Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Agar Tubuh Tak Miring Lagi

Pengobatan skoliosis bergantung pada kondisi. Terapi olahraga menjadi salah satu alternatif mengurangi kelengkungan tulang.

28 Januari 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMUEL Melki sudah biasa dipandang aneh oleh orang lain. Sebagian besar orang yang pertama kali bertemu dengannya memandangnya dengan bingung. "Karena tubuh saya miring ke kanan," kata Samuel, 27 tahun, Kamis pekan lalu.

Ia sudah merasakan tubuhnya miring sejak di bangku sekolah menengah pertama. Lantaran tak ada biaya, orang tuanya enggan membawanya ke dokter. Samuel pun jadi tak mengacuhkan kondisi tubuhnya. Namun lama-kelamaan beberapa masalah muncul. Dadanya menjadi sering sesak, gampang lelah, dan pandangannya ikut miring. "Kata teman-teman, badan saya memang makin lama makin miring," ujar Samuel, yang tinggal di Penjaringan, Jakarta Utara.

Dua tahun lalu, ia akhirnya memeriksakan kondisinya ke rumah sakit. Dokter yang mengecek kemudian merujuk Samuel ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Samuel divonis menderita skoliosis. Sudutnya sudah lumayan berat, 54 derajat. Desember 2016, Samuel menjalani operasi. Punggungnya dibedah, postur tulang belakangnya diperbaiki. "Sekarang sudah enggak miring," ujarnya.

Skoliosis adalah ketidaknormalan tulang belakang. Pada orang normal, tulang akan tumbuh ke atas. Jika dilihat dari depan atau belakang, bentuknya lurus dari leher sampai tulang ekor. Kalau dilihat dari samping, susunannya melengkung pada bagian atas dan bawah. "Ini berfungsi menjaga keseimbangan," kata dokter spesialis ortopedi, Ifran Saleh.

Pada penderita skoliosis, tulang yang semestinya tumbuh ke atas itu berbelok ke sisi kanan atau kiri sehingga, kalau dipotret dengan sinar-X, bentuknya mirip huruf S atau C. Bentuk ini membuat bahu, punggung, atau pinggang penderita menjadi tak rata. Kalau dilihat dengan mata telanjang, biasanya bahu terlihat tinggi sebelah, ada tonjolan di bagian punggung, dan jika membungkuk seperti rukuk ada bagian tulang yang lebih tinggi.

Sebanyak 80-85 persen kasus skoliosis disebut sebagai idiopatik atau tak diketahui penyebab pastinya. Biasanya kelainan tulang ini terjadi dalam proses pertumbuhan. Sisanya terjadi karena masalah lain, misalnya trauma karena kecelakaan, kelainan pertumbuhan tulang akibat tuberkulosis atau kanker, atau bawaan sejak lahir yang terjadi karena masalah saat pembentukan tulang dalam kandungan.

Ada tiga tingkatan pengelompokan skoliosis. Menurut Ifran, kalau sudut kelengkungannya kurang dari 20 derajat masih dikategorikan sebagai variasi bentuk tulang. Jika kelengkungannya 20-50 derajat termasuk sedang dan 50 derajat ke atas, seperti yang dialami Samuel, tergolong berat. Selama tulangnya masih tumbuh, lengkungan ini akan terus bertambah berat. "Kalau sudah dewasa, bisa bertambah, tapi tak banyak," ujarnya.

Menurut dokter spesialis kesehatan olahraga Michael Triangto, meski kelainan ini umumnya menyerang sejak anak-anak, biasanya baru disadari ketika usia telah dewasa, sekitar 20-30 tahun. Sebab, saat itu penderita sudah mulai bekerja dan aktivitas fisiknya sudah menurun, lebih banyak duduk ketimbang melakukan olah tubuh. "Biasanya mengeluh badannya kaku-kaku di bagian leher dan pinggang," kata Michael. "Tapi, dalam banyak kasus, rasa nyeri ini sering disalahartikan. Misalnya, kaku di leher dikira kolesterol tinggi atau sakit di pinggang disangka saraf kejepit."

Dokter spesialis saraf Henry Riyanto menuturkan rasa sakit ini disebabkan oleh distribusi berat badan yang tak seimbang lantaran tulangnya melengkung. Beban yang lebih berat membuat lebih mudah menderita gangguan sendi atau cedera sendi. Cedera ini mengakibatkan radang sehingga akhirnya menimbulkan nyeri. Peradangan ini bisa merembet ke saraf-saraf yang ada di belakangnya. "Muncul rasa baal atau gangguan sesuai dengan persarafan yang terkena, bisa gangguan sensorik, motorik, sampai gangguan otonom, misalnya buang air kecil, besar, atau berkeringat," ujarnya.

Tapi, menurut dokter spesialis ortopedi Rahyussalim, rasa nyeri tersebut juga bisa muncul sejak masih kanak-kanak jika sudut kelengkungannya sudah berat, lebih dari 40 derajat. "Biasanya akan muncul keluhan nyeri pinggang, pernapasan cepat, sesak, dan kelemahan tungkai," tuturnya.

Kalau penderitanya sudah memiliki keluhan, dokter baru akan melakukan penanganan. Penanganan skoliosis ini tak sederhana, salah satunya bergantung pada derajat kelengkungannya. Menurut Ifran, jika derajat kelengkungannya 20-50 derajat dapat menggunakan brace (penyokong) berbentuk seperti korset kaku. Fungsinya mirip seperti pengikat pohon bengkok. Pada simbol ortopedi, pohon yang bengkok diikatkan ke sebuah kayu agar tumbuh lurus.

Pada tulang yang masih dalam pertumbuhan, penyokong digunakan menopang tulang tersebut agar tumbuh lebih lurus seperti semestinya. "Maka brace digunakan hanya saat usia pertumbuhan. Setelah 20 tahun ke atas sudah tak menggunakan," kata Ifran.

Penggunaan alat ini juga mesti diperhatikan, terutama komitmen dari anak. Sebab, penyangga yang kaku tersebut digunakan minimal 23 jam sehari, hanya dicopot saat mandi. Penggunaannya juga dievaluasi enam bulan sekali. "Harganya juga lumayan mahal, paling murah Rp 8 juta," ujar Irfan, yang berpraktik di RSCM.

Selain menggunakan penyokong, menurut Michael, ada cara lain yang bisa dilakukan untuk mengoreksi kelengkungan, yakni terapi olahraga. Karena tubuh penderita skoliosis miring ke satu sisi, otot tubuh menjadi tak seimbang. Sisi yang condong lebih kuat dan lebih pendek dibanding sisi satunya. Karena itu, latihan yang dilakukan mesti menguatkan otot yang lebih lemah tersebut dan meregangkan otot-otot yang memendek.

Saat Tempo mengunjungi klinik Michael di Jakarta Barat awal Januari lalu, seorang pasien, Sumarwati, 80 tahun, sedang menjalani terapi ini. Latihannya sederhana, di antaranya ia diminta berjalan menyilang, menarik tali, tengkurap, lalu mengangkat pergelangan kaki. "Latihannya sangat personal, tergantung lengkungannya, dan mesti dilakukan sendiri tiap hari di rumah," kata Michael.

Julia Fransisca, yang sudah lebih dari dua tahun menjajal terapi ini, merasakan manfaatnya. Dari semula skoliosisnya mencapai 40 derajat, kini sudah berkurang menjadi 15 derajat. "Dulu saya berdiri saja pusing, jalannya miring dan mesti pakai kursi roda. Tapi sekarang sudah bisa bekerja," kata pengusaha yang tinggal di Ancol, Jakarta Utara, ini.

Namun terapi ini punya keterbatasan. Selama latihan enam bulan, rata-rata kelengkungan sudut yang dikurangi sekitar 7 derajat. "Tapi paling tidak dengan itu bisa mengurangi, katakanlah yang tadinya 15 derajat jadi bisa 8 derajat, lebih ringan," ujar Michael.

Kalau kelengkungannya sudah berat, lebih dari 40 derajat, dokter menyarankan operasi. Menurut Rahyussalim, operasi dilakukan dengan membedah punggung, lalu memperbaiki tiap segmen tulang belakang dan memasanginya dengan sekrup agar posisinya tetap. Dengan operasi ini, tulang belakang yang melengkung bisa lebih lurus, meski tak sampai normal. "Tak bisa sampai normal karena terkait dengan toleransi tulang dan melihat jangan sampai ada sistem saraf yang terganggu," tuturnya.

Seperti pada Samuel, operasi yang dilakukan masih menyisakan kelengkungan 15 derajat. Meski demikian, ini jauh lebih baik daripada kondisinya sebelum operasi. "Bagian pinggulnya masih miring sebelah, tapi paling tidak badan saya sudah tak miring ke kanan lagi," ucapnya. Nur Alfiyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Ā© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus