Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

'Curhat' di Alam Maya

Menerbitkan buku harian di internet menjadi tren generasi baru Indonesia juga.

8 Desember 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AMADHEA Pradnya Pramesti Sastri baru kelas dua SMP di Jakarta. Dia punya situs internet pribadi yang diperbarui isinya setiap saat—seperti layaknya sebuah koran online. Tapi berbeda. Dia tidak menulis berita. Amadhea, yang mengaku diri "the girl of the future," menulis komentar-komentar pendek yang lucu hampir setiap hari, tentang jual-beli lalat kering, tentang kartu kredit, dan tentang kritiknya terhadap dunia orang dewasa.

Amadhea (www.amadhea.com) juga menulis catatan pribadinya yang bisa dibaca siapa saja. "Wah bulan ini Dhea kenyang dengan liburan...," tulisnya pada awal Desember ini.

Selain dengan telepon genggam keluaran terbaru, anak-anak muda sekarang memang punya cara lain untuk memamerkan ksistensi dirinya: sebuah blog di internet. Memadukan teknologi baru dan kebiasaan lama menulis buku harian, blog adalah situs internet milikpribadi yang isinya diperbarui secara rutin dan siap dibaca oleh siapa saja.

Tak hanya di kalangan remaja. Memiliki blog memang sedang ngetren sekarang ini. Tak lama lagi, blog akan menjadi unsur baru dalam setiap kartu nama seseorang, di bawah alamat rumah, nomor telepon, dan alamat e-mail.

Catatan harian memang tidak selamanya bersifat sangat pribadi. Ada banyak catatan harian seseorang yang belakangan diterbitkan menjadi sebuah buku yang luas dibaca. Zlata's Diary, misalnya, ditulis seorang gadis Bosnia yang berkisah tentang suka-duka hidup dalam perang di Balkan. Ada juga Catatan Harian Ahmad Wahib, sebuah renungan perjalanan spiritual pribadi yang sempat menimbulkan kontroversi di Indonesia beberapa tahun silam.

Di tangan generasi baru era internet, buku harian tak lagi perlu berlama-lama disimpan di dalam laci terkunci atau disembunyikan di bawah bantal, tapi serta-merta bisa diterbitkan di internet kapan saja.

Ada ratusan bahkan mungkin ribuan situs pribadi seperti itu dari orang Indonesia. Sebagian di antaranya terdaftar dalam beberapa direktori. Salah satunya bisa diklik darihttp://www.coolnetters.com/indoblog.html. Sederetan nama dan alamat pemilik halaman pribadi, atau disebut blogger, terdaftar di sana.

Mereka menulis kejadian sehari-hari yang mereka alami, membuat renungan, sekadar mengumpat dan memaki, atau membuat analisis dan komentar atas peristiwa serius di sekeliling mereka. Bahkan bisa langsung dikomentari oleh pembacanya.

Bagaimanapun, garis batas antara yang pribadi dan yang publik memang kian lumer. Generasi baru ini lebih terbuka mengungkapkan data dan pandangan pribadi di internet. Salah satu motifnya adalah menjaring sebanyak mungkin teman di dunia maya. Sebuah blog akhirnya juga menggantikan peran korespondensi, surat-menyurat via pos, di masa lalu.

Andjarsari Paramaditha, misalnya, sudah bukan remaja lagi. Dia tidak sungkan memaparkan data pribadinya. Dalam blog miliknya (detta-100.blogspot.com), dia mengatakan lahir di Jakarta pada 5 Juni 1977 dan kini tinggal di Aachen, Jerman, serta bekerja untuk kantor berita keuangan Bloomberg. Telah kawin empat tahun lalu tapi belum punya anak, dia mengaku berkenalan dengan suaminya di internet. Mereka berpacaran selama lima bulan secara online sebelum akhirnya bertemu sungguhan.

Andjarsari menggambarkan dirinya dalam "100 things about me" antara lain seperti ini: "Say Islam tapi tidak religius. Percaya pada Tuhan, tapi tidak pada agama. Saya percaya pada karma dan adanya makhluk luar angkasa." Dia juga mengaku belajar taekwondo, memelihara kura-kura bernama Pablo, dan "pertama kali dicium pada ulang tahun ke-15."

Baik sebagai tumpahan unek-unek maupun sebagai sarana korespondensi, blog memang makin populer belakangan ini. Menurut Roy Suryo, pengamat multimedia dan internet, akar tradisi ini telah dimulai pada 1990-an lewat popularitas organizer, mesin pencatat elektronik, yang membuat orang terbiasa dengan budaya tanpa kertas. Tapi internet kemudian berjasa besar memperluasnya. Perkembangbiakan blog, menurut Roy, berjalan selaras dengan makin luasnya akses internet, antara lain dengan maraknya warung internet.

Tapi yang tidak bisa diabaikan dalam memperluas tren itu adalah kemudahaan untuk menerbitkan segala sesuatu di internet. Di masa lalu, hanya orang yang menguasai bahasa pemrograman komputer yang bisa membuat situs pribadi di internet. Kini setiap orang bisa melakukannya. Di internet tersedia banyak situs yang memungkinkan seseorang memiliki server secara gratis dan bahkan membuat blog secara otomatis—dia hanya perlu menulis dan komputer sendiri yang menayangkannya di internet. Setiap orang praktis kini bisa menjadi wartawan, penulis, sekaligus penerbit.

Menurut Enda Nasution, pemilik "Go Blog" (http://enda-aseli.tripod.com), yang tinggal di Thailand, saat ini di Indonesia sudah terdaftar sekitar 100 blogger. Mereka rata-rata berusia 20-an tahun, meskipun ada juga yang belasan dan 30-an tahun. Mereka umumnya adalah mahasiswa dan anak sekolah, orang yang bergerak di bisnis warung internet, serta pembuat situs internet. Jakartabelakangan ini tren serupa marak di kota-kota kecil Jawa dan luar Jawa.

Mohammad Syafiuddin, seorang blogger dan peminat multimedia, mengatakan bahwa pemilik situs pribadi umumnya menjalin komunikasi yang intens dengan sesamanya. Tak hanya di dunia maya, mereka terkadang bertemu secara langsung, membentuk sebuah komunitas kecil

Di masa lalu, situs pribadi umumnya hanya berislink-link menuju situs internet lain yang menjadi minat si pemiliknya. Situs pribadi itu dikenal dengan sebutan weblog—sebuah catatan perjalanan mengarungi samudra internet—yang kemudian hanya disingkat menjadi blog, istilah yang dipopulerkan oleh Jorn Barger pada tulisan, dan ungkapan jiwa pemiliknya.

Rebecca Blood, seorang blogger pionir dan pemilik "Rebecca's Pocket" (http://www.rebeccablood.net), menyebut fenomena ini mewakili gelombang kebudayaan baru. "Mewakili perpaduan antara kemajuan teknologi multimedia dan visi pribadi orang tertentu," tulisnya, "Blog adalah cerminan keterbukaan dan keterusterangan."

Situs pribadi di internet adalah area pribadi yang dibagi untuk publik. "Sepenuhnya merefleksikan pribadi pemiliknya," tulis Rebecca, "Kepentingan, opini, situs-situs yang dipilih, dan komentar-komentar yang dibuat menjadi jiwa blog itu sendiri."

Kebanyakan blog hanya berisi teks dan link. Ini bisa dipahami karena menayangkan teks di internet hampir tidak membutuhkan kecanggihan apa pun. Meski begitu, ada banyak blogger yang tak puas hanya menayangkan teks, tapi juga merancang situsnya dengan gambar dan grafis yang memikat mata. Lihatlah misalnya situs http://www. avocadolite.com/ milik Ari Widjanarko dan Thalia, pasangan yang baru pindah dari New York ke Indonesia. Dalam situs yang kaya grafis itu mereka tidak saja memuat pesan-pesan pribadi, tapi juga portofolio mereka sebagai desainer dunia maya. Motifnya jelas: untuk mempromosikan bisnisnya.

Kebanyakan situs pribadi juga hanya berisi cuap-cuap pribadi, hal-hal remeh, dan dengan tata bahasa yang kacau. Namun ini pun mulai berubah. Beberapa blog ditulis oleh penulis atau pribadi yang serius. Berbeda dengan media tradisional, artikel mereka bisa langsung diterbitkan dan bahkan langsung dikomentari oleh pembacanya.

Mengingat perannya sebagai alat korespondensi yang cepat, blog juga bisa menjadi sarana tukar pikiran yang sehat. Orang-orang dengan minat dan perhatian yang sama, dari pengumpul prangko hingga pakar fisika nuklir, bisa membentuk komunitas kecil, menulis, mengumpulkan bahan di internet, dan memperdebatkannya.

Setiap blog umumnya juga mencantumkan teman-teman blogger lain dalam situsnya. Makin populer seorang blogger, mungkin karena isinya yang bermutu atau menarik, makin banyak dia disebut oleh blogger lain. Tak aneh jika seorang blogger yang kondang adalah ibarat seseorang yang duduk dalam posisi puncak dari sebuah rantai multilevel marketing. Dan ini mengundang orang-orang yang berjiwa bisnis untuk memanfaatkannya sebagai sarana pemasaran yang digdaya.

Tapi tak perlu seserius itu. Bagi banyak orang, blog tak lebih merupakan sarana katarsis, tempat mengobrol dan melestarikan budaya ngrumpi tanpa dibatasi ruang dan waktu.

Itu pulalah yang menjadi motif seorang gadis Indonesia yang tinggal di New York. Dia hanya memperkenalkan diri dengan nama sLesTa, masih berusia 18 tahun, dan bekerja di perusahaan ekspor-impor di Manhattan. Dalam kesendiriannya di negeri asing, dia menulis 5 Desember lalu bagaimana dia merayakan Idul Fitri. "Saya memasak rendang sapi dan opor ayam, tapi tidak sempat membuat ketupat." SLesTa tak sempat pergi ke masjid karena hujan salju.

Hanya itu. SLesTa mengaku sangat peduli dengan privasinya, tapi tak bisa menahan diri menerbitkan unek-uneknya secara terbuka di internet. "Saya kesepian jauh dari orang tua dan teman-teman," tulisnya.

Bina Bektiati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum