USAHA OPEC merebut kembali pasar minyaknya rupanya cukup menggetarkan kalangan "produsen independen". Inggris, terutama, cukup waswas ketika harga minyak Brent dari ladang Utara miliknya untuk pengapalan Januari mendatang jatuh jadi US$ 21,80 per barel - hanya sehari sesudah pertemuan OPEC di Jenewa ditutup, 10 Desember. Padahal, awal bulan ini, harga minyak ringan saingan Bonny Light (Nigeria - anggota OPEC) itu masih US$ 30. Begitupun, Inggris, seperti dinyatakan Menteri Keuangan Nigel Lawson, tetap menolak bekerja sama dengan OPEC membuat benteng untuk mencegah kejatuhan harga minyak lebih parah - dengan mengurangi volume produksinya. Sebagai produsen independen, perusahaan minyak Inggris, macam British Petroleum dan British National Oil Company, bebas menentukan tingkat produksi masing-masing. Menurut Lawson, tingkat produksi semua perusahaan Inggris (yang kini ditaksir sudah mencapai 2,7 juta barel sehari) telah berada di puncaknya, "Dan sekarang mulai turun secara bertahap." Di Oslo, pemerintah Norwegia juga menyatakan pendapat serupa. Salah satu produsen terkemuka minyak Laut Utara ini menolak memotong tingkat produksi minyaknya yang sekarang sekitar 850 ribu barel per hari. Besarnya investasi yang sudah ditanamkan untuk memompa minyak dari laut dalam itu menyebabkan Norwegia tidak bisa sesukanya memutuskan untuk memotong tingkat produksi seperti dilakukan 13 anggota OPEC, "Tak ada pengaruhnya jika Norwegia harus mengurangi separuh produksinya, kecuali akibat psikologisnya saja," kata Menteri Energi dan Perminyakan Kaare Kristiansen. Masuk akal kalau kedua negara industri itu menolak bekerja sama, karena OPEC sendiri ternyata gagal mencegah jatuhnya harga, sekalipun para anggotanya sudah berkorban dengan memotong tingkat produksi. Inggris dan Norwegia, tentu, tidak ingin jika suatu saat diminta pula menurunkan tingkat produksi mereka. Pengorbanan semacam itu dianggap terlalu mahal mengingat upaya menyedot minyak dari Laut Utara tinggi sekali: hampir US$ 20 per barel, jauh di atas biaya produksi 13 anggota OPEC yang hanya US$ 3 sampai US$ 6 per barel. Sampai pekan ini, OPEC belum terdengar memberikan tanggapan atas penolakan itu. Yang pasti, baik kedua produsen independen maupun OPEC sama-sama tidak menghendaki harga minyak jatuh di bawah harga US$ 20. Nigeria dan Indonesia, terutama, akan terpukul hebat jika harga minyak jatuh sejauh itu. Bagi kedua negara ini, minyak memberikan sumbangan dolar lebih dari 60% untuk anggaran belanja negara. Bagi Indonesia sendiri, turunnya harga minyak setiap US$ 1 akan menyebabkan hilangnya devisa lebih dari US$ 300 juta setahun. Risiko seperti itu, agaknya, sudah diperhitungkan ketika OPEC, dalam pertemuan di Jenewa barusan, bertekad merebut kembali pasar minyaknya dengan biaya berapa pun. Sekarang tingkat produksi nyata 13 anggota OPEC sekitar 18 juta barel - sekalipun kuota produksi resmi mereka 16 juta barel. Volume produksi ini, kira-kira, 30% dari seluruh kebutuhan minyak untuk dunia nonkomunis. Padahal, pada tahun 1976, porsinya masih 70% (TEMPO, 14 Desember 1985). Sementara itu, produsen minyak independen, seperti Inggris, Norwegia, AS, dan Meksiko, kini menghasilkan 28 juta barel atau sekitar 62% dari kebutuhan minyak dunia nonkomunis. Sekitar sembilan tahun lalu, peranan mereka ini tidak lebih dari 16 juta barel sehari. Dalam keadaan terbalik seperti itu, di tengah musim dingin di belahan bumi Utara, OPEC bertekad melebarkan sahamnya. "Bila tiba saatnya kami harus mempertahankan market share, itu berarti produsen non-OPEC harus menyerahkan sebagian dari pasarnya," kata Menteri Perminyakan Arab Saudi, Sheik Zaki Yamani. Perang harga dikhawatirkan bakal meletup jika produsen independen berkeras mempertahankan pasar mereka. E.H.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini