Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Perilaku seks pada remaja dalam ...

Tempo, grk dan radio prambors meneliti masalah seks di kalangan remaja di jakarta. 2,5% responden tempo sudah bersenggama dengan pacar 4,1% dari responden grk & prambors. pendidikan seks harus digalakkan.

19 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, ahli psikologiyan banyak menyoroti masalah seks di kalangan remaja, telah merencanakan pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan TEMPO kepada sejumlah remaja (antara 12-20 tahun) di pelbagai kota di Indonesia. Hasil jawaban mereka telah kami ikhtisarkan dalam TEMPO 22 Agustus 1981 yang lalu. Kini kami minta pendapat Sdr. Sarlito tentang hasil-hasil wawancara TEMPO tadi. SEMINAR Seksologi Nasional I di Den Pasar ternyata melahirkan kejutan. Forum itu sejak semula meman dimaksudkan sebagai forum ilmiah, bukan forum awam. Begitupun, tidak sedikit ilmuwan yang ikut dalam seminar itu yang mengkerut-kerutkan dahi mendengar data yang diungkapkan secara blak-blakan di seminar itu. Tetapi, entah bagaimana caranya, data seminar bocor ke luar, dan jadi konsumsi awam melalui koran dan majalah. Tentu saja masyarakat segera bergolak bagaikan air mendidih. Generasi tua dan pejabat yang merasa paling bertanggungjawab terhadap kualitas moral remaja marah dan menuding dr. Wimpie Pangkahila sebagai peneliti yang tidak bertanggungjawab, tidak becus. Tidak cukup itu saja, bahkan Biro Penasihat Perkawinan Universitas Udayana, tempat dr. Wimpie bekerja, ditutup oleh Rektor. Padahal apa dosa Biro itu? Rupanya, orang panik karena penelitian dr. Wimpie itu. Tetapi bijaksanakah reaksi yang emosional itu? Sudah sejak 1972 sebenarnya Prof. Dr. S. Sadli mengemnkakan dari hasil penelitiannya, bahwa generasi muda kita sekarang lebih "liberal", lebih "serba boleh" dari generasi terdahulu. Pada tahun 1978 saya sendiri telah mengemukakan hasil penelitian yang saya kerjakan melalui Panel Group majalah Gadis. Hasilnya juga tidak jauh berbeda dari hasil menelitian dr. Wimpie sekarang. Kemudian majalah TEMPO mengadakan lagi pengumpulan pendapat remaja di beberapa kota besar. Hasilnya sama lagi. Memang ada orang-orang yang meragukan penelitian-penelitian itu dengan mengatakan bahwa sample yang digunakan tidak cukup representatif tidak bisa mewakili pendapat remaja secara keseluruhan. Argumentasi ini memang ada benarnya. Masalah seks adalah masalah yang sangat peka, sehingga remaja yang blak-blakan saja yang mau memberi respons terhadap angket atau daftar pertanyaan yang disebarkan. Dengan demikian sample tidak mungkin bersifat random, atau "acak" dan jumlahnya tidak mungkin besar. Tetapi saya tetap punya dugaan kuat bawa remaja yang diam, mempunyai pandangan yang kira-kira sama dengan remaja yang blak-blakan. Bedanya cuma yang satu mau ngomong sedang yang lainnya tidak. Masih kurang percaya? Baiklah akan saya ungkapkan beberapa data hasil dari suatu penelitian yang belum pernah diungkapkan. Penelitian ini diselenggarakan oleh Gerakan Remaja untuk Kependudukan (GRK) dan Radio Pranlbors pada bulan-bulan Maret sampai dengan Mei 1981. Sampai saat ini hasil penelitian yang mencapai 417 responden remaja Jakarta itu (54% pria dan 64% wanita) masih dalam pengolahan. Tapi beberapa sudah diungkapkan. Lagi-lagi hasilnya konsisten dengan hasil penelitian TEMPO. Kita mulai dengan hal yang paling enteng. Tentang penerangan seks: 33.6% responden TEMPO mendapat penerangan seks dari temannya, sedangkan di antara responden GRK & Prambors 43.9%. Yang mendapat penerangan seks langsung dari orang tuanya adalah 11.7% dari responden TEMPO dan 18.7% dari responden GRK & Prambors. Kesimpulannya, baik di kalangan responden TEMPO maupun responden GRK & Prambors penerangan seks dari teman lebih banyak dari pada dari orang tua. Angka dari GRK & Prambors memang sedikit lebih tinggi, tetapi jangan lupa bahwa respondennya seluruhnya dari Jakarta yang masyarakatnya relatif lebih terbuka, sedangkan responden TEMPO terdiri dari remaja kota-kota lain juga yang mungkin tidak seterbuka Jakarta. Sekarano ke persoalan yang lebih seram. 86.17% responden TEMPO mengku pernah melihat, membaca film/majalah/gambar porno. 73.1% responden GRK&Prambors mengaku pernah melihat majalah porno (tidak termasuk film dll.). Hampir sama lagi, bukan? Juga perasaan yang timbul waktu membaca dan melihat barang-barang itu juga sama, yaitu kebanyakan "senang". Responden TEMPO= 43.6 GRK/Prambors= 52.7%. Tentang sanggama: 2« % responden TEMPO mengaku sudah bersanggama dengan pacarnya. Pengakuan yang sama dikemukakan oleh 4.1% dari responden GRK & Prambors. Pergi ke wanita P? 17% dari responden pria TEMPO melakukannya, sedangkan dari responden pria GRK&Prambors tercatat 10.6%. Dengan catatan: mungkin sudah melampiaskan ke pacar, mereka merasa kurang perlu wanita P lagi. Dan sebagai kejutan, terakhir dapat dikemukakan bahwa 37.6% dari responden TEMPO setuju sanggama sebelum menikah dengan berbagai alasan sayang pertanyaan ini tidak diajukan pada survei GRK& Prambors). Membaca data-data itu, mau apa kita generasi tua? Mau marah? Mau menyalahkan orang lain? Mau menyalahkan remaja? Mau menyatakan bahwa penelitian itu bohong semua? Terserah saja tetapi saya yakin itu semua tidak ada gunanya. Saya percaya bahwa hasil-hasil penelitian yang terus menerus konsisten itu merupakan cerminan dari kenyataan yang sebenar-benarnya. Kita tidak boleh menutup mata terhadap kenyataan itu kalau kita hendak mengamankan generasi muda kita. Kita justru harus tergugah menjadi waspada dan cepat-cepat mencari jalan keluar untuk mencegah (atau setidak-tidaknya memperlambat) kecenderungan yang tidak sehat ini. Bagaimana caranya? Saya mengusulkan langkah-langkah ini: Pertama: Meningkatkan pengetahuan orang-orang tua tentang seks dan pendidikan seks melalui majalah-majalah, buku-buku, seminar-seminar, kursus-kursus dan lain-lain. Kedua: Menyelenggarakan penataran bagi guru-guru SD. SLP dan SLA agar mereka bisa menjawab dengan baik dan benal pertanyaan-pertanyaan murid-murid mengenai seks, dan menyelipkan pendidikan seks ke dalam pelajaran masing-masing. Ketiga Menyelenggarakan program khusus untuk remaja, di mana pendidikan seks dapat diselipkan, misalnya lewat sarasehan dan perkemahan. Tentu saja program semacam ini harus dipimpin oleh orang-orang ahli dan bertanggungjawab. Keempat: memperbanyak informasi yang baik dan benar tentang seks, melalui majalah remaja, acara remaja di radio dan lewat buku-buku kecil yang harganya tercapai oleh kantung remaja. Semua itu tentu dalam bahasa dan batas-batas penalaran remaja. Kelima: Dalam usaha-usaha tadi jangan lupa tetap menggunakan agama sebagai patokan etika. Agama saya nilai lebih dapat dijadikan patokan daripada tradisi, adat, kebiasaan atau tatakrama, karena agama-agama yang dikenal di Indonesia semuanya memandang perkawinan sebagai suatu yang suci dan menganggap setiap hubungan seks di luar perkawinan sebagai aib dan dosa. Tetapi ini tidak pula berarti bahwa pendidikan agama saja sudah cukup. Pendidikan agama semata-mata tanpa upaya pendidikan seks, tidak akan cukup mempersenjatai remaja masa kini untuk menghadapi gangguan dan ancaman di bidang seks.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus