MAKIN ramainja penjelundupan, jang kabarnja sebagian besar
berupa tekstil, rupanja memperkuat alasan jang selama ini
dikemukakan baik oleh produsen maupun importir tekstil tentang
sebab-sebab kemunduran mereka (lihat box). Sekalipun alasan
mereka ini masih perlu diselidiki lebih landjut, namun djelas
bahwa pemerintah perlu bertindak lebih serius terhadap
penjelundupan jang makin serius. Tandjung Priok masih tetap
merupakan pusat penjelundupan jang paling ramai, dan sampai
sekarang belum sanggup mengatasi aliran barang selundupan jang
makin membandjir. Dan sekarang para penjelundup menambah tempat
operasi mereka dengan menggunakan lapangan terbang Kemayoran.
Kemayoran beberapa waktu jang lalu memang lebih menarik, karena
untuk pemasukan tekstil, bea masuk jang dibajar hanja 19 sen
dollar AS dibandingkan dengan 26 sen dollar AS jang dibajar
kalau memasukkan lewat Tandjung Priok. Sekalipun Departemen
Keuangan telah menjamaratakan tarip sekarang ini, baik untuk
Kemayoran maupun Tandjung Priok, namun diragukan sekali apakah
hal ini akan mengurangi usaha penjelundupan setjara etektif.
Demikian pula keputusan Departemen Keuangan jang memutuskan
bahwa semua barang jang diperdagangkan antar pulau harus
disertai dengan bukti pembajaran bea masuk (voerpass) rasanja
tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap penjelundupan selama
belum ada perobahan pada apa jang disebut mental aparat bea
tjukai.
Tobat. Bagaimanapun djuga adanja penjelundupan tekstil merupakan
satu hal jang sukar dibantah. Dipasaran, masih banjak terdapat
kain tetoron jang didjual dengan harga Rp 250 per yard jang
menurut perhitungan importir sendiri harganja semestinja Rp 350.
Memang sedjak adanja kundjungan incognito Ali Wardhana ke
Tandjung Priok beberapa waktu jang lalu, disusul dengan beberapa
tindakan pemerintah lainnja, harga kain tetoron mendadak naik
mendjadi Rp 70 per yard, tapi inipun masih dibawah harga
kalkulasi sebenarnja.
Akibatnja ternjata djuga sudah mulai terasa: seratus importir
tekstil termasuk beberapa jang besar sudah merasa tobat dan
gulung tikar. Beberapa diantara mereka sudah mulai memindahkan
usahanja kebidang lain. Jang terkena ternjata bukan sadja
importir tekstil tetapi djuga produsennja. Karena penjelundupan,
usaha kita djadi senen kemis", teriak J. Tambunan salah satu
pemilik perternakan di Djakarta. Beberapa waktu jang lalu,
memang dikabarkan pertemuan di Djakarta rata-rata sudah bekerdja
dengan 251 kapasitas. Penjelundupan memang merupakan salah satu
faktor jang turut memukul industri tekstil dalam negeri, dan
akibat pukulan ini terbukti tjukup parah. Namun penjelundupan
sadja rupanja tidak bisa diterima sebagai satu-satunja alasan
bagi lesunja industri tekstil dalam negeri oleh beberapa
kalangan, temtama oleh pemerintah sendiri tentunja. Pemerintah
masih menganggap bahwa tjara kerdja produsen tekstil masih
angin-anginan dan tidak memperhatikan kebutuhan pasaran. "Mereka
ini seperti latah dan musiman", kata Ir Sjalim, Dirdjen Tekstil,
"kalau jang satu memprodusir tetoron, semua ikut memprodusir
tetoron. Akibatnja pasar kebandjiran, dan harga djatuh memukul
mereka sendiri". Sjafiun menundjukkan bahwa hotel jang makin
banjak itu maki membutuhkan kain gordijn, sprij, dan beberapa
matjam kain lainnja, dan ini katanja, "toh dapat dipenuhi oleh
produsen tekstil dalam negeri".
Memang kalau melihat besarnja pasaran, sebenarnja tidak ada hal
jang perlu dirisaukan oleh pengusaha tekstil. Tahun jang lalu
dari konsumsi sebesar 858 djuta meter, sebesar 600 djuta meter
dipenuhi oleh tekstil hasil dalam negeri. Hanja 258 djuta meter
sadja atau 30%, sadja jang diimpor. Dan kalau melihat pada achir
Repelita nanti target produksi sebesar 1000 djuta meter harus
ditjapai dengan perhitungan konsumsi 10 meter per kapita -- maka
djelas bahwa lebih banjak modal diperlukan untuk investasi dalam
industri tekstil ini. Sekalipun djumlah modal jang ditanam
sampai achir Maret 1971 jang lalu sudah berdjumlah 49 miljar
rupiah dari PMDN dan berdjumlah 178,3 djuta dollar AS jang
berasal dari PMA, namun untuk mentjapai sasaran Repelita,
agaknja djumlah ini belum tjukup. Karena itulah mengapa
pemerintah nampaknja masih mengharapkan lebih banjak penanaman
modal dari pengusaha-pengusaha sendiri seperti jang ditegaskan
oleh Menteri Perin-dustrian M. Jusuf baru-baru ini didepan Raker
Dirdjen Tekstil. Didepan Raker tersebut Menteri Jusuf
mengemukakan bahwa PN Industri Sandang masih tetap membuka
pintunja untuk mengadakan kerdja sama dengan pengusaha-pengusaha
tekstil jang ingin joint dengan PN Insan. Menteri Jusuf jang
rupanja djuga sudah mulai kesal dengan banjaknja nama-nama
Djepang jang menanam modalnja dibidang tekstil seterusnja
mengemukakan harapannja: "Mudah-mudahan nanti jang mendekati PN
Industri Sandang untuk mengadjak joint akan bernama Hadibrata
atau Sambas, dan bukan lagi-lagi Hoshimori atau Shinbun".
PL 180. Tawaran Menteri Jusuf memang merupakan sesuatu jang
simpatik dan sekali lagi menundjukkan kepada para pengusaha
tekstil bahwa pemerintah masih tetap bersikap terbuka. Namun
masalahnja adalah bahwa sebelum produsen-produsen nasional
sendiri sempat bergerak, para "Shinbun-shinbun" sudah menguasai
praktis seluruh pasaran tekstil di Indonesia, dengan
pabrik-pabriknja jang modern dan dengan prasarana pemasaran jang
tangguh. lnilah sebabnja mengapa setiap statistik jang mentjoba
untuk mentjeritakan kemadjuan industri tekstil Indonesia tidak
bisa ditelan setjara mentah-mentah, mengingat bahwa angka-angka
jang makin menandjak sedjak tahun 1968 itu tidak mentjeritakan
apa sebenarnja jang terdjadi pada produsen tekstil dalam negeri.
Dan ini semua terdjadi dihadapan tindakan-tindakan pemerintah
jang rupanja dengan segala kesungguhan ingin membantu
produsen-produsen tekstil nasional. Pemerintah telah melarang
impor tekstil kasar, fasilitas-fasilitas kredit bank sudah
dipermudah, bahan-bahan baku jang diperlukan membajar tarip bea
masuk jang rendah. PN Industri Sandang, masih tetap memperoleh
subsidi 45, dari pembelian kapas PL 480, sekalipun kursnja sudah
dinaikkan dari Rp 170 mendjadi Rp 215 per dollar AS. Dengan
fasilitas-fasilitas seperti ini, kalangan pemerintah menilai
bahwa jang diberikan Pemerintah sebenarnja sudah merupakan "oler
proteksi" Dalam suatu prasarananja jang berdjudul Industri
Tekstil dan Pembangunan, Emil Salim mensinjalir bahwa
penghasilan padjak dari industri tekstil kenaikannja tidak
sebanding dengan kenaikan produksi tekstil, dan menurut Emil ini
satu bukti lagi bahwa banjak produsen tekstil jang ternjata
masih menikmati kebebasan padjak. "Semua ini memberi dasar-dasar
jang lemah bagi pertum-buhan industri tekstil dimasa depan",
tulis Emil Salim. Barang-kali inilah sebabnja jang bisa
menerangkan apa jang terdjadi dengan pengusaha tekstil nasional.
Dimanapun djuga, proteksi jang terlalu banjak dan tidak
hati-hati mungkin akan mendjadi bumerang. Bagaimanapun djuga
jang terdjadi adalah bahwa kwalitas produksi tekstil dalam
negeri masih rendah hingga sulit bersaing dengan tekstil impor.
Dari beberapa survey jang dilakukan Bappenas ternjata banjak
pabrik-pabrik tekstil jang belum menggunakan peralatannja,
bahan-bahan baku maupun penolongnja setjara optimal. Demikian
pula biaja overhead tidak djarang mentjapai 20%, suatu djumlah
jang dirasakan terlalu tinggi. Barangkali ini disebabkan terlalu
rojalnja fasilitas-fasilitas jang diberikan untuk direksi
seperti rumah dan mobil, seperti jang banjak terlihat, terutama
pada perusahaan-perusahaan tekstil milik pemerintah. Dan ini
terdjadi ditengah-tengah usaha jang belum tjukup lantjar dan
menguntungkan. Bagi pemerintah, bukan satu hal jang sukar untuk
menegor direktur-direkturnja agar bekerdja lebih efisien. Tetapi
bagi unit-unit usaha swasta jang ketjil, efisiensi tetap akan
sulit ditjapai, karena memang usahanja sudah ketjil. Ketrampilan
si pemilik masih dalam taraf jang sederhana, dan bagi mereka
ini, nampak nja tidak ada jang lebih diperlukan, ketjuali
bimbingan pemerintah jang terus menerus kepada mereka. Ini perlu
agar pertumbuhan industri nomor dua sesudah pangan ini berdjalan
dengan wadjar. Dan instruksi Presiden untuk toch membantu ribuan
ATBM mungkin disebabkan karena sebagian besar dari tingkat
pengusaha-pengusaha tekstil dan tenun kita memang baru sampai
disitu tarafnja. Ketjil-ketjil dan tidak efisien.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini