SURAT itu masing-masing hanya selembar. Tapi isinya bisa membuat firasat Jaksa Agung M.A. Rachman nyata terwujud. Pada 11 September lalu, ketika pertama kali diperiksa Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, Rachman tersentak kaget. Melihat foto sebuah rumah mewah di Graha Cinere yang diacungkan ke mukanya, ia terenyak. Dan sambil memijit dahinya yang berkerut-kerut, sang Jaksa Agung berkata lirih, "Lugur aku." Lugur, dalam bahasa Jawa Timur, berarti jatuh, ambruk.
Kini, tanda-tanda lugur itu kian nyata. Pada 3 Desember lalu, melalui surat yang masing-masing selembar itu, Komisi Pemeriksa telah mengirimkan laporan tentang hasil pemeriksaan harta Rachman kepada Presiden Megawati dan Kepolisian RI. Isinya gawat buat Rachman. Dalam laporan yang ditujukan ke Istana, Komisi menilai terdapat indikasi tindak pidana dalam perolehan kekayaan Rachman. Selain itu, sang Jaksa Agung juga dinilai telah melanggar sumpah jabatan, dan sengaja menyembunyikan kekayaannya. Karena itulah, Komisi menyarankan kepada Presiden "agar Sdr. M.A. Rachman, SH dapat diberhentikan sementara dari jabatan Jaksa Agung RI".
Dalam suratnya kepada Kepala Kepolisian RI, Komisi menyatakan petunjuk tindak pidana itu terlihat jelas pada kepemilikan rumah di Graha Cinere, Depok, dan satu unit mobil Toyota Soluna. Untuk itu, selanjutnya Komisi minta polisi segera menggelar penyelidikan dan penyidikan.
Tapi, entah karena masih disibukkan oleh komplotan pengebom Bali, Markas Besar Kepolisian RI (Mabes Polri) belum juga bergerak. Sudah dua pekan laporan Komisi sampai ke meja polisi, tapi tanda-tanda pemeriksaan belum juga kunjung terlihat.
"Jalan kasus ini masih panjang," begitu pagi-pagi diingatkan Wakil Direktur Tindak Pidana Korupsi Komisaris Besar Murawi. Soalnya, kata Murawi lagi, polisi harus mencari data yang kuat sebagai bukti awal. Selain itu, mereka juga masih mempelajari laporan Komisi. Namun, apa kekurangan dari temuan Komisi itu, Murawi enggan menjelaskan. Yang baru jelas, Senin ini Mabes Polri mengundang anggota tim pemeriksa guna meminta penjelasan lanjutan. "Kalau bukti sudah cukup, baru Jaksa Agung kita panggil," Murawi menambahkan.
Polisi memang terkesan bersikap hati-hati. Maklumlah, yang bakal diusut masih duduk di posisi nomor satu institusi kejaksaan negeri ini—sebuah kedudukan yang mestinya amat terhormat. Apalagi, dari Istana, Presiden Megawati juga belum kunjung menyalakan sinyal akan segera mencopot Rachman. Bahkan sebelumnya Mega mengeluarkan pernyataan yang terkesan melindungi bawahannya itu. Baru belakangan dikabarkan sikap Mega sedikit bergeser. Kepada sejumlah orang dekatnya beberapa pekan lalu, ia "meralat" ucapannya terdahulu dan menyatakan akan menunggu laporan Komisi. "Tak mungkin Presiden mengabaikan laporan Komisi," ujar Dwi Ria Latifa, anggota Fraksi PDIP yang dikenal dekat dengan Mega.
Ketua Komisi, Jusuf Syakir, mengatakan surat yang telah dilayangkannya itu adalah bagian dari prosedur tetap. Artinya, setiap kali menemukan indikasi tindak pidana pada perolehan harta pejabat mana pun, laporan serupa itulah yang akan mereka kirimkan kepada atasan yang bersangkutan. "Soal mau memecat atau tidak, itu urusan atasannya," kata Jusuf beberapa waktu lalu.
Petrus Selestinus, salah satu anggota Komisi yang getol menyelidiki kasus ini, hakul yakin jika polisi serius, banyak temuan tim pemeriksa yang bisa diangkat menjadi bukti awal penyidikan. Misalnya, polisi dapat mulai bergerak dengan menyelidiki asal-muasal dana pembelian rumah di Graha Cinere. Telah ditemukan Komisi sebelumnya, tanah rumah itu dibayar memakai bilyet giro Bank BNI, Bank Lippo, dan ANK Bank, total senilai Rp 135 juta.
Karena keterbatasan wewenang, investigasi Komisi hanya berhenti sampai di situ. Mereka tak bisa bergerak lebih jauh, misalnya membuka rekening Rachman di bank. Menurut undang-undang, kewenangan itu dimiliki polisi untuk kepentingan penyidikan. Itu pun hanya bisa digunakan jika yang bersangkutan telah ditetapkan sebagai tersangka. "Karena itu, tak ada cara lain, polisi harus segera memeriksa Rachman," Petrus mendesak.
Petrus juga berpandangan bahwa polisi bisa menjerat Rachman dengan melacak deposito Rachman senilai Rp 800 juta. Dalam pemeriksaan Komisi, asal-usul duit itu terbukti sulit dipertanggungjawabkan. Belum lagi, yang mencurigakan, Rachman mengaku mengenal baik Suryo Tan dan Najib Attamimi, dua pengusaha yang disebut Rachman sendiri berprofesi sebagai "agen perkara" di Gedung Bundar Kejaksaan. Dari sinilah, Petrus menduga garis hubung dengan unsur pidana bisa diperoleh. "Misalnya, apakah ada kaitan antara uang yang diperoleh dan soal memuluskan perkara di kejaksaan," kata Petrus lagi.
Baik Suryo maupun Najib berulang kali membantah telah memperdagangkan perkara di Gedung Bundar. Rachman sendiri mengaku telah pasrah. Kepada wartawan yang mengerubutinya pada hari Lebaran lalu, ia berkata, "Tuhan yang menentukan semua, siapa yang benar dan siapa yang salah." Tapi, ketika ditanya ihwal kesiapannya diberhentikan Presiden, nada suaranya tak urung meninggi juga, "Anda membawa misi siapa, kok bertanya seperti itu?"
Namun, memeriksa seorang Jaksa Agung atas sebuah tuduhan korupsi, selain bisa jadi tonggak sejarah, memang juga bisa jadi masalah. Tingginya kekuasaan sang Jaksa Agung dan begitu kentalnya faktor politik salah-salah bisa membuat pemeriksaan macet di tengah jalan. Karena itulah, pendapat anggota Komisi Ombudsman Teten Masduki perlu didengar. Bahwa sebelum diperiksa polisi, Rachman seharusnya dicopot dulu dari kursi Jaksa Agung. "Kalau tidak, konflik kepentingan bakal tak terelakkan" ujarnya.
Nezar Patria
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini