Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bali di ahmadarad

Pameran & pertunjukan budaya "shreyas fair '71 welcome to indonesia" di kampus shreyas fundation, india. sekitar 75 bocah menampilkan adegan cak, tari monyet. mereka dilatih i wayan diya.

19 Juni 1971 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAKA pulanglah Wajan Dija dari India bulan Mei kemarin. Puas karena telah bekerdja keras dan senang karena beroleh banjak teman, ia kelihatan bahagia. Apa soahlja? Diatas pebukitan Ahmadabad dalam kampus Shreyas foundation, diselenggarakan pameran dan pertundjukan budaja jang kali ini mengambil nama Shrelas Fair '71 Welcome to Indonesia. Orang menebak: tentu ada hubungan dengan pariwisata. Tapi itu jajasan adalah satu lembaga pendidikan India jang konon berusaha mengerti dan mendekatkan budaja antar bangsa. Thun jang lalu dipentaskan disitu drama 'tentallg Djerman, maka tak salah bila tahun ini Mrs. Leena Mangaldas, produser dan tulang-punggung perguruan ini memandang dengan iri ke Indonesia. Maka diundanglah I Wajan Dija. guru tari Bali LPKD dari Gandhi Memorial School jang dahulu memang sudah menghabiskan hampir separuh umur ditanah Indira itu, buat kembali kesana sebentar dan mendjadi direktur itui pameran Welcome. Monjet. Maka Dijapun melatih tari-tarian. Maka Dijapun melatih njanjian djuga, dari mulai taman kanak-kanak sampai budak-budak setingkat SMA. Sangat banjak djumlahnja. Ternjata, disitulah kelihatan siapa Dija, banjaklah orang kagum pada tari dan njanjian kita. Sebab seperti diadjarkan guru-guru memaripun Bali seperti Djawa lebih separoh memuat bibit India, toh banjak bedanja. Haanoman dan Hanoman belum tentu sama. Demikian pula Kumbakarna. Seperti ditjatat Usil Susilo HS jang mengirim laporannja kemadjalah ini, adalah satu adegan latihan Tjak, tari monjet. sekitar 75 botjah membentuk sebuah lingkaran. Irama Tjak berdjalan sederhana dan lantjar, pun tjukup baik mereka bawakan -- namun toh tidak semegah tarian Bali. "Pada waktu itu", demikian kisah sang guru, "bangunlah saja ditengah mereka. Sesaat anak-anak maupun semua jang hadir mendjadi sepi. Kemudian barulah bangun sepuluh anak ramai-ramai minta dilatih sebagai tokoh jang jang saja tarikan. Sebab apa?", tanja Dia. "Sebab, baru sadja mereka melihat Kumbakarna jang gagah, agung, besar, kuat bergerak seolah gunung Himalaja kepusat pasukan monjet jang dipimpin Sugriwa". Begitulah adanja. Sjahdan pada hari-hari pertama latihan vokal, seorang guru India mentjatat gending Djanger. Namun apa jang diadjarkan kepada anak-anak dalam persiapan fair mendatang bukan Djanger Bali, tapi Djanger martabak. Tentu Dija memprotes walaupun dia suka martabak. Bisa dipaham: suara orang Bali membawa tembang, bukanlah suara keriting orang India. Walhasil Djangerpun tak sama. Sukurlah achirnja walaupun dengan marah dihati, tjalon-tjalon artis diserahkan kepadanja dan mulailah anak-anak menari-nari disekeliling Dija jang memang Bali. Sehingga sang guru berubah senang, dan lantas berdjabat tangan. Dan konon, untuk sedjenak Bali benar-benar hidup diperbukitan Ahmadabad. "Mereka ini seperti anak-anak kita sendiri. Saja djadi rindu rumah", kata para pedjabat dikonsulat Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus