Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Ketika Malaysia Mendidih

Sebuah novel penulis Malaysia dengan latar belakang keriuhan politik 1998, saat Anwar Ibrahim ditangkap. Bernice Chauly menulis dengan jujur.

5 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

We had come face to face with a reckoning, as if we had to pay for all our sins in one go and yet find redemption at the same time…. Thousands had woken up, but no, this wasn’t like Indonesia where Suharto had resigned….

DEMIKIAN Bernice Chauly, penulis Malaysia, berkisah dalam novel Once We Were There. Ini adalah kalimat tokoh protagonis yang bernama Delonix Regia, nama yang tak umum di Malaysia, karena ayahnya adalah penggemar tumbuhan. Segala yang ditampilkan Bernice dalam novel ini adalah sesuatu yang “tak biasa”, paling tidak untuk pembaca Malaysia.

Pada 1998, ketika Indonesia sedang mengalami euforia atas turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan, Malaysia juga memiliki drama politiknya. Seperti Indonesia, Malaysia guncang dengan kursnya yang melorot terhadap dolar. Pertikaian di Malaysia dimulai dengan pemecatan Wakil Perdana Menteri Anwar Ibrahim pada September 1998. Anwar dituduh berbuat sodomi, lantas ditan gkap, dan tak lama kemudian muncul fotonya dengan mata biru habis dihajar di penjara. Seluruh dunia berang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


 

Once We Were There

Penulis: Bernice Chauly

Penerbit: Epigram Books, 2017

Tebal: 368 halaman

 


 

Pada saat inilah novel dibuka, ketika Delonix dan kawan-kawan berada di tengah keramaian unjuk rasa yang mereka namakan “Reformasi”. Mereka membela Anwar; mereka menghajar pemerintah dan segenap pendukungnya. Media yang kritis—tempat Delonix bekerja—ditutup. Del, yang terasa betul sebagai alter ego penulisnya, yang pernah bekerja sebagai wartawan, dengan emosional menyatakan itulah hari-hari yang menentukan.

Sejarah mencatat bahwa saat itu Malaysia masih dipimpin Mahathir Mohamad dan Barisan Nasional, sementara Anwar masih mengalami berbagai derita politik hingga tahun lalu. Tapi novel ini tak terus-menerus berisi kepal tangan para demonstran dan perjuangan para wartawan. Pada dasarnya, ini adalah novel tentang cinta kasih.

Del berasal dari kalangan menengah-atas yang menetap di daerah elite Kuala Lumpur. Bahkan Omar, kekasihnya yang kelak menjadi suaminya, adalah bagian dari kelas atas—kuliah di Inggris, memiliki pulau, kira-kira semacam “Crazy Rich Asian” versi Malaysia—yang kembali ke Kuala Lumpur karena “ingin mengubah Malaysia”. Mereka sangat kosmopolit, tak lagi meributkan latar belakang ras, karena lahir dari perkawinan dari berbagai etnis dan ras.

Del dan Omar bertemu begitu saja di sebuah pagi, ketika Del dalam keadaan mabuk sehabis menenggak pil ekstasi dan berbagai macam alkohol, sementara Omar pagi itu tengah resah. Dia menegur gadis berwajah berantakan itu. Dan pertemuan itu berakhir di tempat tidur.

Seks dan romansa cukup kental dan berulang-ulang: antara Del dan pacarnya; antara Marina—seorang tokoh transgender—dan pelanggan; antara si A dan si B. Semua berbaur di antara kehidupan hedonistik para tokoh dan krisis politik. Seks terasa sebagai katarsis, bukan untuk tujuan erotika, tapi Bernice memperlakukan adegan-ade-gan ini dengan efektif.

Kemudian kita dibawa ke sebuah plot baru. Del menikah dengan Omar dan mereka mempunyai putri cantik bernama Alba. Persoalan menjadi personal karena Alba hilang (kecurigaan mengarah pada korban perdagangan manusia). Del runtuh seketika. Pada titik ini, pembaca sudah mulai melupakan kasus Anwar dan media yang diberangus.

Bahasa Bernice di bagian awal novel cenderung menggunakan kalimat pendek, staccato, yang mengandung gelora karena menggambarkan Del di tengah reformasi. Bahasanya menjadi lembut saat menggambarkan Del yang perlahan terkikis harapannya dan rapuh jiwanya. Pada saat-saat seperti ini, Bernice terlihat cemerlang. Dia jujur berkisah tentang masa kecil Del yang ibunya tewas akibat kecelakaan mobil dan ayahnya yang hidup dalam sunyi. Penggambaran masa kecil ini justru terasa pedih dan nyata.

Bagian politik yang tidak terasa menjadi penting dan tak digunakan sebagai pusat cerita sebetulnya tak mengapa. Bernice ingin menunjukkan bahwa Malaysia, di suatu masa, pernah memiliki harapan yang luar biasa. Tak seperti Indonesia yang beberapa kali mengalami peristiwa berdarah, “Tempat kami tak berdarah-darah. Hanya kami terus-menerus mendidih,” demikian kata tokoh Del.

Jika melihat perkembangan politik Malaysia masa kini, ketika Mahathir kembali menjadi perdana menteri dan “berkompromi” dengan musuhnya demi merontokkan Najib Razak, akan terasa betapa ironisnya apa yang dituntut, dikritik, dan diperjuangkan tokoh-tokoh novel ini pada awal cerita.

Peristiwa politik Malaysia 1998 adalah bagian dari sejarah yang tak bisa diralat. Maka novel ini juga bagian dari rekaman sejarah. Bernice Chauly juga menggunakan sepotong sejarah ini sebagai bagian dari kerangka besar untuk mengisahkan jiwa tokoh-tokohnya di dalam masyarakat, yang dia sebut tengah mendidih.

LEILA S. CHUDORI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus