Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Tanahair

21 Mei 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisakah kau berhenti berpikir tentang Indonesia? Kemarin pertanyaan itu muncul di kepala saya. Saya ingin bilang, ya, bisa, kenapa tidak. Sebab, saya kadang ingin menghilang ke dalam sebuah lupa, bersembunyi di sudut yang terjauh. Saya ingin memasang tirai, tidur, mungkin bermimpi, dan tak berpikir lagi.

Tapi Indonesia selalu datang. Indonesia selalu mengetuk. Justru ketika kita tak mau dirisaukannya.

Ketidakpastian membuat kita jaga. Saat harapan menjadi sukar, putus asa sangat menakutkan. Saya tak bisa menghindar. Sebuah negeri, sebuah sejarah, sebuah nama. Apa arti semua itu, bagi anda dan saya, apa arti sebuah tanahair?

Saya menuliskan pertanyaan ini di sebuah ruang tunggu bandara asing. Orang ramai. Lewat ke-30 gerbang mereka datang dan pergi. Beberapa hari kemudian mereka, seperti halnya saya, akan melupakan nama kota itu. Yang akan teringat hanya balai tunggu ini, dengan toko buku dan koran, toko kaus bergambar dan minuman keras bebas cukai, restoran roti apit dan kedai suvenir, dinding-dinding berposter Amex atau Visa—hal yang selalu ada di mana saja.

Saya dan mereka adalah orang yang hanya lewat, yang akan menyebut alamat pada nama hotel. Ada yang sedang mencari apa yang asyik di negeri lain, ada yang hendak menyembuhkan sebuah kepedihan di negeri sendiri. Saya termasuk dari kelimun itu: manusia transit. Tapi selalu saja Indonesia mengetuk batok kepala saya. Saya melihat maskapai penerbangan di Asia yang laris dan sibuk, dan saya teringat akan Garuda yang seperti ditinggalkan. Saya melihat sejenak kurs mata uang di meja penukaran, dan saya teringat rupiah yang rapuh. Kagum atau malu, terpesona atau mencemooh, saya ternyata tak bisa berhenti berpikir tentang Indonesia.

Jangan-jangan tanahair bukanlah sebuah nama negeri yang kita tulis dalam formulir imigrasi. Jangan-jangan tanahair bukanlah sekadar sebuah wilayah di dalam peta. Tanahair tampaknya juga bukan sebuah asal-usul: ia tak sekadar datang dari masa lampau. Lalu apa gerangan?

Hari ini saya hanya bisa menjawab: tanahair adalah sebuah proyek yang kita tempuh bersama-sama, kau dan aku. Sebuah kemungkinan yang menyingsing, sebuah cita-cita yang digayuh generasi demi generasi, sebuah impian yang kita jalani dengan tungkai kaki yang kadang capek dan kesadaran yang kadang tanpa fokus. Tanahair adalah sebuah ruang masa kini yang kita arungi, karena ada harapan untuk kita semua kelak. Tanahair adalah sebuah engagement. Kepadanya kita terlibat, dengan dia kita bergulat, dalam sebuah pertalian yang bermula dari entah apa—sebab tak pernah bisa lengkap dijelaskan. Tuan mungkin akan menamakannya ''patriotisme", sebuah kata yang usang, atau tuan akan menyebutnya sebagai ''cinta", sebuah kata yang tak persis pengertiannya, kecuali ketika kita merasakan sakitnya.

Hari-hari ini ada terasa rasa sakit itu, atau lebih kurang dramatis: rasa murung itu. Waktu berjalan dalam cemas—mungkin dengan sedikit harapan yang justru menyebabkan cemas itu kian merundung. Apa yang sedang dan akan dialami oleh Indonesia, sementara bagian Asia lain telah melepaskan diri dari krisis? Tidak banyak yang terjadi, dan tak jelas yang akan terjadi. Ekonomi berjalan seperti dalam tidur, somnabulis yang tak tahu apa yang sebenarnya diperbuat. Pemerintah tak punya program, hanya punya niat. Presiden bicara banyak sekali dan sedikit yang bisa dipercaya. Pemimpin-pemimpin tak menunjukkan mutu. Partai-partai mirip penjarah. Orang-orang beragama saling membunuh. Kekerasan tak kunjung selesai.

Saya ingin berhenti membaca koran. Saya tak tertarik mengikuti televisi. Tapi sementara itu saya tahu bahwa saya tak bisa berhenti berpikir tentang Indonesia, seperti saya tak berhenti berpikir tentang tubuh saya sendiri—bagaimana ia tetap kuat, tetap menarik, dan bisa merasakan hal-hal yang nikmat, yang asyik.

Tanahair dan tubuh: keduanya bisa dibedakan oleh pikiran, tapi tak bisa dipisahkan oleh pengalaman. Keduanya kian lama kian tak bisa saya tampik sebagai representasi saya, apa pun arti ''saya". Tentu saja saya bisa berpindah ke gua stalagtit di tanah Lebanon atau sebuah apartemen di kota tua Praha, mengganti paspor dan kebiasaan makan, tapi bagaimana dengan akumulasi kenangan, ingatan tentang sebuah pengalaman, yang indah ataupun buruk, yang ikut membentuk sebuah tanahair, sebuah engagement?

Kenangan, pengalaman, engagement: kata-kata itu semua menunjukkan bahwa ketika kita berpikir tentang Indonesia, kita tak hanya mengetahui dan menyimpulkan, tapi berdiri, dengan kegembiraan dan kesedihan, dengan waswas dan berharap.

Jangan-jangan kita memang mencintainya. Sebuah cinta yang sulit, tentu, tapi tetap saja sebuah cinta, yang lebih merupakan proses ''bertukar tangkap dengan lepas", untuk memakai kata-kata Amir Hamzah ketika ia menggambarkan sebuah hubungan kasih yang lain. Akhirnya mungkin memang nyanyian Ibu Sud yang benar: tanahair itu, tanahairku, memang tak bisa dilupakan.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus