Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tercatat sebagai provinsi termiskin di Pulau Jawa. Hal ini berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2023. Angka kemiskinan Yogyakarta tercatat sebesar 11,49 persen. Persentase kemiskinan itu berada di atas rerata nasional, yaitu 9,57 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada September 2022, BPS juga mencatat secara rata-rata rumah tangga miskin di Yogyakarta memiliki 4,20 orang anggota rumah tangga. Apabila ditinjau secara rumah tangga, maka garis kemiskinan rumah tangga mencapai Rp 2.315.636,00 per rumah tangga per bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sisi lain, pada 2023 UMP Yogyakarta mengalami kenaikan 7,65 persen yakni sebesar Rp 1.981.782 dibanding UMP tahun 2022 sebesar Rp 1.840.915. Namun, UMP tersebut termasuk nomor buncit kedua setelah Jawa Tengah.
Ketimpangan Sosial di Yogyakarta Tertinggi di Indonesia
Hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2022 juga menunjukkan kesenjangan antara si kaya dan miskin di Yogyakarta makin melebar. Kesenjangan si kaya dan miskin ini diukur oleh BPS melalui rasio gini (gini ratio). Berdasarkan data BPS, rasio gini di Yogyakarta mencapai 0,459.
Apa itu rasio gini? Dilansir dari website resmi BPS, rasio gini adalah metode yang digunakan untuk melihat ketimpangan pendapatan atau pengeluaran penduduk di suatu wilayah. Nilai Rasio Gini berkisar antara 0 hingga 1. Nilai Rasio Gini yang semakin mendekati 1 mengindikasikan tingkat ketimpangan yang semakin tinggi.
Rasio Gini bernilai 0 menunjukkan adanya pemerataan pendapatan yang sempurna, atau setiap orang memiliki pendapatan yang sama. Sedangkan, Rasio Gini bernilai 1 menunjukkan ketimpangan yang sempurna, atau satu orang memiliki segalanya sementara orang-orang lainnya tidak memiliki apa-apa. Dengan kata lain, Rasio Gini diupayakan agar mendekati 0 untuk menunjukkan adanya pemerataan distribusi pendapatan antar penduduk.
Penduduk Miskin Naik
Menurut BPS, jumlah penduduk miskin di Yogyakarta pada September 2022 sebanyak 463.630 orang, naik sekitar 8.900 terhadap Maret 2022.
Meskipun secara persentase lebih kecil, kantong kemiskinan terbesar berada di perkotaan yang mencapai 321.070 orang (10,64 persen). Adapun kemiskinan di pedesaan mencapai 142.570 orang dengan persentase 14 persen.
Garis Kemiskinan di Yogyakarta pada September 2022 tercatat dengan pendapatan per kapita sebesar Rp 551.342 per bulan. Komposisi garis kemiskinan makanan sebesar Rp 398.363 (72,25 persen) dan garis kemiskinan bukan makanan Rp 152.979 (27,75 persen).
Penyebab Ketimpangan
Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkap penyebab tingginya ketimpangan sosial di Yogyakarta. Menurutnya, Yogyakarta adalah kota pelajar dengan banyak universitas yang menjadi jujugan para mahasiswa.
"Artinya banyak pendatang baru sehingga terjadi gap yang cukup lebar. Apalagi sekarang banyak perguruan tinggi yang memasang tarif semakin tinggi, jumlah beasiswa orang yang tidak mampu di perguruan tinggi juga porsinya tidak terlalu besar," kata Bhima kepada Tempo, Minggu, 22 Januari 2023.
Dia melanjutkan, para pendatang baru memiliki kondisi ekonomi yang lebih mapan daripada rata-rata orang Yogyakarta yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian. "Sebagian besar rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian adalah rumah tangga miskin. Selain miskin, profil usianya juga banyak diisi oleh usia non-produktif di sektor pertanian," tutur Bhima.
Ini mengakibatkan pendatang dengan uang relatif banyak dari kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, atau Surabaya, bersekolah ke Yogyakarta. Menurutnya, kondisi itu akan memperlihatkan ketimpangan.
"Nah, ada tren juga di Yogyakarta di mana mereka yang sudah pensiun dari kota-kota besar itu ingin menikmati hidup di Yogyakarta. Jadi, bayangkan ya pensiunan dari perusahaan besar, dari profesional, dari BUMN, nah dengan uang pensiun yang cukup besar mereka membeli properti di Yogya. Jadi apa akibatnya? Ketimpangannya tinggi," beber Bhima.
Mengapa Penduduk Yogyakarta Bahagia?
Budaya nrimo (menerima) menjadi penyebab mengapa Yogyakarta menjadi provinsi yang warganya bahagia. Hal ini diungkap ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara.
"Kenapa ketimpangannya tinggi, kemiskinannya juga (tinggi), tapi di satu sisi kok harapan hidup, kemudian juga kebahagiaannya bagus? Ya itu karena budaya lokal yang disebut nrimo, nrimo ing pandum, jadi artinya dia itu cenderung menerima apa adanya," kata Bhima melalui keterangan tertulis pada Tempo, Minggu, 22 Januari 2023.
Dia menyebut, budaya ini sebetulnya bersifat permisif terhadap kemiskinan. Sebab, budaya tersebut meyakini bahwa kemiskinan adalah pemberian atau harus ikhlas menerima pemberian Tuhan.
"Jadi, ada daerah-daerah dengan budaya nrimo atau budaya permisif, saya bilangnya permisif yang cukup kuat, bahkan mungkin di Nepal, di negara lainnya. Itu yang kemudian memiliki dimensi kehidupan bagi warga lokal (untuk) tidak hanya mengejar keuntungan materialistis," lanjut Bhima.
Namun, dari sudut pandang ekonomi hal tersebut salah. Dari sudut pandang ekonomi, harusnya ada korelasi antara kebahagiaan dan kesuksesan.
"Contohnya apa? Ya negara-negara paling bahagia di dunia adalah negara-negara Skandinavia, ekonominya bagus, tingkat pemerataannya iya (bagus), dari sisi pendapatan per kapita masuk ke negara maju, kemudian juga dari kebahagiaan tinggi," paparnya.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.