Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Antiretroviral diyakini merupakan satu-satunya obat bagi orang yang menyandang HIV. Meski tidak menyembuhkan, ARV berguna mencegah perkembangbiakan sekaligus menurunkan jumlah virus. Sebelumnya, hanya 25 persen orang yang bertahan hidup lima tahun sejak dinyatakan terinfeksi HIV. Namun, sejak antiretroviral digunakan pada 1993-1994, tercatat 47 persen orang dengan HIV bisa hidup normal lebih panjang.
Di Indonesia, antiretroviral paten impor mulai masuk pada 1996. Obat tersebut dijual Rp 8,5 juta untuk kebutuhan sebulan. Lima tahun kemudian, masuk antiretroviral impor generik dari India dengan harga Rp 850 ribu untuk konsumsi sebulan. Sejak 2003, ARV generik mulai diproduksi PT Kimia Farma. Harganya Rp 380 ribu untuk pengobatan sebulan.
Setahun kemudian, pemerintah mulai memberikan subsidi untuk pembelian antiretroviral. Bahkan, menurut ahli HIV/AIDS, Profesor Zubairi Djoerban, pemerintah juga memberikannya gratis kepada pengidap HIV melalui 257 rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat rujukan di seluruh Indonesia.
Kelangsungan pasokan ARV yang terjangkau memang sangat vital. Ada 27 ribu orang pengidap HIV dalam organisasi Jaringan Orang Terinfeksi HIV Indonesia, belum ditambah yang di luar organisasi dan yang tak terlacak. Apalagi diprediksi, pada 2015, penyandang HIV/AIDS di Indonesia membengkak menjadi sekitar sejuta orang. Bila rencana kerja sama India dengan Uni Eropa berjalan, harga antiretroviral buatan India akan seharga obat serupa bikinan Eropa. Ini jelas berita buruk bagi Indonesia, yang masih belum bisa memenuhi kebutuhan ARV dari produksi dalam negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo