agar mereka bisa menjawab dengan baik dan benal
pertanyaan-pertanyaan murid-murid mengenai seks, dan
menyelipkan pendidikan seks ke dalam pelajaran masing-masing.
Ketiga Menyelenggarakan program khusus untuk remaja, di mana
pendidikan seks dapat diselipkan, misalnya lewat sarasehan dan
perkemahan. Tentu saja program semacam ini harus dipimpin oleh
orang-orang ahli dan bertanggungjawab.
Keempat: memperbanyak informasi yang baik dan benar tentang
seks, melalui majalah remaja, acara remaja di radio dan lewat
buku-buku kecil yang harganya tercapai oleh kantung remaja.
Semua itu tentu dalam bahasa dan batas-batas penalaran remaja.
Kelima: Dalam usaha-usaha tadi jangan lupa tetap menggunakan
agama sebagai patokan etika. Agama saya nilai lebih dapat
dijadikan patokan daripada tradisi, adat, kebiasaan atau
tatakrama, karena agama-agama yang dikenal di Indonesia
semuanya memandang perkawinan sebagai suatu yang suci dan
menganggap setiap hubungan seks di luar perkawinan sebagai aib
dan dosa.
Tetapi ini tidak pula berarti bahwa pendidikan agama saja sudah
cukup. Pendidikan agama semata-mata tanpa upaya pendidikan seks,
tidak akan cukup mempersenjatai remaja masa kini untuk
menghadapi gangguan dan ancaman di bidang seks.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini