Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KITA hanya melihat layar hitam. Lalu ada suara Paul Agusta di latar belakang. Dengan lembut, ia menyitir sajak demi sajak karangan ayahnya, Leon Agusta, semasa hidup. Tanpa visualisasi gambar, larik-larik puisi Leon justru jadi lebih bersuara dan meninggalkan gema. Yang paling kuat, sajak yang dibacakan Paul pada pengujung film: Akankah esok masih datang pagi/ Membawa salam/ Dari nama yang terabaikan?/ Semua sudah dimaafkan/ Sebab kita pernah bahagia.
Dua baris terakhir puisi "Suasana" yang ditulis Leon pada 2010 itu sekaligus menjadi judul untuk film dokumenter tentang Leon Agusta garapan Paul bersama sutradara asal Jerman, Katia Engel. Sebenarnya Katia sudah mulai mengerjakan film ini bersama Leon sebelum penyair itu berpulang. Setelah kematian Leon pada Oktober 2015 di Padang, Paul, yang juga sutradara, melibatkan diri menyelesaikan tribute untuk ayahnya itu. "Ini pengalaman membuat film yang paling penuh emosi dan menantang. Saya tak mungkin menyelesaikannya sendiri tanpa Katia," ujar Paul saat pemutaran film di Kinosaurus, Kemang, Jakarta Selatan, Sabtu dua pekan lalu.
Sajak-sajak Leon menjadi penyambung alur film ini. Dibuka dengan sajak "Pintu Gerbang" (1979), yang kemudian mengantarkan kita pada kisah tentang rumah masa kecil Leon di Sigiran, kampung permai di tepi Danau Maninjau, Sumatera Barat. Lalu rekaman suara Leon dari tahun 1973 diputar. Leon bercerita tentang awal mula ia menulis. "Kalau tidak ada civil war, saya sekarang jadi guru, bukan penyair," ucapnya.
Perang sipil yang dimaksudkan Leon adalah peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat. Kejadian itu merenggut nyawa adik lelaki dan ayahnya. Ini membekas benar pada Leon dan menjadi salah satu akar emosinya saat menulis sajak. Beberapa sajak Leon tentang peristiwa ini antara lain "Kenapa Tak Pulang, Sayang?" (1962), "Kata Pengantar Hukla" (1977), dan "Lintasan Kenangan" (1977).
Lalu Paul membacakan sajak "Di Penyeberangan" (1979). Sajak ini menjadi pengantar sebelum layar menampilkan rekaman video Leon saat berbicara tentang keresahannya atas dunia seni. "Indonesia harus kembali kepada inti puisi dan kebudayaan. Sekarang rakyat berenang dalam air mata darah," ucap Leon.
Lahir pada 1938, Leon sudah aktif berkesenian sejak masih sekolah. Karya pertamanya pada 1958 ditolak tabloid. Ia sempat menjadi guru sekolah menengah pertama di Pekanbaru, tapi kemudian memutuskan berfokus di dunia seni. Leon adalah salah satu penanda tangan Manifesto Kebudayaan, pendiri Bengkel Teater Padang, serta telah membukukan beberapa kumpulan sajak dan prosa. Ia mendapat julukan penyair biru, karena sajak-sajaknya dinilai tak keras atau menyindir tapi mengena.
Paul menuturkan narasi film ini berbahasa Inggris. Film dokumenter ini memang dibuat dari perspektif seorang anak tentang ayahnya. Paul adalah anak Leon dari istri ketiganya, Maggie Agusta. Dengan Paul sebagai pemandu, kita dapat masuk sangat dekat dalam kehidupan Leon. Paul mengajak kita menelusuri jejak kehidupan Leon. Salah satu sumber utama tentu Paul sendiri, yang dengan rinci mengingat berbagai momen bersama ayahnya.
Selain itu, Paul mewawancarai ibunya, Maggie, yang dulu bersedia datang ke Indonesia untuk menjadi istri ketiga Leon. Maggie mengenang saat terakhir kehidupan Leon. "Dia sedang menulis esai tentang revolusi mental. Namun ia makin memudar dan esai itu tak selesai," ucap Maggie.
Paul juga mendatangi rumah Leon di Maninjau, Sumatera Barat, untuk berbicara dengan adik Leon tentang peristiwa PRRI. Lalu mewawancarai Lisa Agusta, istri kedua Leon yang akrab dipanggil oleh Paul sebagai Mama. Ada pula beberapa seniman sahabat Leon, seperti Ibrahim Ilyas dan Mustafa Ibrahim, yang ditemui Paul di Taman Budaya Padang, tempat Leon dulu aktif berkesenian.
Banyak momen hening dalam film ini. Saluang menyayat tinggi, sementara kamera dengan statis menyorot detail rumah masa kecil Leon, seperti gorden, dinding terkelupas, dan sampan di tepi danau. Ini, dengan indah, mewakili rasa kehilangan dan rindu.
Di antaranya, Paul membacakan sajak. Beberapa sajak ia bacakan langsung di depan orang-orang yang ia wawancarai. Momen ini menyentuh. Misalnya saat Lisa termangu dan menerawang kala Paul membacakan sajak Leon, "Surat Buat Lisa, Istriku". Namun tak semua sajak perlu visual. Dan justru itu bagian terbaik dari film ini. "Adalah ide Katia untuk menempatkan layar hitam saja saat pembacaan sajak. Kata-kata dalam sajaknya sudah kuat," ujar Paul.
Moyang Kasih Dewimerdeka
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo