Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat masih lajang, Tya Ariestya tak memusingkan urusan haid. “Enggak teratur, tapi saya enggak pernah ngitung,” katanya seusai acara Fertility Science Week yang diadakan klinik Morula IVF Indonesia di Jakarta, pertengahan bulan lalu.
Tya, 32 tahun, baru menyadari jadwal datang bulannya benar-benar kacau setelah menikah, empat tahun lalu. Siklus menstruasi aktris dan mantan atlet taekwondo ini kadang sekitar 40 hari, bahkan pernah sampai empat bulan.
Tya divonis menderita sindrom ovarium polikistik—biasa disebut polycystic ovary syndrome atau PCOS— yakni kelainan pada indung telur. “Dokter bilang saya bisa susah punya anak,” ujarnya. Benar saja. Satu setengah tahun menikah, usaha Tya dan suaminya, Irfan Ratinggang, memiliki momongan gagal. Pasangan itu pun menjalani- program bayi tabung atau in vitro fertilization (IVF).
Dokter spesialis kebidanan dan kandungan Arie Adrianus Polim mengatakan 10-15 persen perempuan usia subur mengalami masalah PCOS. “Kelainan ini menjadi salah satu penyebab infertilitas,” ucapnya.
Secara harfiah, ovarium polikistik diartikan sebagai timbulnya banyak kista berukuran kecil di indung telur. Namun, menurut dokter spesialis kebidanan dan kandungan, Caroline Hutomo, istilah ini tak tepat. Tidak ada kista yang muncul, hanya folikel yang berhenti tumbuh. Folikel adalah pembungkus yang bertugas memberi nutrisi dan menjaga sel telur.
Kelainan ini terjadi akibat ketidakseimbangan hormon estrogen, progesteron (hormon wanita), serta androgen (hormon pria). Androgen, yang semestinya lebih rendah dalam tubuh perempuan, justru lebih tinggi ketimbang estrogen dan progesteron. Akibat ketidakseimbangan ini, sel telur tak berovulasi alias tidak matang.
Karena sel telur tidak matang, folikel yang membungkusnya tak membesar. Tubuh meresponsnya dengan tidak membiarkan sel telur itu keluar. Akibatnya, folikel-folikel kecil yang berisi sel telur menumpuk. “Jadi berimpitan,” kata Caroline. Kehamilan sulit terjadi karena gerak sperma untuk membuahi sel telur terhalang.
Kalaupun terjadi kehamilan, menurut Arie, ada risiko besar keguguran. Dampak ketidakseimbangan hormon membuat produksi progesteron tak cukup. Padahal hormon tersebut antara lain berfungsi memperkuat kehamilan. “Agar kehamilannya kuat, harus dibantu,” dia menjelaskan.
Sel telur yang urung dilepaskan membuat tubuh tak memberikan sinyal kepada rahim untuk membuang cadangan makanan bagi janin. Setiap waktu, tubuh perempuan memasok nutrisi yang ditimbun di rahim untuk bersiap jika ada janin yang tumbuh di sana. Nutrisi akan dibuang dalam bentuk darah haid jika sel telur yang dilepaskan tak dibuahi sperma. Lantaran sel telur tak dilepaskan, cadangan makanan itu akhirnya tidak dikeluarkan. Jadwal datang bulan pun jadi berantakan.
Pada sistem reproduksi normal, jarak dari haid hari pertama ke datang bulan berikutnya adalah 21-35 hari. Pada para penderita sindrom ovarium polikistik, siklusnya lebih dari 35 hari. “Bisa lima bulan sekali, bisa enam bulan sekali,” ucap dokter spesialis kebidanan dan kandungan, Huthia Andriyana. Kemungkinan lain, sekalinya haid, darah keluar terus-menerus.
Masalah hormonal tersebut menimbulkan beberapa gejala lain. Hormon androgen yang berlebihan memicu pertumbuhan rambut berlebih, seperti di dada dan punggung, serta membuat muka berminyak dan berjerawat. Ketidakseimbangan hormon juga berdampak timbulnya rasa cemas atau depresi serta gangguan tidur dan penambahan berat badan. Ancaman yang lebih seram adalah meningkatnya risiko kanker payudara lima kali lipat dan kanker rahim bagian dalam empat kali lipat. Menurut Arie, ini terjadi lantaran hormon pada perempuan tak beristirahat. “Karena tidak haid, hormonnya bekerja terus,” katanya.
Ketidakseimbangan hormon, Arie menambahkan, juga akan merusak hormon insulin. Insulin mengubah glukosa menjadi energi yang disebarkan ke seluruh tubuh. Hormon ini juga membantu tubuh menyimpan energi. Ketika insulin rusak, tubuh tak bisa mengelola gula yang masuk. Akibatnya, muncullah diabetes di usia dini. Arie mengungkapkan, penyebab orang usia 30-40 tahun terserang sakit gula adalah PCOS dan faktor keturunan.
Belum diketahui secara pasti penyebab ketidakseimbangan hormonal yang mengakibatkan sindrom ovarium polikistik ini. Namun salah satu dugaan pemicunya adalah resistansi terhadap insulin, yang menyebabkan penambahan berat badan. Pemicu lain berkaitan dengan genetik.
Arie menyebutkan separuh penderita sindrom itu adalah perempuan yang mengalami kelebihan berat badan. Kepada mereka yang menderita masalah tersebut, ia menyarankan perbaikan pola hidup. “Dikurusin. Mesti olahraga dan diet,” tuturnya. Jika cara ini tak berhasil, barulah dibantu obat yang mendorong pematangan sel telur. Untuk mereka yang menderita sindrom ini karena faktor genetik, satu-satunya jalan adalah mengkonsumsi obat. Tapi menjaga gaya hidup sehat jangan sampai dilupakan. “Karena kalau mereka gemuk, sindromnya akan makin parah,” ucap Arie.
NUR ALFIYAH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo